DUA sore kemarin, Rabu dan Kamis, tidak
seperti biasa, saya pulang kerja saat si kecil saya bersama ibunya,
sedang menonton sinetron. Biasanya, jam segitu itu, si kecil saya
sedang khuyuk memelototi film animasi yang baginya tetap saja sip;
Shaun the Sheep. Benar, selain fim itu tayang di MNCTV, ia juga
diputar (juga berulang-ulang) di B-Channel, sebuah saluran yang kalau
sore begitu menayangkan beberapa acara animasi. Gazoon, Timy Time
dilanjut sinetron Jari Sakti Somad.
Saya bukan hendak menceritakan jalan
cerita Jari Sakti Somad, sebuah sinetron yang juga dibintangi Unang
Bagito. Ini tentang sinetron yang sedang ditonton si kecil saya
bersama ibunya. Oleh karena pada layar bagian bawah ada tulisan
A+BO, saya tidak punya alasan untuk menyalahkan istri saya yang
tertangkap basah menonton sinetron (Hal yang sudah agak lama tidak
saya perkenankan). Karena ia ikut nonton dalam rangka menjalankan
tugas sesuai kode BO itu.
Kalau pada Rabu sore kemarin, MNCTV
sedang mengangkat kisah 'dandang' (periuk) ajaib, sehingga apa pun
yang di letakkan di dalamnya akan masak dengan aneka olahan yang
mak-nyus, Kamis kemarin kisah yang dilayarkacakan adalah tentang
tangan ajaib. Saya melirik kisah itu sesekali saja, sambil akan
berangkat mandi. Dan karena kamar mandi saya hanya berbatas tembok
dengan ruang tengah tempat pesawat TV menyala, semua dialog sungguh
bisa saya ikuti.
Tersebutlah gadis kecil bernama Lala
yang di telapak tangannya terdapat tanda hitam. Karena tidak
mengikuti dari awal, saya tidak tahu bagaimana asal muasal tangannya
bertanda begitu. Yang jelas, Lala (mempunyai ayah yang membuka usaha
bengkel motor) juga secara tidak segaja mengetahui kesaktian
tangannya. Tanpa sengaja, ketika ayahnya kesulitan men-service motor
yang tak juga mau menyala kala di-starter, tangan kanan Lala memegang
gagang gas. Dan, brreemmm... mesin mengaum. Lala heran, tak
terkecuali ayahnya. Maka, ayahnya meminta anak gadisnya itu memegang
gagang gas motor lainnya. Sama, langsung greng begitu disentuh tangan
anaknya. Olala...
Tersiarlah kabar itu dari mulit ke
mulut. Maka, pompa air ngadat, jam tangan rusak, HP soak semua bisa
langsung 'hidup' bila disentuh tangan Lala.
Genre sinetron itu adalah anak-anak.
Dan saya khawatir keajaiban itu diterima mentah-mentah oleh otak
anak-anak. Sehingga mereka berkeinginan mempunyai telapak tangan
ajaib seperti milik Lala. Kalau sudah begitu, meraka tidak perlu
bersekolah SMK, misalnya, untuk agar bisa memperbaiki motor yang
mogok. Keajaiban tangan Lala, bagi saya, sungguh tidak masuk akal.
Padahal, sefiksi-fiksinya fiksi, tetap harus bisa masuk akal.
Tentang tayangan sinema elektronik yang
tidak mencerdaskan ini, teman FB saya, seorang penulis ia, pernah
menegur seorang sutradara sinetron.. “Mbokya kalau bikin sinetron
itu yang bermutu, yang tidak asal-asalan begitu...”
“Buat apa, Bang,” jawab si
satradara. “mau bikin sinteron bermutu, paling-paling yang nonton
cuma para pembantu...”
Sungguh, itu jawaban yang melecehkan
dua pihak sekaligus. Pertama ia merendahkan penonton sinetron secara
keseluruhan, kedua; ia meremehkan kecerdasan para pembantu!
Tentu tidak semua sutradara sinteron
ber-pakem begitu. Sebagaimana tidak semua sinetron itu jelek secara
mutu. Ada (walau sangat jarang) sinetron yang digarap secara
sungguh-sungguh, dan tidak melulu sekadar jual tampang para
pemerannya plus selalu mengangkat cerita para orang kaya dengan kisah
yang tidak membumi.
Pendek kata, belum ada fatwa dari pihak
mana pun tentang sinetron sebagaimana telah menimpa infotainment.
Semua materi yang ditayangkan stasiun televisi (konon) telah disaring
oleh lembaga sensor. Tetapi tentang ini, tentang tayangan apa saja
yang bisa 'menyehatkan' pikiran atau tidak, tetap saja lembaga sensor
terampuh bagi anak-anak adalah para orang tua.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar