Kamis, 12 Desember 2013

Santriwati Ibu


DULU rumah kami di dekat jalan raya, di seberang gedung SD Mlokorejo 1. Tetapi rumah itu dijual Ayah tahun 1987 (saat itu saya kelas 1 SMP), kemudian pindah ke tempat yang sekarang ini, yang agak masuk dari jalan raya. Seperti halnya di rumah pertama, di rumah yang selanjutnya itu pun lebih utama Ayah membangun sebuah musholla. Sementara rumah yang kami tinggali masih berdinding anyaman bambu, dinding musholla malah sudah pakai batu bata.

Pada awal-awal tinggal, seperti di musholla rumah yang dulu, banyak sekali anak sebaya saya yang mengaji, dengan Ibu sebagai guru untuk murid perempuannya. Getol sekali para orang tua mendorong anak-anaknya belajar agama sekali pun mereka sendiri lumayan awam. Ya, boleh dikatakan orang di sekitar rumah baru kami itu adalah kelompok Islam abangan. Mengaku Islam, tetapi kurang mengerti dan menjalani apa sejatinya ajaran Islam.

Ibu dan Ayah di depan musholla kami
yang sangat sederhana.

Kabar kurang menggembirakannya adalah, semakin tahun, semakin sedikit saja anak-anak di sekitar rumah yang mengaji. Ini, sepertinya, efek dari banyaknya TPA bagi anak-anak di desa kami, ditambah pemahaman para orang tua yang telah memandang cukup dengan hanya bejalar di situ, tanpa perlu menambah lagi kepada Ibu saya yang mungkin secara metode memang sudah ketinggalan zaman.

Sekian lama, setiap saya pulang kampung, selalu mendapati mushola menjadi berwajah sedih. Di situ hanya dipakai Ayah dan Ibu sendiri, dengan beberapa mushaf Al Quran yang tak kalah merananya karena jarang dipakai mendaras. Di sudut lain, tidak jauh dari pintu utara, ada drum yang dipotong dengan tubuh diolesi cat warna hijau, diletakkan tengkurap berdekatan dengan kotak kayu yang dicat warna serupa. Semua itu adalah perlengkapan merawat jenazah yang memang warga sepakat untuk menaruhnya di musholla kami.

Beberapa tahun belakangan ini, setiap saya mudik, saya dapati musholla kami sudah tidak terlalu sedih lagi. Ada lagi orang-orang yang mengaji. Bukan lagi anak-anak, tetapi nenek-nenek mereka yang rupanya di sisa usia sudah menyadari bekal apa yang harus disiapkan ketika 'pulang' nanti.

Karena baru belajar mengaji di saat usia sudah begitu senja, Ibu memilih tidak mengajari mereka membaca a-ba-ta-tsa, tetapi angsung to the point saja. Walau lidah mereka sudah begitu kaku melafadzkan aksara-aksara hijaiyah, tak apalah. Ibu lebih menekankan sistem hafalan dengan cara (seperti lagunya Kotak) pelan-pelan saja.

Syukur alhamdulillah, para santriwati yang secara usia semua di atas umur Ibu kini sedikit-sedikit sudah bisa 'mengaji'. Yang juga mengharukan adalah semangat mereka. Seringkali para santri manula itu sudah tiba di musholla kami di saat pagi masih sangat buta, di saat Ibu belum terjaga. Bahkan suara lantunan tarkhim dari pengeras suaranya pondok pesantren Bustanul Ulum belum kedengaran. Satu per satu santriwati datang berjalan kaki dengan tangan ringkih memegang payung karena hujan, demi sebuah keutamaan; sholat Shubuh berjamaah.


Pernah ketika saya pulang, suatu siang Ibu sedang menjadi imam. Tidak seperti lazimnya sholat Dhuhur berjamaah yang tanpa suara, ketika itu Ibu memimpin makmumnya dengan bacaan seperti ketika menjadi imam shalat Isya'.

Setelah selesai shalat, saat para makmumnya sudah pada pulang untuk datang lagi waktu Asyar nanti, saya bertanya kepada Ibu, “Bukankah kalau sholat Dhuhur itu harus tanpa suara, Bu?”

Ibu tersenyum, “Itu kalau makmumnya orang-orang yang sudah bisa bacaan sholat, lha kalau belum bisa seperti beliau-beliau itu bagaimana?”

Saya diam. Dan diam-diam mengerti maksud Ibu. Bahwa yang dilakukannya itu adalah dalam rangka mengajari. Untuk nanti, kalau para santrinya sudah bisa, pastilah Ibu mengimami secara lazimnya. *****


2 komentar:

  1. Betul apa yang Anda bilang, Mas. Sekarang, isi musholla jarang isi anak-anak. Bisa saja Sampeyan sedih karena anak-anak sudah malas ke musholla atau itu pertanda semakin banyaknya musholla sehingga 'konsentrasi massa' tidak di satu titik lagi. Mumkin, lho :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa jadi begitu, bisa jadi pula tidak begitu. Ketika televisi menawarkan acara-acara 'bagus' di jam-jam yang dulu biasa kami mengaji di musholla, sekarang ia adalah juga sebagai godaan.

      Hapus