Rabu, 27 Februari 2019

Pencitraan

"MERAKYAT, jujur dan amanah", begitu tulisan yang terpampang pada baliho di perempatan jalan. Ada wajah dengan berhiaskan senyum pada baliho yang sama. Intinya, dia ini sedang memperkenalkan diri. Sekaligus mencitrakan diri sebagaimana ia ungkap dalam kata 'merakyat, jujur dan amanah' itu. Apakah dalam keseharian sosok itu betul begitu? Ataukah itu hanya rayuan (gombal) agar terpilih sebagai anu. Setelah itu ia terkutuk sebagai kacang yang lupa kulitnya?

Betapa banyak kini sosok begitu itu. Tradisi lima tahunan. Menjual citra palsu, menjual janji yang juga palsu. Tentu tidak semua begitu. Namun, dalam kontestasi banyak-banyakan pemilih agar jadi, selalu saja ada langkah yang ditempuh laiknya penjual kecap. Dalam 'jualan' macam itu, ia membutuhkan timses. Membutuhkan konsultan. Nah, polesan-polesan (oleh timses dan konsultan?) agar tampak lebih yes itulah pencitraan.

Apakah hanya para mereka itu yang sering (atau selalu?) memakai jalan pencitraan? Sepertinya tidak.

Kita (eh saya ding!), pun sering berlaku begitu. Di medsos, misalnya. Untuk apa, coba, saya menulis status kalimat bijak dengan menukil quote-quote orang-orang hebat? Tentu agar orang menilai saya ini 'bijak'. Pun demikian saat saya menulis status lucu, upload foto dengan pose tertawa padahal hati nelangsa dsb, dst.

Saya masih ingin menulis tentang 'pencitraan' ini lebih panjang lagi, sebenarnya. Agar dikira orang saya selalu punya ide untuk ditulis di blog ini. Tapi kok ya gimana begitu. Lha wong saya nulis ini tadi juga berdasar status teman di medsos kok. Tentang apakah status itu genuin hasil perenungannya sendiri ataukah dari berbagai sumber literasi yang telah dicecapnya untuk kemudian dipajang di medsos, tentu saya kurang tahu pasti. Pun, apakah teman saya tadi menulis begitu juga sedang mencitrakan dirinya? Saya lebih tidak tahu lagi. ****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar