Kamis, 21 Februari 2019

Kartunis

SEMASA sekolah, selain menulis, juga ada kegemaran saya yang lain. Menggambar. Bukan menggambar seperti pelukis bergaya realis. Karena, untuk urusan melukis, prestasi tertinggi saya sejak SD adalah ketika menggambar pemandangan. Yaitu, membuat gunung dua, di tengah ada matahari, lalu ada sawah, dan ada jalan yang membelah persawahan itu. Juga ada dua pohon kelapa, satu tinggi-satunya pendek, di tepi jalan. Kompak. Karena nyaris anak satu kelas menggambar yang sama.

Makanya, saya kagum sekali ketika membaca cerita bergambar di majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat karya mendiang Teguh Santosa. Gambarnya hidup. Sehingga saya bisa dengan gampang dan gamblang mencerna cerita yang digambarkan. Selain Teguh Santosa, ilustrator yang saya kagumi kepiawaiannya dalam menggambar di majalah yang sama adalah Budiono. Nama yang saya sebut belakangan tadi sampai kini karyanya masih bisa kita nikmati di Jawa Pos (Grup?)

Menurut saya, coretan tangan Budiono khas. Baik saat menggambar sosok 'manusia normal', atau saat bikin karikatur. Yang juga bikin kagum adalah saat ia membuat ilustrasi untuk rubrik Wayang Opo Maneh yang (sayangnya kini rubrik itu sudah tidak ada lagi di Jawa Pos) tokoh wayang macam Cakil, atau Arjuna, atau Sengkuni dll digambarkan dengan jenaka. Pakai sepatu kets atau pakai jam tangan. Jan mbois tenan, khas Budiono pokoknya.


Tentu setiap orang mempunyai ciri khas. Misalnya, GM Sudharta, Dwi Koen, Leak Kustiya atau Wahyu Kokkang sekarang. Juga yang lainnya. Semua kartunis. Saya sempat ingin seperti mereka. Walau belum bisa membuat sebuah kritik dibungkus halus dalam kemasan karikatur, paling tidak saya pingin belajar membuat gambar yang jenaka. Lucu tapi tidak wagu, juga tidak saru.

Dan saat sekolah itu, beberapa kali saya bikin dan mengirimkan gambar kartun ke beberapa media cetak. Dan pernah dimuat. Senang? Tentu saja. Dapat honor? 😉😊. Tapi rasa senang hati saya waktu itu sungguhlah sedemikian rupa. Sehingga tak begitu mikir honor. Yang penting dimuat, yang penting dibaca orang. Cukup.

Dari kartun-kartun buatan saya waktu itu yang dimuat, beberapa diantaranya saya malah tak sempat melihat. Tapi saya tahunya ada teman yang mengabari.

Kebiasaan corat-coret itu saya lampiaskan tak pandang waktu, tak pandang tempat. Begitu ada ide, ada pensil dan kertas, langsung saja saya tuangkan. Juga saat ujian semester waktu sekolah.

Sekian banyak soal pelajaran matematika saya lahap cepat sekali. Dari semua teman sekelas, sayalah siswa yang selesai duluan dalam menggarap soal. Karena saya pinter? Oh, bukan. Saya jawab semua soal dengan feeling saja. Tak perlu dihitung. Toh cuma milih A, B, C atau D. Apa susahnya. Pakai sistem 'undian' dengan menggunakan kancing baju juga bisa. 😀

Nah, karena saya mengerjakan tidak pakai menghitung, jadilah kertas buram yang dibagikan bersama lembar soal yang dimaksudkan sebagai tempat untuk menghitung, saya gunakan untuk bikin kartun.

Waktu itu sedang ramai undian SDSB. Semacam lotere. Tapi resmi. Kalau tidak salah, setiap pekan mengundinya hari Rabu malam. Disiarkan langsung secara nasional lewat RRI. Jam sebelas malam, selepas Berita Asean.

Dalam lembar kertas buram itu saya gambar sesosok lelaki, memegang kertas lotere SDSB. Walau kepanjangan aslinya adalah Sumbangan Dana Sosial Berhadiah, saya plesetkan menjadi Semakin Doyan Semakin Bubrah.

Dan saya tidak tahu kalau keisengan saya itu dilihat dan dibaca oleh guru pengawas ujian yang memperhatikan sambil berdiri di belakang tempat duduk saya.

"Istirahat nanti, kamu ke ruang saya", kata Pak Guru setelah mengambil gambar yang barusan saya buat. 

Saya berbaik sangka saja. Bahwa 'kreatifitas' saya barusan sepertinya akan mendapat apresiasi dari Pak Guru.

"Apa maksud kamu bikin gambar seperti ini?" Pak Guru menunjukkan kertas saya tadi begitu saya masuk ke ruangannya.

"Mmm, anu, Pak," sontoloyo tenan, mengapa saya menjadi gagap begitu melihat sorot mata Pak Guru yang sedang marah.

"Kamu menyindir aku ya!" kata Pak Guru. *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar