Minggu, 06 Januari 2013

Mengandung Humor, Menanggung Tumor dan Pengalaman Bareng Pak Paiman

CATATAN ini saya tulis Jumat pagi, 14 Desember, di depan Poli Jantung RS Bhayangkara Surabaya. Sebuah SMS yang masuk ke ponsel tua saya membuat saya tahu saat ini jam menunjuk angka 06.27 WIB. Artinya, waktu ini tiga menit lebih awal dari waktu yang ditentukan perawat Poli Jantung kemarin, yang menegaskan saya harus datang sebelum jam 6.30.

     Datang jam segitu, ternyata saya sudah kalah start. Ada banyak  pasien telah antre di depan ruang Poli Jantung. Sebagian besar telah lanjut usia, sebagian besar perempuan.

     Kenapa saya harus memeriksakan jantung saya?

     Inilah awal mulanya:
Senin 10 Desember kemarin saya pulang kerja jam 17.05. Mendung gelap menggantung di seluruh langit Surabaya. Saya memacu motor lebih cepat dari biasa. Saya tidak ingin kehujanan di jalan. Hujan selalu membuat jalanan macet, dan itu adalah sebuah siksaan.

     Tetapi sore itu saya harus melalui rute Jagir-Panjangjiwo-Rungkut. Sebuah trayek yang kalau tidak sedang hari libur sudah lama sekali tidak saya lewati. Ancaman macet di perempatan Jagir sebelum perlintasan KA, dan kepadatan yang lumayan panjang di sebelum perempatan Panjangjiwo adalah hal yang sebisa mungkin saya hindari.

     Benar saja.
Sekalipun di perempatan Jagir saya lagi beruntung tidak terjebak kemacetan, di sebelum perempatan Panjangjiwo, tepatnya mulai  depan kantor Dikbud –sekitar dua ratus meter dari perempatan Panjangjiwo--, laju motor saya dan sekian banyak kendaraan lain bagai siput. Sesekali saya mendongak, mendung makin hitam. Saya berdoa untuk entah yang keberapa kalinya mengharap agar hujan jangan turun dulu. Saya harus mampir ke Balai Pengobatan Widya Mandiri untuk memeriksakan  penyakit saya, selepas itu saya harus segera sampai rumah sebelum waktu shalat maghrib (meminjam istilah sahabat maya saya, M. Faizi) berakhir ‘masa aktifnya’.
     Sore itu Poli yang bekerjasama dengan Jamsostek itu sepi-sepi saja. Hanya ada seorang ibu yang sedang diperiksa di ruang dokter, setelah itu giliran saya. Tidak sampai sepuluh menit setelah memeriksa penyakit saya, dokter langsung membuat surat rujukan untuk saya. Atas permintaan saya, saya dirujuk ke RS Bhayangkara Surabaya.
     Sekian tahun yang lalu (waktu pastinya saya lupa, juga di Poli Widya Mandiri ini, tetapi kala itu tempatnya praktiknya masih di jalan Kalirungkut depan pabrik Kedawung, belum di kompleks Ruko  belakang kantor kecamatan Rungkut ini) setelah meraba benjolan di kepala saya, dokter bilang, “Tidak apa-apa. Asal jangan dipijat-pijat.”
     Sungguh, selama sekian tahun ini, saya tidak pernah memijat-mijatnya. Tetapi akhir-akhir ini, setiap kali saya menunduk atau menoleh, bagian belakang kepala saya terasa tidak nyaman. Selalu terasa tegang di sekitar benjolan yang tak seberapa besar itu.
     Tiga hari setelah saya mendapat surat rujukan itu, saya ke RS Bhayangkara. Memilih dirujuk ke RS milik Polri ini, tentulah tidak begitu saja. Saya tanya ke beberapa teman (sekalipun dalam bertanya itu saya tidak berterus terang dalam rangka apa) RS mana yang pelayanannya bagus untuk peserta Jamsostek. Dan walau dokter di Widya Mandiri menyebut RS lain, saya mantap memilih RS yang terletak tidak jauh dari markas Polda Jatim ini.

     Dan benarlah adanya. Mulai dari pertama datang, saya disambut ramah petugas front liner. Bahwa kemudian saya diminta membayar RP 5000, tentu itu bukanlah sesuatu yang memberatkan. Tetapi,
     “Bapak tadi di kasir diminta membayar lima ribu?” tanya perawat di ruang Poli Bedah.
     Saya mengangguk. Lalu dengan ramah perawat berjilbab itu meminta saya kembali ke kasir untuk mengambil uang limaribu rupiah yang telanjur telah saya bayar. "Sebagai peserta program Jamsostek, Bapak tidak perlu membayar.”
     Risi juga sih sebenarnya saya mesti mengambil kembali uang yang tak seberapa itu. Tetapi saya lakukan juga.
     Di ruang tunggu Poli Bedah, saya menunggu bersama seorang bapak yang sedang mengantar istrinya untuk kontrol setelah operasi pada kaki kirinya akibat diabetes dan beberapa penyakit lainnya. Saya berbincang dengan bapak itu tentang beberapa hal. Dan ketika istri beliau selesai diperiksa oleh dokter, sambil mendorong kursi roda istrinya, beliau menepuk pundak saya, “Semoga penyakit Sampeyan tidak apa-apa.”
     Tentu saja ucapan itu saya amini. Ungkapan dari ‘penyakit yang tidak apa-apa’ itu, saya maknai sebagai doa agar penyakit yang saya derita ini tidak separah yang saya bayangkan.
     Tibalah saatnya saya diperiksa. Dokter sepesialis bedah ini namanya Alexander Surya Agung. Sekalipun sudah ubanan, uban itu tidak begitu merata. Yang lebih terlihat memutih di bagian atas kedua telinganya. Bercelana jeans biru dengan hem lengan pendek kotak-kotak warna senada, saya lihat, pastilah kalau umur segini saja masih ganteng, kala muda dulu tentu tak kalah keren dibanding dengan Onky Alexander.
     Dokter Alex memegang bagian belakang kepala saya.
     “Apa, Dok?” tanya saya.
     “Tumor,” dokter Alexander menjawab dengan nada landai.
     Saya lunglai.
     “Mau diangkat?” dokter bertanya.
     Saya diam. Sungguh, hal ini, kemungkinan ini, telah saya bayangkan. Tetapi entahlah, saat benar-benar menghadapinya saya menjadi gamang.
     Perawat yang duduk di belakang meja di sebelah kanan dokter berdiri menghampiri saya. “Bagaimana, Pak Edi, purun  diangkat?”
     Saya iyakan, walau dengan perasaan tidak karuan.
     Lalu saya diminta menandatangani sebuah formulir. Selanjutnya saya diberi tiga lembar surat pengantar; untuk cek darah lengkap di Laboratorium, untuk foto Thorax di ruang Radiologi, dan satu lagi ke Poli Jantung.

     Foto Thorax di Ruang Radiologi telah selesai. Pada selembar kertas yang menyertainya tertuang kata-kata; -Cor: Besar dan bentuk normal. – Pulmo D/S: Baik. –Sinus Costophrenicus kanan-kiri tajam.
Demikian bunyi keterangan yang ditandatangani dr Erliani Sp.Rad ini. Saya baca berulang-ulang, tetap saja saya tidak tahu apa artinya.
     Demikian juga hasil lab darah lengkap saya; -Heemoglobin: 15,2. –Lakosit: 7500. –Trombosit: 214.000. Hematokrit: 46,3. SGOT, SGPT, Uric Acid dll semua dalam ranges normal. Sama, saya baca hasil laboratorium itu berulang-ulang, tetap saja saya tidak paham.
     Perawat Poli Jantung memanggil nama saya ketika jam menunjuk angka 07.17 WIB. Berjarak tepat 50 menit dari sejak saya datang tadi. Dan sambil menunggu itu, waktu yang 50 menit tadi saya manfaatkan untuk menulis catatan ini. Lumayan, dapat delapan halaman pada buku agenda yang sengaja saya bawa dari rumah. (Ketika memindahkan tulisan itu ke PC, saya jadi tahu halaman sejumlah itu setara dengan tiga setengah halaman di layar komputer).
      Pemeriksaan di Poli Jantung sebentar saja, tidak lebih dari limabelas menit. Awalnya, begitu saya masuk, perawat meminta saya melepas baju yang saya kenakan. Setelah itu, ia juga meminta saya melepaskan arloji dan sepatu beserta kaos kakinya. Saya tak punya arloji, alat penunjuk waktu yang selalu saya bawa adalah HP tua merek Nokia bertipe N1110i yang sudah hilang tulisan pada keypad-nya. HP ini membuat hanya orang yang berilmu tinggi saja yang bisa tahu letak huruf apa ada di mana. Saya tidak pernah gengsi akan hal ini. Tetapi tentang sepatu dan kaos kaki yang harus saya lepas? Ini baru problem. Saya khawatir akan menimbulkan radiasi akibat gas buang kaos kaki yang lupa sudah kapan terakhir kali benda itu saya cuci.
     Saya  telentang di meja periksa, dan perawat itu mengoleskan entah apa ke dada, pergelangan tangan, juga pergelangan kaki saya, untuk kemudian dipasang beberapa kabel di tempat-tempat tersebut. Saya diminta tidak bergerak. Ruangan berukuran sekitar tiga kali lima meter yang disekat menjadi dua dengan selembar korden ini berpenerangan lampu neon 36 Watt dua buah. Terang sekali. Menjadikan saya tahu plafonnya tidak rata. Wajar sudah, sebagai pekerja building maintenance, selalu memerhatikan detail bangunan. Bahkan, ketika jalan-jalan di mall sekalipun, mata ini jelalatan menilai dinding yang retak, keramik yang gopil, plafon yang bergelombang atau cat yang belang seperti yang saya lihat di depan ruang Radiologi.
     Selesai diperiksa, saya diminta menghadap dokter spesialis Jantung. Sementara dokter menulis pada formulir kecil plus selembar resep ber-kop Jamsostek, saya diam tak tahu harus bertanya apa. Satu-satunya kata yang saya sampaikan kepada dokter Budi Arief Waskito Sp.JP ini adalah ‘terima kasih’ saat saya keluar ruang periksa dengan membawa hasil pemeriksaan yang dibungkus sebuah amplop kecil warna putih.
     Di luar, tidak jauh dari ruang laborat, lancang saya buka amplop itu. Tidak seperti hasil pemeriksaan di lab darah dan radiologi, keterangan yang sekalipun ditulis dengan huruf ‘cakar ayam’ khas dokter ini bisa saya eja dengan jelas. Begini bunyinya: Pada dasarnya terhadap Tn.Edi tidak ada kontraindikasi operasi. Terima kasih. Ketika akan memasukkan isi anplop itu kembali baru saya tahu, pada bagian luar anplop tertulis dua kata: Yes. Operasi.

     Operasi?
Jujur, saya takut akan hal ini. Walau kalau dienteng-entengkan, operasi tentu tidaklah sakit karena di-anastesi. Ini berbeda dengan ‘operasi’ yang saya alami lebih 30 tahun yang lalu. Operasi kala itu (baca: khitan) sama sekali saya tidak dibius. Pak Calak (tukang sunat) sepertiya hanya mengandalkan kecepatan tangan saja. Iya benar, seperti pesulap. Langsung; cres...
     Ketakutan ini mungkin hanya sebagai wujud dari keawaman saya saja. Bahwa, tumor yang bersarang di bagian belakang kepala saya ini letaknya (sekali lagi ini menurut pengetahuan saya yang awam) berada tidak jauh dari ‘pusat pemerintahan’ tubuh saya, otak. Saya takut pada pikiran buruk saya sendiri. Jangan-jangan saat operasi nanti salah satu 'kabel' di belakang kepala saya tak sengaja ikut terpotong, dan itu membuat saya menjadi lolak-lolok. Lupa istri, tak kenal anak, pangling  teman. Wah!

     Pasti sudah.
Sesuai semua hasil pemeriksaan yang telah saya berikan kembali kepada dokter Alexander, beliau langsung membuat jadwal untuk saya: Minggu pagi masuk, Senin pagi operasi. Dan, “Kalau tidak ada kendala,” kata perawat Poli Bedah yang amat ramah itu, “Selasa sudah boleh pulang.”
     Setelah itu, saya diantar seorang perawat pria asal Kalidami Surabaya menuju ruang rawat inap yang nanti akan saya tempati. Namanya ruang Edelweis. Nama yang bagus ini mengingatkan saya akan cerpen-cerpen tahun 80an yang dimuat di majalah Anita Cemerlang. Dimana bunga edelweis sering dijadikan metafora akan keabadian sebuah cinta.
     Berjalan di bawah selasar RS Bhayangkara ini saya menjadi tahu, RS yang kalau dari luar tidak nampak besar ini ternyata panjang sekali. Tibalah saya di area Edelweis. Terasa adem. Di depan ada kolam dengan air mancur yang terlihat kecil dibanding kolamnya yang lumayan besar. Dari sini saya bisa melihat pintu kamar operasi, pintu ruang ICU, mushola, dan di pojok barat sana; ruang perawatan khusus tahanan. Ah, namanya juga RS milik Polisi.
     Tidak lama saya di kantor perawat ruang Edelweis ini. Hanya menyerahkan surat pengantar dari Poli Bedah, plus ditanya nama istri dan nomor telepon, sudah. Lalu saya dibuatkan surat pengantar untuk meminta jaminan perawatan ke kantor Jamsostek. Ini dia, jam di kantor perawat yang sempit dengan kipas angin menempel di dinding yang tampak sudah agak lama tidak dibersihkan itu menunjuk angka 10. 45 WIB. Dan sekarang hari Jumat. Saya mesti Jumatan.   “Jadi saya harus ke Karimunjawa?” saya bertanya begitu karena pada kartu JPK saya tertera saya ikut kantor cabang Karimunjawa.
     “Cobalah ke kantor Jamsostek Jemursari, kan lebih dekat,” kata kepala perawat yang saya lihat make up-nya agak ketebalan itu. “baru kalau di situ tidak bisa, terpaksa Bapak harus ke Karimunjawa.”
     Perawat bertubuh subur itu memberi saya amplop untuk saya mintakan persetujuan ke kantor Jamsostek. Sebelum meninggalkan ruang itu saya bertanya apa saja yang harus saya lakukan menghadapi operasi Senin pagi nanti. Puasa, misalnya.
     “Tidak perlu,” jawabnya. “Cuma, Bapak harus cukur gundul.”
     Saya meninggalkan ruang Edelweis dan berjalan di bawah selasar menuju pintu keluar dengan hati sulit digambarkan. Termasuk ini; saya harus cukur gundul. Belum-belum saya sudah tersenyum sendiri membayangkan penampilan saya dengan kepala pelontos. Akankah menjadi seperti Deddy Corbuzier, atau Ozi Syahputra atau Pak Ogah, atau malah seperti Ucil dalam serial Tuyul dan Mbak Yul yang tayang di RCTI sepuluh tahun yang lalu. Begitulah, kepala saya ini --entah mengapa-- selalu mengandung humor, sungguh tidak menyangka, di situ juga menanggung tumor.
     Hari Senin tinggal dua hari lagi. Jujur, sekali lagi, saya takut operasi. Dan, tetapi kini, saya harus hadapi itu. Jadwal telah dibuat, tekat saya tidak boleh tidak bulat.
     Dua hari sebelum operasi saya mem-publish tulisan panjang ini di jejaring sosial tentu terkesan lebay. (Walau dengan alasan tertentu, awalnya saya setting tulisan ini menjadi tidak bisa dibaca semua teman FB saya, kecuali beberapa saja. --Dan baru hari ini, Minggu 30 Desember 2012, dua minggu setelah operasi, saya publish ulang tulisan ini agar bisa dibaca lebih banyak lagi teman FB saya-- ) Kalau ada yang menilai yang saya lakukan ini berlebihan, sungguh saya maklumi. Dan inilah bukti bahwa saya dilanda beberapa ketakutan sekaligus. Tak perlulah saya sebut satu per satu ketakutan itu. Satu saja, saya takut tidak bisa menulis lagi setelah operasi. Kalau itu terjadi (walau tentu saja saya sangat berharap tidak terjadi) ini akan menjadi tulisan terakhir saya.
      Selebihnya, kalau tidak keberatan, saya mohon doanya. Semoga semua yang saya khawatirkan, yang sampai-sampai membuat saya hari-hari ini tidak bisa tidur, tidak terjadi.
(Bersambung)



Bagian ke dua ini saya tulis tangal 5 Januari 2013.



SEBENARNYA saya baru sehari potong rambut ke tukang cukur langganan saya. Tetapi karena perawat di ruang Edelweis itu meminta saya untuk cukur  pelontos, apa mau dikata, saya mesti  menggunduli rambut saya yang sebenarnya panjangnya sudah kurang dari dua centi ini. Dan agar tidak menimbulkan bisik-bisik tetangga, saya berangkat menggunduli rambut sekira jam setengah sepuluh malam. Sasaran tembak saya, saya kembali ke tukang cukur langganan saya yang memang selalu buka sampai malam. Tetapi, rezeki si tukang cukur lagi bagus rupanya, karena jam segitu saya hitung masih ada lima orang yang sedang antre. Tetapi kenyataan itu  menimbulkan kerugian bagi saya bila harus menunggu giliran sementara satu kepala rata-rata digarap setengah jam. Dua setengah jam antre hanya untuk gundul tentu bukan pilihan bijak.

Saya bablas ke Rungkut Kidul. Siapa pun tukang cukurnya, tentu kalau hanya menggunduli rambut hasilnya akan tetap sama. Lain halnya kalau bercukur model tertentu, kalau sudah langganan akan lebih mengerti apa mau si pelanggan.

“Cukur,” kata saya sambil masuk ke ruang praktek tukang pangkas rambut yang di kaca depannya tertera nama Nusantara.

Ia, si tukang cukur itu, demi melihat rambut saya yang masih rapi jali, menjadi ragu akan perkataan saya. “Iya, cukur gundul.”

Sungguh, tidak lama menggunduli rambut saya. Hanya dengan mesin potong rambut ukuran tertipis, lalu disempurnakan dengan dikerok pakai pisau silet, mengkilaplah kepala saya. Saya menukar semua  itu dengan selembar uang sepuluh ribu rupiah, sesuai tarip yang ditempel di dekat cermin di depan saya.
Saya meninggalkan tukang cukur asal Bangkalan itu dengan kepala isis, sekalipun sudah saya tutupi helm.

Begitulah, ketika hari Minggu saya datang ke ruang Edelweis, saya sudah tampil sesuai permintaan perawat. Tidak apa-apa. Toh ini hanya sementara. Paling-paling, satu atau dua minggu, rambut saya sudah seperti sedia kala. Anggap saja ini sebagai sedang melakonkan sebuah peran. Karena, bukankah demi sebuah tuntutan skenario, John Travolta pun pernah gundul pelontos.

Setelah menyerahkan berkas suarat-surat yang diperlukan, saya diantar seorang suster untuk menuju kamar yang akan saya tempati. Kamar kelas tiga bernama Edelweis ini sungguh tak luas. Saya menghitung kotak-kotak lantai keramik ukuran 40x40 berwarna putih itu, dan mendapati luas ruang adalah 2x2,5 meter.

Saya mendapat kamar nomor satu. Saya pikir ini angka bagus. Bagusnya lagi, kamar ini berada dekat jendela, dan juga pintu. Menjadikan saya bebas melempar pandang ke luar. Melihat kolam yang lumayan luas dengan satu pohon beringin di tiap sudutnya. Ada patung gajah berukuran setinggi sekitar tujuh puluh centi dengan belalai yang patah ujungnya. Rumput yang terhampar hijau subur, amat kontras dengan beberapa pohon palem yang tumbuh njengguris seperti kurang gizi.

Jam tiga sore saya tadi sampai sini dengan diantar adik ipar. Sepanjang perjalanan dari rumah berpayung mendung. Alhamdulillah sampai RS tidak kehujanan. Butiran dari langit yang deras itu baru turun satu jam kemudian, tepat saat saya mulai menulis catatan ini. Deras, tetapi hanya sesaat. Hanya sepuluh menit. Kini tinggal gerimis yang tersisa. Butiran gerimis yang lembut itu membalut sore menjadi semakin dingin.

Jam 16.15 suster datang lagi mengukur suhu dan tensi saya. Seperti yang dilakukannya 60 menit tadi. Tetapi hasilnya beda. Kalau pada pemeriksaan yang oertama tadi tensi saya 130 dan suhu tubuh saya 27,1 derajat Celcius, sekarang mnjadi 120 dan 26,9 derajat Celcius.

“Kok beda hasilnya?” tanya saya.

“Iya, mungkin tadi Bapak masih agak tegang.”

Tegang. Benar, perawat itu benar. Berhari-hari ini saya diliputi perasaan tegang menghadapi yang namanya operasi. Dan ketegangan itu, salah satu pemicunya adalah saya selalu bertanya kepada mbah Google tentang yang saya rasa. Misalnya, bila benjolan di belakang kepala saya ini terasa berdenyut, walau jarang sekali, lalu saya klik di Google dengan kata kunci tersebut. Termasuk ketika tiba-tiba belakang kepala saya terasa kebas, atau kadang kesemutan. Dan, sampeyan tahu, Google selalu memberi jawaban yang bagi saya terasa nggegirisi.

Begitulah, makanya tidak sedikit orang yang lebih baik tidak tahu penyakit yang diidapnya ketimbang tahu tetapi malah bikin takut. Sementara ketakutan itu sendiri (yang kadang terlalu berlebihan) malah melahirkan penyakit baru.

“Lampu kamar mati,” begitu bunyi SMS dari istri saya yang memang tidak ikut menunggui saya menginap di RS.

Untung saya masih rasional menganggapi kabar itu, dan tidak tertarik memaknainya sebagai sebentuk perlambang. Sampeyan tentu tahu, ada orang yang sering menghubung-hubungkan sebuah kejadian dengan kejadian lain. Kejatuhan cicak, misalnya. Atau tiba-tiba di tengah perjalanan melihat seekor ular ‘weling’. Atau suatu malam tiba-tiba ada kupu-kupu yang masuk ke ruang tamu.  Tentang burung cemblek yang berkicau di dekat rumah, sering orang memaknai sebagai perlambang akan datangnya tamu yang datang dari jauh.

Maka, ketika beberapa jam menjelang operasi lampu kamar di rumah saya tiba-tiba mati tentu secara teknis bisa dijelaskan. Usia lampu yang sudah sekian tahun, atau fitting yang tiba-tiba bermasalah. Tetapi, sebuah perlambang, tidak berhenti sampai di situ. Dan ini saya yakini kebenaranannya. Yakni, ketika saya membuat catatan di buku agenda yang saya bawa ke RS, tiba-tiba pulpen yang saya pakai menulis tiba-tiba habis tintanya. Sungguh, maknanya sangat jelas. Yaitu, saya harus lebih berusaha keras mengingat setiap kejadian tanpa menulisnya, tetapi mengingatnya di dalam kepala.

Jam di atas pintu kamar Edelweis menunjuk angka 21.30, sementara di HP jadul saya tertera angka 21.16. Entah mana yang benar. Kian malam kian sepi saja. Para pembezoek sedah pada pulang sedari tadi. Yang tinggal hanya para penunggu pasien. Jam terus berjalan, malam kian hitam. Lampu-lampu neon di pinggir kolam tampak kedinginan digoda gerimis.

Mendapat kamar di dekat jendela membuat saya bisa menikmati pemandangan. Lain halnya dengan yang di deretan kamar sebelah utara saya. Tetapi, di dekat jendela begitu, tamu-tamu tengah malam langsung njujug saja. Nyamuk luar biasa banyaknya. Luar biasa gatal gigitannya. Lotion anti nyamuk yang saya oleskan di tubuh tak mempan menangkalnya. Entah setajam dan sepanjang apa gigi si nyamuk itu, sampai-sampai selimut, plus sarung dan baju saya tembus oleh gigitannya.

Saya yang dasarnya sudah tidak bisa tidur, makin tidak dapat memejamkan mata. Belum lagi perut yang mulas tak tertahankan. Lumrah sudah, setiap saya stress memikirkan sesuatu yang kelewat batas, perut saya mempunyai reaksi tersendiri menyikapinya; murus. Puncaknya terjadi saat jam tiga pagi. Tak kuat saya menahannya. Beban itu akhirnya saya tumpahkan di toilet musholla yang terletak bersebelahan dengan ruang forensik. Saya tuntasnya hajat saya.
Selepasnya itu saya bersuci, lalu sholat malam. Saya berdoa, saya serahkan semua kepada Tuhan. Tak mau saya menanggung beban yang belum tentu seberat yang saya bayangkan. Saya pasrahkan semua kepadaNya.

Turun dari mushola, heran saya, dada ini terasa plong. Apalagi perut saya, benar-benar kosong. Selain saya sejak jam dua belas malam tadi harus berpuasa, barusan isinya saya tumpahkan ke toilet sampai tuntas, sampai tandas.

Maka, ketika jam 7.15 saya harus berganti pakaian operasi, saya sudah maju tak gentar. Malah istri saya yang terlihat gugup. Juga adik ipar saya. Saya yang malah menghiburnya dengan canda-canda ringan. Sungguh, saya telah benar-benar tak takut. Kalau mengutip syair lagunya Titiek Puspa; ooo apa yang terjadi terjadilah...

Lama sekali saya dibaringkan di kereta dorong yang akan membawa saya ke ruang operasi, tetapi tidak juga dijalankan. “Menunggu telepon dari ruang operasi,” jawab Mas Made, perawat senior ruang Edelweis asal Gedangan Sidoarjo, ketika saya tanya.

“Lho, kok Sampeyan belum pulang?” tanya saya lagi, mengingat ia masuk sift 3 dan sekarang sudah jam 8.

“Sebentar lagi, nanti setelah mengirim Bapak ke ruang operasi saya baru akan pulang.”

Jarak antara kamar saya dan kantor perawat ruang Edelweis hanya dekat saja. Maka, ketika ada dering telepon, jelas sekali saya dengar. Benar saja, beberapa menit kemudian, setelah ada dering telepon, Mas Made mendorong brankar saya menuju ruang operasi. Istri dan adik ipar saya mengikutinya. Pagi yang sejuk membuat tubuh saya terasa dingin. Lebih-lebih baju operasi yang saya kenakan ini kainnya tak terlalu tebal. Kain berwarna pink ini terasa istimewa karena ada inisial E di dada kiri. Tentu saya tidak perlu GR menganggap itu sebagai inisial nama saya.  Kalau mau GR sih, tentu bisa saja. Karena semua peralatan di kamar rawat inap saya, mulai sarung bantal, selimut, gelas air, sampai kotak obat tertera huruf EDW. Ini, kalau dibaca, akan terdengar seperti nama saya. Padahal, itu artinya property milik ruang Edelweis.

Tidak jauh jarak antara kamar rawat inap saya ke kamar operasi II. Taksiran saya tak lebih dari lima puluh meter. Didorong sambil terbaring begitu, sungguh, saya santai-santai saja. Tiada lagi tegang, tiada lagi gamang.

Pintu depan kamar operasi dibuka. Saya didorong ke sebuah ruang tak seberapa lebar yang agak menjorok ke selatan. Pada tulisan yang dipasang di dinding terbaca: Ruang Pre Operasi. Di situlah mas Made menyerahkan saya kepada perawat kamar operasi, seorang lelaki muda yang dari mulutnya saya dengar ia menyanyi-nyanyi kecil entah lagu apa.

“Santai saja, Pak,” katanya lalu meninggalkan saya sendiri di situ. Ia beranjak sambil membawa map besar yang diserahkan Mas Made sebelum meninggalkan saya di ruang ini tadi.

Saya celingukan. Tetapi belum sempat mengamati semua yang ada di situ lebih detail, perawat yang selalu menyanyi itu telah muncul lagi dan meminta saya berpindah ke kereta dorong yang ia bawa dari dalam. Setelahnya, didoronglah saya melewati lorong  selebar sekira satu setengah meter.

Pintu tebal dibuka. Saya lihat telah ada beberapa orang di dalam, salah satunya telah saya hapal; dokter Alexander. Mereka bicara-bicara santai. Dan perawat yang mendorong saya tadi, tetaplah menyanyi-nyanyi kecil. Saya hitung ada lima orang di kamar operasi itu. Perawat yang selalu menyanyi itu, satu lagi perawat perempuan yang menyiapkan beberapa kain tebal sejenis handuk, menatanya dengan menggunakan alat penjepit khusus. Seorang perempuan di sebelah kanan saya, cekatan sekali tangannya menaruh sejenis kabel dan meletakan di dada saya, kanan-kiri. Termasuk memasang penjepit yang terhubung kabel di jari telunjuk tangan kanan saya. Dengan tiga buah alat suntik siap tancap, saya duga ia adalah dokter anastesi. Saya agak menoleh, dan mendapati dokter Alex beserta satu dokter lagi telah menggunakan pakaian operasi lengkap dengan penutup kepala dan masker warna hijau.

Tepat di atas kepala saya, ada lampu dengan penyangga khusus yang masih belum dinyalakan. Di dinding sebelah selatan, jelas sekali saya ingat, jam dinding bulat warna putih berjarum hitam menunjuk angka 8.15.

“Berdoa ya, Pak,” pinta dokter anastesi sambil menyuntik melalui selang infus di tangan kanan saya.

Saya sadar obat yang disuntikkan itu adalah bius. Tak mungkinkah saya membaca doa yang panjang-panjang. Takut waktunya tidak  nutut. Maka, saya hanya baca Basmalah dan Syahadat, itu saja. Benar juga, pada suntikan ke tiga, saya sudah bablas. Terlelap. Pengangkatan tumor di posisi saya itu, tentulah tidak hanya bius lokal, harus interlokal, eh total, maksudnya.


LAMAT-LAMAT saya mendengar pintu diketuk dari luar. Pada saat yang sama, saya rasakan tubuh saya luar biasa kedinginannya. Ketika saya membuka mata, oh. Dimanakah saya ini?

Pintu diketuk-ketuk lagi. “Ya, masuk!” saya beseru. Saya dengar, seruan suara saya itu lemah. Dan, oh, leher saya terasa berat, berat dan kaku ketika saya paksa untuk agak menoleh. Dengan posisi tebaring lunglai begitu, sekuat tenaga saya paksa mata saya jelalatan ke segala arah. Ketika mendapati jam dinding, saya dapati angkanya menunjuk jam 10 tepat. Berarti saya dua jam kurang seperempat terbius.

Pintu dibuka. Dua orang perawat masuk lalu mendorong dipan besi beroda ini melewati selasar yang saya kenal. Ini jalan menuju ruang Edelweis. Saya berusaha mengenali semuanya. Kolam itu masih saya kenali sebagai kolam, bukan sawah. Di sudut-sudut kolam itu adalah pohon-pohon beringin, bukan pohon pisang. Pohon-pohon palem yang kurang gizi itu, ya, saya masih ingat, ia bukan pohon turi. Patung yang belalainya patah itu, adalah patung gajah, bukan patung kerapan sapi. Oh, semua benda itu masih saya hapal, masih saya kenal. Syukurlah. Tiada ‘kabel data’ yang tak sengaja tergunting. Operasinya berjalan mulus. Tumor yang menempel di belakang kepala saya telah diangkat. Dan saya masih waras, tidak lolak-lolok.

 Sambil didorong begitu, seorang perempuan  selalu memegangi kaki saya, memijit-mijit kecil, laiknya sentuhan mesra. Saya mengenali perempuan cantik itu bukan Tamara Belzinsky atau Dian Sastrowardoyo. Tetapi  perempuan itu; istri saya. *****

Dijenguk Pak Paiman

TENTANG pak Paiman, bukan kali ini saja saya ceritakan. Ia juga bisa ditemukan di sini. Dan inilah cerita terbaru tentang sosok yang selalu bikin tertawa ini.

Sebenarnya ia telah saya telepon Senin pagi, 17 Desember 2012, beberapa jam sebelum operasi pengangkatan tumor di kepala saya. Tetapi, “Aku gak mlebu kerja, Ed. Ada tetanggaku yang meninggal,” jawabnya via ponsel.

Selasa esok paginya, sekira jam lima kurang seperempat, saya telepon lagi dia. “Sudah mau berangkat?” tanya saya.

Iya, ini lagi pasang kaos kaki,” katanya.

Maka, saya minta ia untuk mampir ke RS Bhayangkara. Dengan berangkat sepagi itu dari desanya di Prigen sana, biasanya ia sampai tempat kerja sekitar jam tujuh. Prediksi saya, ia akan lewat jalan A. Yani di dekat Polda ini lebih-kurang jam enam lebih sedikit. Jadi, tentu masih ada waktu menengok saya barang beberapa menit di RS, sebelum melanjutkan perjalanan menuju tempat kerja.

Siapa yang sakit?” tanyanya.

Sudahlah, mampir saja ke sini. Aku di Ruang Edelweis nomor 1,” saya mewanti-wanti.

Saya memang tidak menyebarkan berita penyakit saya ini kepada banyak orang. Bahwa dua hari menjelang operasi saya memposting notes agak panjang di FB, itu pun awalnya saya setting hanya bisa dibaca beberapa orang saja. Kebocoran berita itu terjadi justru ketika saya sedang dioperasi, saat bersamaan atasan saya menelepon dan diterima oleh istri saya. Sebagai orang yang tak biasa bersandiwara, istri saya mengatakan hal yang sebenarnya.

Itulah mengapa pak Paiman saya minta mampir ke RS. Tujuan saya, agar ia bisa membawa kabar ke tempat kerja kalau kondisi saya baik-baik saja pasca operasi itu.

SAYA lihat jam telah menunjuk angka enam lebih sedikit. Harusnya pak Paiman sudah sampai, tetapi belum juga muncul. Ataukah motor Legenda-nya sedang rewel lagi, atau bannya bocor, atau? Ah, kalau kejebak macet di raya Porong sih tidak mungkin, selain jalannya sekarang sudah mulus, sepagi itu volume kendaraan tentu masihlah sepi.

Akhirnya, dengan mengenakan jaket hitam yang kedodoran, ia muncul juga.

Bingung?” sambut saya sambil duduk dengan leher kaku, sementara kepala bagian belakang berbalut perban tebal.

Iya,” jawabnya sambil pamer senyumnya yang khas.

Lalu ia bercerita; sebenarnya di tempat parkir tadi sudah bertanya letak ruang rawat inap saya ini. Tetapi si tukang parkir malah melemparnya agar bertanya ke petugas front liner. Sepagi itu tentu petugas dimaksud masih belum datang, dan ia hanya mendapati petugas cleaning service sedang membersihkan ruang resepsionis itu.

Ruang Ilyas di mana ya, Mas?” tanya pak Paiman.

Ruang Ilyas?!” petugas cleaning service itu balik bertanya.

Iya,” mantap Pak Paiman menjawab.

Kalau ruang Ilyas di sini tidak ada, Pak. Yang ada ruang Edelweis.”

Iya, pokoknya ruang Weis, Weis begitu...” sahutnya lugu.

Ditunjukkanlah arah ruang yang dimaksud. Ancar-ancarnya, selasar ini lurus ke barat, sebelum kolam belok ke kanan.

Dasar pak Paiman, ia tidak mengikuti anjuran, dan malah bikin rute sendiri; setelah kolam, ia bablas ke barat. Mentok di dekat kantin bingung lagi. Namun ia belum lupa akan pepatah 'malu bertanya sesat di jalan', sehingga ketika di dekat ruang rawat inap anak-anak ada seorang penunggu pasien sedang di luar kamar, ia dekati dia. “Maaf, Pak. Numpang tanya, ruang Edelweis itu di mana ya?” sopan pak Paiman bertanya.

Maaf, saya kurang paham,” jawab lelaki itu. “Tetapi kok sepertinya tidak ada ya. Karena, ruang-ruang di RS ini semua memakai nama bunga.”

(Glodakkkk!!!! Ooooiii....., Edelweis itu juga nama bunga , Buuuunggg.....)

Untunglah adik ipar saya yang berdiri di luar kamar dikenali oleh Pak Paiman, sehingga ia tidak balik kanan grak dengan tanpa ketemu saya.

Cengengas-cengenges ia masuk kamar saya. Di tangannya saya lihat ia membawa tas kresek hitam berisi bungkusan. Melihat itu, tentu saja saya langsung berbasa-basi, “Wah, kamu kok repot-repot bawain aku oleh-oleh segala. Dijenguk saja aku sudah senang kok...”

Ini nasi bekal dari rumah kok, Ed. Tadi berangkat belum sempat sarapan. Maaf, aku numpang sarapan di sini ya? Eh, pinjam sendok ada tidak?” katanya sambil membuka nasi berlauk keringan berbungkus kertas minyak.

Duh, tiwas saya GR!*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar