Selasa, 24 Desember 2013

S p i o n


DIBANDING kalau berangkat dari rumah jam 7 pagi (karena masuk kerja jam 8), nasib saya kadang lebih baik ketika berangkat jam 8 (karena giliran masuk jam 9). Sebab sebagian besar karyawan masuk kantor jam 8, menjadikan setiap punggung jalan di Surabaya ini pada jam-jam itu sungguh berat memikul beban kepadatan. Apalagi jalan A. Yani sebagai jalur utama orang Sidoarjo masuk ke Surabaya.

Harga rumah yang relatif mahal di kota ini membuat mereka lebih memilih minggir ke selatan walau bekerjanya tetap di Surabaya. Itulah yang menyebabkan pada jam berangkat dan pulang kantor, jalan A Yani makin hari terasa makin sesak saja. Lebih-lebih saat akhir pekan, dan terlebih lagi menjelang liburan, pada saat jam pulang. Untuk mengatasi itu dibuatlah fronttage road di sisi timur (dan sekarang sedang mulai digarap pula yang sisi barat) jalan A. Yani.

Biasanya, kalau berangkat, saya menusuk masuk A. Yani dari pinggangnya di selatan Maspion Square di sudut jalan Margorejo Indah. Biasanya di situ juga padat sekali lalin-nya. Lebih-lebih kalau jam setengah delapan. Lebih-lebih, saat padat-padatnya begitu, palang pintu perlintasan KA turun disertai ting-tung ting-tung bunyi sirine. Antrean kendaraan yang sudah panjang makin mengular bahkan sampai di depan bengkel Ahass.

Karenanya, kadang saya lebih suka masuk kerja jam 9 demi terhindar dari segala godaan kemacetan yang terkutuk. Dan pagi ini, doa saya terkabul; sepanjang berangkat jalanan lumayan lancar. Kalaulah di perlintasan KA di depan RSI agak tersendat karena akan ada kereta yang lewat, antreannya tak kelewat panjang. Lagian jalanan sudah mulai tak sepadat biasanya. Mungkin sebagian orang telah mengambil libur lebih awal untuk menyambut Natal.

Sambil menunggu kereta lewat, saya perhatikan sekitar. Nyaris 100% persen kepala pengendara motor telah berhelm. Tidak seratus persen karena masih saja ada orang tua yang membawa anaknya berangkat sekolah dengan mengabaikan isi kepala si anak dengan tanpa melindunginya dengan helm. Yang juga tidak seratus persen adalah pengendara R2 yang --entah sengaja atau lupa-- menyalakan lampu utama. Tentang menyalakan lampu depan kala siang, secara nalar saya juga kurang sreg; benarkah karenanya lakalantas lantas menjadi berkurang?. Lalu spion. Nah, kalau benda yang ini sungguh tak bisa dianggap tidak penting.

Dengan spion, pengendara bisa tahu di belakang ada apa, mau disalip motor atau mobil apa, tanpa harus menoleh. Cukup melirik saja, semua yang ada di belakang bisa terbaca di kaca. Simpel sekali. Dengan demikian, penemu kaca spion sungguh adalah orang yang jenius.

Tetapi, tak jarang ditemui orang memasang spion tak lebih dari sekadar aksesori semata. Sehingga yang ori bawaan dari motor dilepas, dan diganti dengan yang secara fungsi kurang mengena. Sudah kecil, dihadapkannya pun tak seharusnya; namun malah ke wajah sendiri. Ini sedikit 'kelebihan' dari pengendara R2 di sekitar kita. Bukan hanya mampu ber-SMS-ria sambil berkendara, tetapi juga sambil mengaca.


Kereta belum lewat, masih ada waktu untuk melempar pandangan ke hal lain. Oh, ada dua polisi dengan dua motor yang berhenti di dekat seorang pemuda berkacamata. Saya duga, ia diberhentikan karena tadi melanggar sesuatu di belakang sana. Entah marka, entah lampu merah.

Karena relatif jauh, saya tidak tahu apa yang dikatakan pak polisi itu padanya. Beberapa saat berbincang, pemuda pengendara Honda Blade itu ( sepintas saya tahu, kondisi motor itu masih baru) mencabut kunci kontak untuk kemudian dipakai membuka jok. Saya duga ia akan mengeluarkan surat-surat kendaraan dari sana, tetapi ternyata dugaan saya keliru. Ia mengeluarkan sepasang spion.

Ya, ternyata ia diberhentikan petugas karena tidak memasang kaca spion pada motornya. Dengan argumentrasi apa pun, tindakan pemuda itu tentu saja tetap keliru. Dan, pak polisi yang memberhentikannya itu sungguhlah polisi yang baik hati –dalam arti mau membantu ikut memutar memasang kaca spion pada motor si pemuda.

Kereta telah lewat dan lampu TL telah menyala hijau, sehingga saya tak tahu yang terjadi kemudian, karena saya harus menjalankan kendaraan. Saya berdoa semoga pemuda itu ditilang –sebagai pelajaran/hukuman--. Saya yakin kedua polisi tadi tentu bisa menindak sebagaimana mestinya. Sebagaimana beliau-beliau selalu mengenakan masker untuk melindungi diri dari bahaya polusi, tanpa sedikit pun diembel-embeli niat untuk agak menyembunyikan jati diri. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar