DULU
rumah kami di dekat jalan raya, di seberang gedung SD Mlokorejo 1. Tetapi rumah
itu dijual Ayah tahun 1987 (saat itu saya kelas 1 SMP), kemudian pindah ke tempat yang sekarang
ini, yang agak masuk dari jalan raya. Seperti halnya di rumah pertama, di rumah yang selanjutnya itu
pun lebih utama Ayah membangun sebuah musholla. Sementara rumah yang
kami tinggali masih berdinding anyaman bambu, dinding musholla malah sudah
pakai batu bata.
Pada
awal-awal tinggal, seperti di musholla rumah yang dulu, banyak sekali
anak sebaya saya yang mengaji, dengan Ibu sebagai guru untuk murid
perempuannya. Getol sekali para orang tua mendorong anak-anaknya
belajar agama sekali pun mereka sendiri lumayan awam. Ya, boleh
dikatakan orang di sekitar rumah baru kami itu adalah kelompok Islam
abangan. Mengaku Islam, tetapi kurang mengerti dan menjalani apa
sejatinya ajaran Islam.
Ibu dan Ayah di depan musholla kami yang sangat sederhana. |
Sekian
lama, setiap saya pulang kampung, selalu mendapati mushola menjadi
berwajah sedih. Di situ hanya dipakai Ayah dan Ibu sendiri, dengan
beberapa mushaf Al Quran yang tak kalah merananya karena jarang
dipakai mendaras. Di sudut lain, tidak jauh dari pintu utara, ada
drum yang dipotong dengan tubuh diolesi cat warna hijau, diletakkan
tengkurap berdekatan dengan kotak kayu yang dicat warna serupa. Semua
itu adalah perlengkapan merawat jenazah yang memang warga sepakat
untuk menaruhnya di musholla kami.
Beberapa
tahun belakangan ini, setiap saya mudik, saya dapati musholla kami
sudah tidak terlalu sedih lagi. Ada lagi orang-orang yang mengaji.
Bukan lagi anak-anak, tetapi nenek-nenek mereka yang rupanya di sisa
usia sudah menyadari bekal apa yang harus disiapkan ketika 'pulang'
nanti.
Karena
baru belajar mengaji di saat usia sudah begitu senja, Ibu memilih
tidak mengajari mereka membaca a-ba-ta-tsa,
tetapi angsung to the point saja. Walau lidah mereka
sudah begitu kaku melafadzkan aksara-aksara hijaiyah, tak apalah. Ibu
lebih menekankan sistem hafalan dengan cara (seperti lagunya Kotak)
pelan-pelan saja.
Syukur
alhamdulillah, para santriwati yang secara usia semua di atas umur
Ibu kini sedikit-sedikit sudah bisa 'mengaji'. Yang juga mengharukan
adalah semangat mereka. Seringkali para santri manula itu sudah tiba
di musholla kami di saat pagi masih sangat buta, di saat Ibu belum
terjaga. Bahkan suara lantunan tarkhim dari pengeras suaranya
pondok pesantren Bustanul Ulum belum kedengaran. Satu per satu
santriwati datang berjalan kaki dengan tangan ringkih memegang payung
karena hujan, demi sebuah keutamaan; sholat Shubuh berjamaah.
Pernah
ketika saya pulang, suatu siang Ibu sedang menjadi imam. Tidak
seperti lazimnya sholat Dhuhur berjamaah yang tanpa suara, ketika itu
Ibu memimpin makmumnya dengan bacaan seperti ketika menjadi imam
shalat Isya'.
Setelah
selesai shalat, saat para makmumnya sudah pada pulang untuk datang
lagi waktu Asyar nanti, saya bertanya kepada Ibu, “Bukankah kalau
sholat Dhuhur itu harus tanpa suara, Bu?”
Ibu
tersenyum, “Itu kalau makmumnya orang-orang yang sudah bisa bacaan
sholat, lha kalau belum bisa seperti beliau-beliau itu
bagaimana?”
Saya
diam. Dan diam-diam mengerti maksud Ibu. Bahwa yang dilakukannya itu
adalah dalam rangka mengajari. Untuk nanti, kalau para santrinya
sudah bisa, pastilah Ibu mengimami secara lazimnya. *****
Betul apa yang Anda bilang, Mas. Sekarang, isi musholla jarang isi anak-anak. Bisa saja Sampeyan sedih karena anak-anak sudah malas ke musholla atau itu pertanda semakin banyaknya musholla sehingga 'konsentrasi massa' tidak di satu titik lagi. Mumkin, lho :-)
BalasHapusBisa jadi begitu, bisa jadi pula tidak begitu. Ketika televisi menawarkan acara-acara 'bagus' di jam-jam yang dulu biasa kami mengaji di musholla, sekarang ia adalah juga sebagai godaan.
Hapus