Senin, 11 Maret 2013

N u n u t a n



TENTANG nunut-menunut, seingat saya, itu sudah saya awali sejak saya boleh tidak tidur di rumah. Ya, sekitar kelas empat SD saya sudah diizinkan ikutan tidur di surau. Dan lumrahlah sudah, anak-anak yang tidur di surau tidaklah pernah tidur agak awal. Ada saja yang dilakukannya sampai tengah malam. Ngropok kedelai, misalnya. Yaitu membakar kedelai milik pemilik surau yang sedang dalam proses pengeringan di halaman. Kedelai yang masih menempel di batang dan daunnya dengan keadaan setengah kering itu, tinggal dicarikan blarak (daun kelapa kering) yang disulut api, jadilah daun kedelai itu ikutan terbakar demi mematangkan biji kedelai yang kemudian lepas dari cangkangnya.

Bila sudah dianggap matang, dipukulilah bara itu. Tindakan itu sebagai mematikan api sekaligus membuat kedelai yang masih berada dalam cangkangnya menjadi terlepas. Dan, untuk memakannya, kita harus meniupnya dulu agar debu sisa pembakaran menyingkir, barulah kita pungut sebiji demi sebiji lalu kita masukkan mulut. Snack macam itu, selain terasa gurih-gurih pahit (karena debunya ikutan ketelan sih), efek lanjutannya adalah aroma yang ruarr biasa bila sudah menjadi kentut!

Tak perlulah saya memperlebar cerita dengan kisah pencurian buah yang sering kami lakukan malam-malam. Saya hanya ingin fokus pada hal nunut saja. Baiklah. Begini; malam sehabis mengaji, biasanya kami menuju lapangan desa yang di sebelah baratnya berdiri gedung kesenian. Di situ itu, saban malam ada pertunjukan. Sebulan ludruk, bulan berikutnya wayang orang, berikutnya lagi ketoprak. Kalau gedung itu lagi kosong tiada pertunjukan, masih ada pilihan. Di sebelah timurnya, pada bak’an (halaman yang dipelester semen tempat biasa sebagai lahan pengeringan gabah) milik penggilingan padi, kalau malam di situ diputar film misbar.

Semua pertunjukan itu dikarciskan. Sekalipun kami menamakan gedung, ia hanyalah berdinding anyaman bambu dan beratap langit. (Lain halnya dengan gedung kesenian, ia agak terbilang mewah; berbangku kayu dan beratap daduk, anyaman yang dibuat dari daun tebu kering. Penjaga karcisnya selalu didampingi Hansip. Dan kami, walau masih anak-anak, tiada boleh masuk kalau tidak punya karcis. 

Banyak jalan menuju Roma. Setiap ada orang membeli karcis dan sendiri, saat ia menuju pintu masuk, selalu langsung kami gandeng tangannya, “Nunut, Lik.” (Numpang masuk, Om) atau “Nunut, Bik.” (Numpang masuk, Tante.) dengan berlagak sok akrab seperti keponakannya.

Beres. Karena sebagai anak kecil, kami boleh numpang masuk kepada orang dewasa.

oOo

Menginjak SMP, tradisi nunut itu saya teruskan saat berangkat atau pulang sekolah. Mulai truk atau pick up bak terbuka, sampai pengendara motor yang sendirian, adalah sasaran untuk di-nunuti. Walau ongkos naik taksi (maaf, di kampung kami, angkutan pedesaan pun kami namakan taksi) hanya lima puluh rupiah, dengan nunut saya bisa menggunakan uang sejumlah itu untuk beli jajan. Karena, tiada pernah saya disangoni selain untuk naik taksi yang seratus rupiah untuk PP. Mudah ditebak, ini adalah akibat dari banyak anak kurang rezeki!

Dua puluh dua tahun yang lalu, pergi ke Surabaya ini pun saya menggunakan jasa pernunutan. Yaitu numpang truk muat batu kapur dari Grenden, sebuah desa penghasil gamping yang berjarak lima kilometer dari desa saya, yang kebetulan sopirnya adalah tetangga saya.

Nah, untuk ‘balas dendam’ oleh nunut- menunut yang saya lakoni di daerah asal saya di wilayah Jember sana itu, setelah saya punya motor, saya ingin membuat tindakan ‘pembalasan’. Misalnya, ketika dulu saya sering berangkat kerja dari rumah mertua menempuh 'trayek' Lamongan-Surabaya PP, pagi-pagi setiap berangkat, saya selalu mencari ‘penumpang’ yang mau saya beri nunutan. Bisa nenek-nenek yang berangkat ke pasar Blawi, atau pelajar yang menuju sebuah sekolah di Glagah. Kalau lagi lewat Dukun, saya sering dapat ‘penumpang’ tujuan Bungah.

Benar, untuk tujuan-tujuan itu telah ada angkutan pedesaan. Tetapi jarak antara satu kendaraan dan kendaraan berikutnya lama sekali. Dan, lumrahnya, kalau penumpangnya lagi sepi, laju angkudes itu  hanya lebih cepat sedikit ketimbang bekicot.

Memberi nunutan begitu, tidak semua yang saya tawari selalu mau. Biasanya, ibu-ibu muda yang menenteng tas hendak ke pasar, akan menolak sekalipun jasa yang saya tawarkan ini tidak memungut biaya. Mungkin takut akan saya bawa kabur. Pelajar cewek berseragam putih abu-abu pun ada yang berlaku begitu. Padahal hidung saya kan tidak belang!

Tetapi ada perkecualian. Pagi itu, seorang ibu bersama anak perempuan berseragam SMA mengenakan rok landung dan jilbab putih mencegat saya, “Mau ke mana, Nak?” tanya ibunya.

“Surabaya,” saya menjawab setelah membuka kaca helm.

“Oh, kebetulan. Anak saya ini hari ini ujian. Mencegat angkutan dari tadi tidak ada yang lewat. Nunut sampai Bungah boleh kan?”

Tentu saya dengan bungah, senang hati, memberinya tumpangan.

Lain hari, masih pagi-pagi juga, seorang anak laki-laki melambaikan tangan saat saya masih sekitar lima puluh meter sebelum tempatnya berdiri di pinggir jalan, di bawah pohon. Saya lupa, kalau itu bukan pohon angsana ya pohon asam. Anak laki-laki itu, melihat seragamnya, saya pastikan masih SMP.

“Kemana?” tanya saya setelah menepi tepat di dekatnya.

“Glagah,” jawabnya.

Saya iyakan saja. Sekalipun dengan begitu menjadikan saya tidak jadi lewat rute Dukun-Bungah-Manyar. Tetapi melambung lewat Blawi, Sooko, Glagah, Betoyo. Tidak apa-apa, toh nantinya juga akan tembus Manyar, Gresik, Surabaya....

“Ayo naik,” ajak saya.

Anak laki-laki SMP itu malah menoleh ke belakang. Dan sekali tepukan tangan, dua temannya muncul dari balik gapura. Oh, ini tidak hanya akan menjadi 3 in 1, tetapi  4 in 1. Saya harus rela menggeser duduk dengan risiko hanya sedikit saja pantat saya mendapatkan jok.

Pagi itu saya serasa sedang berakrobat; semotor berempat. Untunglah sampai ke tujuan tidak ada apa-apa. Kalau sampai celaka, terjatuh karena ban meletus, misalnya, tentu niat saya untuk berbuat baik itu akan berakibat tidak baik.****

3 komentar:

  1. Di tahun 1999, itu pertama kali saya catat mbonceng orang nggak kenal karena alasan yang sama dengan yang di atas, yaitu nunggu angkutan umum yang nggak lewat-lewat. Tahun 2000, akhirnya itu jadi semi-ketagihan karena saya hanya modal helem lalu mencegat orang yang lewat, numpang bonceng. biasanya, yang suka berhenti itu kalau bapak-bapak agak sepuh. kalau masih muda, biasanya ogah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lha itu, kan Sampeyan masih modal helem, sementara tiga anak SMP yang saya bawa itu main kosongan saja. Untung kami tidak celaka.

      Hapus
  2. lalu, setelah itu, biasanya saya juga nunut dari kapal ke pintu keluar di Kamal. kalau jalan kaki agak jauh, kalau nunut sepeda motor yang kososgan itu enak. seringkali ditolak sih, tapi saya nggak kapok

    BalasHapus