Jumat, 11 Januari 2013

Menonton Keajaiban Sinetron

DUA sore kemarin, Rabu dan Kamis, tidak seperti biasa, saya pulang kerja saat si kecil saya bersama ibunya, sedang menonton sinetron. Biasanya, jam segitu itu, si kecil saya sedang khuyuk memelototi film animasi yang baginya tetap saja sip; Shaun the Sheep. Benar, selain fim itu tayang di MNCTV, ia juga diputar (juga berulang-ulang) di B-Channel, sebuah saluran yang kalau sore begitu menayangkan beberapa acara animasi. Gazoon, Timy Time dilanjut sinetron Jari Sakti Somad.

Saya bukan hendak menceritakan jalan cerita Jari Sakti Somad, sebuah sinetron yang juga dibintangi Unang Bagito. Ini tentang sinetron yang sedang ditonton si kecil saya bersama ibunya. Oleh karena pada layar bagian bawah ada tulisan A+BO, saya tidak punya alasan untuk menyalahkan istri saya yang tertangkap basah menonton sinetron (Hal yang sudah agak lama tidak saya perkenankan). Karena ia ikut nonton dalam rangka menjalankan tugas sesuai kode BO itu.

Kalau pada Rabu sore kemarin, MNCTV sedang mengangkat kisah 'dandang' (periuk) ajaib, sehingga apa pun yang di letakkan di dalamnya akan masak dengan aneka olahan yang mak-nyus, Kamis kemarin kisah yang dilayarkacakan adalah tentang tangan ajaib. Saya melirik kisah itu sesekali saja, sambil akan berangkat mandi. Dan karena kamar mandi saya hanya berbatas tembok dengan ruang tengah tempat pesawat TV menyala, semua dialog sungguh bisa saya ikuti.

Tersebutlah gadis kecil bernama Lala yang di telapak tangannya terdapat tanda hitam. Karena tidak mengikuti dari awal, saya tidak tahu bagaimana asal muasal tangannya bertanda begitu. Yang jelas, Lala (mempunyai ayah yang membuka usaha bengkel motor) juga secara tidak segaja mengetahui kesaktian tangannya. Tanpa sengaja, ketika ayahnya kesulitan men-service motor yang tak juga mau menyala kala di-starter, tangan kanan Lala memegang gagang gas. Dan, brreemmm... mesin mengaum. Lala heran, tak terkecuali ayahnya. Maka, ayahnya meminta anak gadisnya itu memegang gagang gas motor lainnya. Sama, langsung greng begitu disentuh tangan anaknya. Olala...

Tersiarlah kabar itu dari mulit ke mulut. Maka, pompa air ngadat, jam tangan rusak, HP soak semua bisa langsung 'hidup' bila disentuh tangan Lala.

Genre sinetron itu adalah anak-anak. Dan saya khawatir keajaiban itu diterima mentah-mentah oleh otak anak-anak. Sehingga mereka berkeinginan mempunyai telapak tangan ajaib seperti milik Lala. Kalau sudah begitu, meraka tidak perlu bersekolah SMK, misalnya, untuk agar bisa memperbaiki motor yang mogok. Keajaiban tangan Lala, bagi saya, sungguh tidak masuk akal. Padahal, sefiksi-fiksinya fiksi, tetap harus bisa masuk akal.

Tentang tayangan sinema elektronik yang tidak mencerdaskan ini, teman FB saya, seorang penulis ia, pernah menegur seorang sutradara sinetron.. “Mbokya kalau bikin sinetron itu yang bermutu, yang tidak asal-asalan begitu...”

“Buat apa, Bang,” jawab si satradara. “mau bikin sinteron bermutu, paling-paling yang nonton cuma para pembantu...”

Sungguh, itu jawaban yang melecehkan dua pihak sekaligus. Pertama ia merendahkan penonton sinetron secara keseluruhan, kedua; ia meremehkan kecerdasan para pembantu!

Tentu tidak semua sutradara sinteron ber-pakem begitu. Sebagaimana tidak semua sinetron itu jelek secara mutu. Ada (walau sangat jarang) sinetron yang digarap secara sungguh-sungguh, dan tidak melulu sekadar jual tampang para pemerannya plus selalu mengangkat cerita para orang kaya dengan kisah yang tidak membumi.

Pendek kata, belum ada fatwa dari pihak mana pun tentang sinetron sebagaimana telah menimpa infotainment. Semua materi yang ditayangkan stasiun televisi (konon) telah disaring oleh lembaga sensor. Tetapi tentang ini, tentang tayangan apa saja yang bisa 'menyehatkan' pikiran atau tidak, tetap saja lembaga sensor terampuh bagi anak-anak adalah para orang tua.*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar