Senin, 30 April 2012

Teman Facebook

LILY memegang gelas kosong menuju depan ruang IT yang di sudut depan pintunya terletak dispenser. Sambil berjalan ke situ ia melirik lelaki yang kemayu itu. Kau tahu, dia sangat benci melihat perempuan yang kemayu. Lebih-lebih yang kemayu itu adalah lelaki. Ia, kalau melihat Ivan Gunawan atau siapa pun lelaki yang tampil layaknya perempuan atau malah cenderung lebih perempuan ketimbang perempuan yang sesungguhnya tampil di televisi, ingin melemparnya memakai remote control yang sedang dipegangnya. Tetapi, sungguh, Lily kadang gampang sekali berubah pikiran. Dan ia hanya kemudian mematikan televisinya. Masuk kamar, menyalakan komputer. Online. Main twitter atau Facebook-an. Itu kebiasaan baru, karena dulu, dulu sekali, ia lebih akrab dengan kertas, sebenarnya. Membuat catatan tentang apa saja. Di buku hariannya. Kini tidak lagi. Tetapi kebenciannya kepada seorang yang kemayu, memang sejak dulu ia pelihara.

Kembali dari mengambil air minum di depan ruang IT, mendapati lelaki kemayu itu, Yossy namanya, memperhatikan kuku-kukunya. Dengan lagak yang enggan sekali Lily menatapnya. Tetapi, sebagai teman sekantor, satu ruang tepatnya, tak mungkinlah ia meludah di depannya. Ia hanya tersenyum. Senyum yang dipaksa. Lalu lelaki kemayu itu pun terseyum. Sambil menarik pintu laci meja kerjanya. Di situ, sepintas Lily melihat isinya. Persis laci seorang penata rias. Ada bedak dan sebangsanya.

Pernah ia dengar tentang susuk. Sebagai pengasih. Agar orang memeperhatikan lebih. Tentu kau pernah juga mendengarnya. Untuk apa?
Ini lucu sebenarnya. Bagaimana mungkin ia yang saban hari ke salon, demi sebuah wajah cantik, belum percaya diri dan masih menambahkan sebatang susuk yang ditusukkan di dagu, jidat atau ujung hidung. Melangkah di depan meja kerjanya, sehembus aroma parfum berkelas menusuk hidung. Lily suka itu, suka aroma itu, yang hm.. lebih tercium feminin ketimbang maskulin. Dan senyum itu, senyum si kemayu itu, sekali lagi membuat Lily membalasnya dengan senyum palsu.

Baru belum genap enam bulan Yossy disini. Menggantikan pak Joe yang pindah kerja ke sebuah mal baru di kota ini. Dan sebagai chief House Keeping, ia adalah sesuai. Yang bersihan, rapi dan membuat hunian vertikal ini menjadi tetap terunggul dikelasnya di kota ini. Rambut si kemayu itu sedemikian rapinya saban waktu. Tertata selalu. Dengan model yang mengingatkan pada para metro seksual yang sering dilihatnya di majalah-majalah. Semakin panjang waktu bersamanya dalam keseharian, Lily jadi tahu, ternyata si kemayu itu pandai sekali memengaruhi teman. Termasuk ia pandai sekali bicara dan bercerita tentang dunia hantu.

Pak Gedhe, satu-satunya orang Bali di kantor ini, termasuk salah satu yang suka sekali mendengar cerita horornya. Sungguh, kalaulah cerita itu diceritakan malam-malam, lebih-lebih malam Jumat Kliwon, sambil lampu dipadamkan, makin serulah cerita hantu-hantu itu. Ia, si lelaki kemayu itu bercerita dengan sangat menjiwainya, sambil sesekali memainkan jari-jari cantiknya, kadang menopang dagu, kadang menggenggam, dalam nuansa takut yang entah betulan atau dibuat-buatnya.

Lily ingat, pertama kali ia masuk disini, ketika pak HRD membawanya ke beberapa ruang untuk dikenalkan, setelahnya ia sudah membuat analisa mana-mana saja ruangan di gedung ini yang ada 'penunggunya'. Salah satunya ruang di belakang tempat server di sebelah timur ruang IT. Pintu yang belum tentu seminggu sekali dibuka itu, hanyalah berisi kabel-kabel yang hanya orang IT saja yang mengerti. Dua AC yang menyala sepanjang waktu. Panel listrik. Dan lampu-lampu yang selalu tiada pernah padam, aneh. Mana mungkin makhluk halus kerasan tinggal di tempat terang benderang begitu. Tetapi, “Ibu kota dari semua penghuni gedung ini ada di lantai 16,” katanya.

Bermain Facebook adalah sudah sedemikian Lily akrabi. Itu dulu ia lakukan dengan mencuri-curi waktu.. Tetapi belakangan, saban waktu ia lakukan. Karena apa yang mesti disembunyikan, ketika para atasanmu itu pun tiada pernah lepas darinya. Facebook atau Twitter, atau sejenisnya. Maka, ketika OB masuk ke ruang atasan, ia seringkali melirik para atasan itu yang sok sibuk dengan tak pernah lepas memandangi layar monitor. Padahal, belum tentu itu demi perusahaannya. Bisa jadi ia adalah sekadar memanfaatkan fasilitas perusahaaan untuk kepentingan pribadi, misalnya. Lily, dalam ber-FB-an jarang sekali menghitung berapa temannya sekarang. Ya, ia sering hanya confirm dan ignor dari sekadar melihat nama dan fotonya saja. Kalau namanya masuk akal, plus foto yang jujur tanpa dibuat-buat, cukuplah baginya untuk meng-confirm permintaan pertemanan. Termasuk yang akhir-akhir ini akrab dengannya. Namanya Maya. Kulitnya kuning, ia seperti model-model yang sering ia lihat fotonya di majalah-majalah. Tubuhnya, seperti yang pernah ia intip di album fotonya, sungguh idaman para wanita. Tinggi semampai, rambut lurus dan bagus, senyumnya, pastilah alami itu. Tidak dibuat-buat. Tidak kemayu.

Masuk lebih dalam lagi, Lily mendapati status-status renyah laiknya para Facebooker yang cerdas dan mencerahkan. Kalaupun itu adalah sebuah humor, ia dibungkus dengan kalimat yang tidak murahan. Benar-benar mencerminkan tingkat intelektualitas si empunya akun.

Hujan sedang tidak terlalu deras ketika sore itu Lily membuka Facebook dan mendapati permintaan pertemanan dari Maya. Dan, dengan sekali klik, jadilah mereka berteman. Itu terjadi Desember yang lalu. Ketika pohon trembesi di luar sana itu, dipinggir play ground itu, belum roboh diterjang angin puting beliung. Dan saat ini, sore yang mendung hendak hujan begini, Lily memandang keluar jendela lagi. Menatap tempat dimana pernah tumbuh sebatang trembesi yang sering ia dapati para anak kecil, anak-anak penghuni apartement ini, yang sebagian besar orang Jepang, bermain ayunan, atau sekadar berkejaran dibawah rimbunnya..

“Ly,” suara itu, dengan aroma parfum yang dekat sekali ke hidungnya itu, Lily tak menyangka tiba-tiba si kemayu itu telah berdiri didekatnya. “Kulihat dua orang perempuan berambut panjang duduk sedih di bekas pohon yang tumbang itu. Ia sedang menangisi rumahnya yang telah roboh...”

Lily memandang si kemayu itu dengan tatapan biasa. Sebiasa si lelaki kemayu itu selalu menceritakan hal-hal mistis begitu sekalipun tiada yang meminta. Dan Lily, sebagai orang yang berwawasan realistis, kurang mempercayai hal-hal horor begitu.

Tiga jendela besar dengan wooden blind yang terangkat tinggi, membuat ayunan, jembatan gantung dan aneka mainan anak-anak di play ground itu terlihat jelas. Tetapi mendung yang makin menggelap itu membuat tiada seorangpun bermain disitu. Kecuali, (ah, kenapa ia terpengaruh si kemayu?) dua perempuan yang sedang menangisi 'rumah' yang telah roboh itu. Tanpa berbicara tentang dua penunggu pohon yang berduka itu, Lily kembali ke mejanya. Melihat semua, ia merasa lebih tidak menginginkan turunnya hujan sore ini. Karena, ia sedang lupa membawa mantel.

“Eh, kamu kerja dimana?”

“Surabaya.”

“Iya, Surabaya mana?” Maya dalam percakapan online via Facebook itu dirasakan Lily sebagai percakapan yang akrab sekali. Seolah sudah pernah ketemu langsung. “Aku sedang di Surabaya lho ini. Sedang naik taksi.”

“Ohya?!” mata Lily membulat. “Mau ke Surabaya mana?”

“Barat,” jawabnya sigkat.

“Barat mana?” ketik Lily disertai mantion berwajah marah yang cenderung jenaka.

“Apartement Sun Flower.”

“Hei, aku kerja disitu,” kalaulah ia lupa sedang di kantor, tentu ia sudah memekik kegirangan.

“Ohya?! Tanteku tinggal disitu. Ini aku sedang mau kesitu.”

“Siapa nama tantemu?,” tentu sebagai staff tenant relation officer, Lily tahu semua penghuni apartement ini.

“Deviana.”

“1608,” tebak Lily dengan jitu. Selanjutnya saling bertukar nomor ponsel.

Oh my God. Kau tahu, teman Facebook itu akan selalu mendebarkan bila dalam perjumpaan pertama. Kopi darat, istilahnya. Dan Lily, setelah sekian lama akrab di dunia maya dengan si Maya, sore ini akan bertatap muka. Oh, persahabatan yang sempurna. Hujan mulai mengiris kota sore ini. Tiada sinar lembayung diujung barat. Ia, sesuai janji dengan Maya barusan, akan bertemu sebentar lagi. Nanti, setibanya di unit tantenya itu, ia akan kasih kabar. Tetapi, “Tamu bu Deviana sudah datang?” tanya Lily pada resepsionis yang centil itu, yang dalam foto profil akun Facebook-nya tampil dengan pose pamer tato gambar bunga dipunggung kanannya.

“Namanya Maya?”

“Iya.”

“Sudah. Barusan naik ke 1608,” jawaban Tita, si resepsionis bertato di punggung itu membuat Lily lupa bagaimana akan pulang dengan bermotor tetapi lupa bawa mantel disaat hujan begini.

Hujan makin menderas. Lily melihat, entah untuk berapa kalinya, keluar jendela. “Sudahlah, motormu ditinggal dikantor saja. Pulang bareng aku, lagian rumahmu kan jalur pulangku.” kata lelaki kemayu yang memang tinggal di Kertajaya.

Lily tersenyum Tetapi tentu saja ia tiada henti berdoa agar hujan ini segera berakhir.


Lily melihat layar ponselnya. Dan seperti mengerti, ia segera menyala. Sebuah pesan singkat masuk. “Kemarilah. Kutunggu di tempat tanteku.”

Lily bangkit. Meninggalkan Indah, Desi, Nanin, Chichi, pak Wi dan pak Gedhe yang sedang mengerubungi lelaki kemayu itu dengan cerita horornya. “Mau kemana?” tanya Desi.

“Sebentar, mau ketemu teman Facebook.”

Lily menuju lift. Menombol angka 16. Dan,

“Lily?” seorang perempuan cantik menyambut begitu pintu lift terbuka.

“Maya?” Lily menatap penuh kagum temannya yang ternyata jauh lebih cantik dari semua foto yang pernah dilihatnya di akun Facebook-nya. Perfect, benar-benar kecantikan yang sempurna. Rambutnya indah, matanya bercahaya, dan hmm... parfumnya sungguh berkelas. Parfum itu, oh Lily ingat, persis yang dipakai si lelaki kemayu itu.

Saling memeluk akrab, setelahnya Maya mengajaknya masuk ke unit apartement tantenya. “Santai saja. Tanteku sedang keluar. Tapi tadi beliau sudah titip kunci di front desk. Kan aku sudah bilang mau mampir kesini. Mumpung di Surabaya.” nyaris tiada berkedip Lily memandangi perempuan smart di depannya.

Sungguh pertemuan yang hangat. Kecanggungan di awal, lewat begitu saja. Disusul gelak tawa layaknya sahabat lama di dunia nyata. Tidak salah, Maya memang perempuan cerdas.

Dari balcony terlihat hujan makin deras. Diluar agak gelap, gelap yang dipadu suara butiran air jatuh, sungguh nuansa yang tiba-tiba asing. Ah, tidak. Bukankah memang begitu itu suara hujan. Tetapi ketika ia ingat cerita si lelaki kemayu kalau lantai 16 adalah pusat dari semua makhluk halus penunggu gedung ini, tiba-tiba bulu kuduknya merinding. Tetapi senyum itu, senyum manis Maya itu, membuatnya membuang jauh-jauh cerita tahayul itu.

“Ohya, minum apa?”

“Tak usah repot-repotlah...” Lily menjawab.

“Kopi ya?” Maya berdiri dan melangkah menuju kitchen.

“Aku tidak ngopi.”

“Kalau begitu kubuatkan teh hangat saja.” Maya menghilang ditelah pintu kitchen.

Selain suara hujan itu, tiada yang lain. Udara terasa dingin sekalipun Maya tidak menghidupkan AC. Di kitchen, tiada terdengar suara Maya mengaduk teh dalam gelas. Lily merasakan bulu-bulu halus dilengannya berdiri meremang. Masih sepi. Masih dingin. Dan lamat-lamat, ada suara memanggil-manggil namanya. Disertai bunyi-bunyian yang ditabuh tak beraturan. Dari sayup-sayup, makin lama makin jelas. Dan Maya masih juga belum muncul membawa teh hangat yang dijanjikan untuknya.

Beberapa saat Lily memandangi pintu yang tertutup itu. Ketika tiba-tiba ia terbuka, dan mendapati lelaki kemayu itu, diikuti Desi, Indah, Nanin, Chichi, pak Wi dan pak Gedhe membawa wajan, gelas, piring, sendok dan aneka barang lain yang diambil dari dapur ruang OB yang dipukul-pukulkan, Lily terkejut bukan main. Lebih-lebih ketika ia menyadari sedang duduk disudut emergency stair sendirian. “Oh, tidak, tidak...” Lily meronta ketakutan. “Dimana aku ini? Dimana?”

“Kamu sedang di lantai 16” kata lelaki kemayu itu kalem.

=oOo=

MALAM itu Lily pulang semobil dengan si Yossy. Otaknya masih belum ngeh dengan yang dialaminya barusan. Kau tahu, lelaki kemayu itu hanya tersenyum melihat Lily. Dan senyum itu, senyum yang selalu kemayu itu, sungguh ia tidak suka. Tetapi ketidaksukaannya itu harus sedapat mungkin ia sembunyikan. Semoga ia berhasil melakukannya. Namun Lily tentu masih ingat aroma parfum Maya tadi. Ya, aromanya persis dengan yang dipakai lelaki kemayu disampingnya ini.

Hujan membuat jalan Mayjen Sungkono tergenang. Mobil sedan putih yang ia tumpangi bersama si Yossy berjalan pelan sekali. Untuk membunuh jenuh dalam keadaan lalu lintas yang merambat, Lily membuka Facebook via ponselnya. Dan, “Maaf, aku tadi meninggalkanmu sendiri,” ia mendapati pesan dari Maya di wall Facebook-nya.*****.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar