TENTANG nunut-menunut, seingat saya, itu sudah
saya awali sejak saya boleh tidak tidur di rumah. Ya, sekitar kelas empat SD
saya sudah diizinkan ikutan tidur di surau. Dan lumrahlah sudah, anak-anak yang
tidur di surau tidaklah pernah tidur agak awal. Ada saja yang dilakukannya
sampai tengah malam. Ngropok kedelai,
misalnya. Yaitu membakar kedelai milik pemilik surau yang sedang dalam proses
pengeringan di halaman. Kedelai yang masih menempel di batang dan daunnya dengan
keadaan setengah kering itu, tinggal dicarikan blarak (daun kelapa kering) yang disulut api, jadilah daun kedelai itu
ikutan terbakar demi mematangkan biji kedelai yang kemudian lepas dari
cangkangnya.
Bila sudah dianggap matang, dipukulilah bara itu. Tindakan itu
sebagai mematikan api sekaligus membuat kedelai yang masih berada dalam cangkangnya
menjadi terlepas. Dan, untuk memakannya, kita harus meniupnya dulu agar debu
sisa pembakaran menyingkir, barulah kita pungut sebiji demi sebiji lalu kita
masukkan mulut. Snack macam itu,
selain terasa gurih-gurih pahit (karena debunya ikutan ketelan sih), efek lanjutannya adalah aroma yang
ruarr biasa bila sudah menjadi
kentut!
Tak perlulah saya memperlebar cerita dengan kisah pencurian
buah yang sering kami lakukan malam-malam. Saya hanya ingin fokus pada hal nunut saja. Baiklah. Begini; malam
sehabis mengaji, biasanya kami menuju lapangan desa yang di sebelah baratnya
berdiri gedung kesenian. Di situ itu, saban malam ada pertunjukan. Sebulan ludruk,
bulan berikutnya wayang orang, berikutnya lagi ketoprak. Kalau gedung itu lagi
kosong tiada pertunjukan, masih ada pilihan. Di sebelah timurnya, pada bak’an
(halaman yang dipelester semen tempat biasa sebagai lahan pengeringan gabah)
milik penggilingan padi, kalau malam di situ diputar film misbar.
Semua pertunjukan itu dikarciskan. Sekalipun kami menamakan
gedung, ia hanyalah berdinding anyaman bambu dan beratap langit. (Lain halnya
dengan gedung kesenian, ia agak terbilang mewah; berbangku kayu dan beratap daduk, anyaman yang dibuat dari daun
tebu kering. Penjaga karcisnya selalu didampingi Hansip. Dan kami, walau masih
anak-anak, tiada boleh masuk kalau tidak punya karcis.
Banyak jalan menuju Roma. Setiap ada orang membeli karcis
dan sendiri, saat ia menuju pintu masuk, selalu langsung kami gandeng
tangannya, “Nunut, Lik.” (Numpang
masuk, Om) atau “Nunut, Bik.”
(Numpang masuk, Tante.) dengan berlagak sok akrab seperti keponakannya.
Beres. Karena sebagai anak kecil, kami boleh numpang masuk
kepada orang dewasa.
oOo
Menginjak SMP, tradisi nunut
itu saya teruskan saat berangkat atau pulang sekolah. Mulai truk atau pick up bak terbuka, sampai pengendara
motor yang sendirian, adalah sasaran untuk di-nunuti. Walau ongkos naik taksi (maaf, di kampung kami, angkutan
pedesaan pun kami namakan taksi) hanya lima puluh rupiah, dengan nunut saya bisa menggunakan uang
sejumlah itu untuk beli jajan. Karena, tiada pernah saya disangoni selain untuk
naik taksi yang seratus rupiah untuk PP. Mudah ditebak, ini adalah akibat dari banyak
anak kurang rezeki!
Dua puluh dua tahun yang lalu, pergi ke Surabaya ini pun
saya menggunakan jasa pernunutan. Yaitu numpang truk muat batu kapur dari
Grenden, sebuah desa penghasil gamping yang berjarak lima kilometer dari desa
saya, yang kebetulan sopirnya adalah tetangga saya.
Nah, untuk ‘balas dendam’ oleh nunut- menunut yang saya lakoni di daerah asal saya di wilayah
Jember sana itu, setelah saya punya motor, saya ingin membuat tindakan ‘pembalasan’.
Misalnya, ketika dulu saya sering berangkat kerja dari rumah
mertua menempuh 'trayek' Lamongan-Surabaya PP, pagi-pagi setiap berangkat, saya selalu
mencari ‘penumpang’ yang mau saya beri nunutan.
Bisa nenek-nenek yang berangkat ke pasar Blawi, atau pelajar yang menuju sebuah
sekolah di Glagah. Kalau lagi lewat Dukun, saya sering dapat ‘penumpang’ tujuan
Bungah.
Benar, untuk tujuan-tujuan itu telah ada angkutan pedesaan. Tetapi
jarak antara satu kendaraan dan kendaraan berikutnya lama sekali. Dan, lumrahnya,
kalau penumpangnya lagi sepi, laju angkudes itu hanya lebih cepat sedikit ketimbang bekicot.
Memberi nunutan begitu,
tidak semua yang saya tawari selalu mau. Biasanya, ibu-ibu muda yang menenteng
tas hendak ke pasar, akan menolak sekalipun jasa yang saya tawarkan ini tidak
memungut biaya. Mungkin takut akan saya bawa kabur. Pelajar cewek berseragam
putih abu-abu pun ada yang berlaku begitu. Padahal hidung saya kan tidak
belang!
Tetapi ada perkecualian. Pagi itu, seorang ibu bersama anak perempuan
berseragam SMA mengenakan rok landung
dan jilbab putih mencegat saya, “Mau ke mana, Nak?” tanya ibunya.
“Surabaya,” saya menjawab setelah membuka kaca helm.
“Oh, kebetulan. Anak saya ini hari ini ujian. Mencegat
angkutan dari tadi tidak ada yang lewat. Nunut
sampai Bungah boleh kan?”
Tentu saya dengan bungah, senang hati, memberinya tumpangan.
Lain hari, masih pagi-pagi juga, seorang anak laki-laki
melambaikan tangan saat saya masih sekitar lima puluh meter sebelum tempatnya
berdiri di pinggir jalan, di bawah pohon. Saya lupa, kalau itu bukan pohon
angsana ya pohon asam. Anak laki-laki itu, melihat seragamnya, saya pastikan masih
SMP.
“Kemana?” tanya saya setelah menepi tepat di dekatnya.
“Glagah,” jawabnya.
Saya iyakan saja. Sekalipun dengan begitu menjadikan saya
tidak jadi lewat rute Dukun-Bungah-Manyar. Tetapi melambung lewat Blawi, Sooko,
Glagah, Betoyo. Tidak apa-apa, toh nantinya juga akan tembus Manyar, Gresik,
Surabaya....
“Ayo naik,” ajak saya.
Anak laki-laki SMP itu malah menoleh ke belakang. Dan sekali
tepukan tangan, dua temannya muncul dari balik gapura. Oh, ini tidak hanya akan
menjadi 3 in 1, tetapi 4 in 1.
Saya harus rela menggeser duduk dengan risiko hanya sedikit saja pantat saya
mendapatkan jok.
Pagi itu saya serasa sedang berakrobat; semotor berempat. Untunglah
sampai ke tujuan tidak ada apa-apa. Kalau sampai celaka, terjatuh karena ban
meletus, misalnya, tentu niat saya untuk berbuat baik itu akan berakibat tidak
baik.****
Di tahun 1999, itu pertama kali saya catat mbonceng orang nggak kenal karena alasan yang sama dengan yang di atas, yaitu nunggu angkutan umum yang nggak lewat-lewat. Tahun 2000, akhirnya itu jadi semi-ketagihan karena saya hanya modal helem lalu mencegat orang yang lewat, numpang bonceng. biasanya, yang suka berhenti itu kalau bapak-bapak agak sepuh. kalau masih muda, biasanya ogah.
BalasHapusLha itu, kan Sampeyan masih modal helem, sementara tiga anak SMP yang saya bawa itu main kosongan saja. Untung kami tidak celaka.
Hapuslalu, setelah itu, biasanya saya juga nunut dari kapal ke pintu keluar di Kamal. kalau jalan kaki agak jauh, kalau nunut sepeda motor yang kososgan itu enak. seringkali ditolak sih, tapi saya nggak kapok
BalasHapus