Kamis, 07 Februari 2019

Ultah Pernikahan

TANGGAL 5 Pebruari 1999 saya dengan diantar kakak sudah sampai ke TKP. Sebuah desa paling barat di kecamatan Karangbinangun. Berbatas dengan kecamatan Kalitengah. Sementara suporter (baca: pengiring kemanten) baru berangkat besoknya. Ini sebagai antisipasi saja. Agar ijab qobul bisa dilaksanakan sesuai rencana. Nah kalau saya sebagai sang pengantin ikutan berangkat bareng suporter, dan kendaraan mengalami ini atau itu di jalan yang mengakibatkan kedatangan molor dari jadwal, wah bisa repot. Ini perhitungan mertua saya, yang kala itu tentu baru sebagai calon.

Kalaulah sebagai bus, jarak yang kami tempuh masih tergolong sebagai AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi)  walau tentu tak bisa pula dibilang dekat. Jember – Lamongan. Yang jalanan kala itu belum seperti sekarang. Apalagi di kampung Putri Lamongan yang hendak saya nikahi. Di musim hujan begitu, jalanan bak kubangan.

Jas pinjaman yang
kekecilan itu.
Tanggal 6 Pebruari kami menikah. Iya di desa istri saya. Karena hotel Vasa tempat Vanessa dijemput polisi itu belum dibangun, sehingga resepsi tak dilakukan di hotel itu. Kalimat barusan itu tentu saja ngawur belaka. Karena jangankan tempat yang lebih layak, jas pengantin saat ijab qobul pun dapat pinjaman secara mendadak. Kekecilan pula. Yang kalau siku tangan saya tekuk, untuk tanda tangan buku nikah misalnya, ujung lengan jas ikutan tertarik. Namanya juga dapat pinjam. Untung saja dapat. Bukan jas hujan pula.


Akad nikah di bulan Pebruari itu tentu bertabur berkah. Hujan mengguyur deras, yang membuat jalanan ya... begitu deh, sampai gardan mobil sewaan rombongan suporter saya kena masalah. Untungnya sang sopir, sahabat baik saya, dapat mengatasi problem itu sehingga mertua saya tak perlu memberi tumpangan menginap semua rombongan plus makan tiga kali sehari. Intinya sopir sahabat baik saya itu bisa membawa semua pulang ke Jember dengan tidak meminta ongkos tambahan. Yang kurang baik adalah saya yang tidak memaksanya menerima sekadar uang lelah belepotan dalam memperbaiki gardan. Kebacut, keterlaluan memang. Kebacut-nya bukan sembarangan, namun karena keadaan keuangan. Hihi...

Kini, hari-hari yang barusan saya dleming-kan itu telah terjadi duapuluh tahun yang lalu. Uh, telah dua dasawarsa saya menikah. Anak-anak sudah besar. Yang sulung sudah kuliah, dan yang nomor dua masih SD. Kelas dua. Kalaulah saya ini artis kondang yang saban hari nongol di layar kaca kayak; itu tuh.., tentulah akan bikin reality show tujuh hari-sepuluh malam secara live di televisi nasional. Judulnya; Janji Suci Edi. Sayangnya (atau untungnya?) kami adalah keluarga biasa-biasa saja. Yang ketika makan mie Ayam Jakarta dengan penjual orang Trenggalek bersama anak-anak di emperan toko pasti tidak diliput infotainment.

Kemarin saat pas ultah ke 20 pernikahan, semua biasa-biasa. Oh, sorry. Tidak ding. Tadi malam itu, ditingkahi gerimis yang kudunya berefek romantis, saya antar Ibu Negara melewati gerai McDonald's Rungkut Asri. Lewat saja. Karena tujuannya ke dokter spesialis THT di sebuah Poli spesialis tak jauh dari situ.

"Biasa saja", dokter berkata. "banyak orang yang sakit seperti ibu. Gak usah takut", lalu beliau menulis resep obat yang mesti kami tebus.

Ditambah biaya daftar pertama tadi, total jenderal uang yang mesti kami bayar terbilang lumayan. Nyaris satu juta rupiah. Bukan jumlah yang sedikit menurut ukuran dompet kami. Itu baru sekali berobat. Padahal kami disarankan dokter untuk sepuluh hari sekali kontrol. Rutin. Selama tiga bulan. Piye jal?

Sepulang berobat masih gerimis, yang kali ini saya rasakan jan makin blas gak romantis. Atau memang selalu begitu. Sesuatu yang saat ini dirasa nelangsa, suatu waktu nanti, sekian puluh tahun kemudian, akan baru terasa indahnya. Atau paling tidak; terasa lucunya. Seperti saat pernikahan saya duapuluh tahun yang lalu itu. ****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar