LILY memegang gelas kosong
menuju depan ruang IT yang di sudut depan pintunya terletak dispenser.
Sambil berjalan ke situ ia melirik lelaki yang kemayu itu. Kau tahu,
dia sangat benci melihat perempuan yang kemayu. Lebih-lebih yang
kemayu itu adalah lelaki. Ia, kalau melihat Ivan Gunawan atau siapa
pun lelaki yang tampil layaknya perempuan atau malah cenderung lebih
perempuan ketimbang perempuan yang sesungguhnya tampil di televisi,
ingin melemparnya memakai remote control yang sedang
dipegangnya. Tetapi, sungguh, Lily kadang gampang
sekali berubah pikiran. Dan ia hanya kemudian mematikan televisinya.
Masuk kamar, menyalakan komputer. Online. Main twitter atau
Facebook-an. Itu kebiasaan baru, karena dulu, dulu sekali, ia
lebih akrab dengan kertas, sebenarnya. Membuat catatan tentang apa
saja. Di buku hariannya. Kini tidak lagi. Tetapi kebenciannya kepada
seorang yang kemayu, memang sejak dulu ia pelihara.
Kembali dari mengambil air minum di
depan ruang IT, mendapati lelaki kemayu itu, Yossy namanya,
memperhatikan kuku-kukunya. Dengan lagak yang enggan sekali Lily
menatapnya. Tetapi, sebagai teman sekantor, satu ruang tepatnya, tak
mungkinlah ia meludah di depannya. Ia hanya tersenyum. Senyum yang
dipaksa. Lalu lelaki kemayu itu pun terseyum. Sambil menarik pintu
laci meja kerjanya. Di situ, sepintas Lily melihat isinya. Persis laci
seorang penata rias. Ada bedak dan sebangsanya.
Pernah ia dengar tentang susuk.
Sebagai pengasih. Agar orang memeperhatikan lebih. Tentu kau pernah
juga mendengarnya. Untuk apa?
Ini lucu sebenarnya. Bagaimana mungkin ia yang saban hari ke salon, demi sebuah wajah cantik, belum percaya diri dan masih menambahkan sebatang susuk yang ditusukkan di dagu, jidat atau ujung hidung. Melangkah di depan meja kerjanya, sehembus aroma parfum berkelas menusuk hidung. Lily suka itu, suka aroma itu, yang hm.. lebih tercium feminin ketimbang maskulin. Dan senyum itu, senyum si kemayu itu, sekali lagi membuat Lily membalasnya dengan senyum palsu.
Ini lucu sebenarnya. Bagaimana mungkin ia yang saban hari ke salon, demi sebuah wajah cantik, belum percaya diri dan masih menambahkan sebatang susuk yang ditusukkan di dagu, jidat atau ujung hidung. Melangkah di depan meja kerjanya, sehembus aroma parfum berkelas menusuk hidung. Lily suka itu, suka aroma itu, yang hm.. lebih tercium feminin ketimbang maskulin. Dan senyum itu, senyum si kemayu itu, sekali lagi membuat Lily membalasnya dengan senyum palsu.
Baru belum genap enam bulan Yossy
disini. Menggantikan pak Joe yang pindah kerja ke sebuah mal baru di kota ini. Dan
sebagai chief House Keeping, ia adalah sesuai. Yang bersihan,
rapi dan membuat hunian vertikal ini menjadi tetap terunggul
dikelasnya di kota ini. Rambut si kemayu itu sedemikian rapinya saban
waktu. Tertata selalu. Dengan model yang mengingatkan pada para metro
seksual yang sering dilihatnya di majalah-majalah. Semakin panjang
waktu bersamanya dalam keseharian, Lily jadi tahu, ternyata si kemayu
itu pandai sekali memengaruhi teman. Termasuk ia pandai sekali bicara
dan bercerita tentang dunia hantu.
Pak Gedhe, satu-satunya orang Bali di
kantor ini, termasuk salah satu yang suka sekali mendengar cerita
horornya. Sungguh, kalaulah cerita itu diceritakan malam-malam,
lebih-lebih malam Jumat Kliwon, sambil lampu dipadamkan, makin
serulah cerita hantu-hantu itu. Ia, si lelaki kemayu itu bercerita
dengan sangat menjiwainya, sambil sesekali memainkan jari-jari
cantiknya, kadang menopang dagu, kadang menggenggam, dalam nuansa
takut yang entah betulan atau dibuat-buatnya.
Lily ingat, pertama kali ia masuk
disini, ketika pak HRD membawanya ke beberapa ruang untuk dikenalkan,
setelahnya ia sudah membuat analisa mana-mana saja ruangan di gedung
ini yang ada 'penunggunya'. Salah satunya ruang di belakang tempat
server di sebelah timur ruang IT. Pintu yang belum tentu seminggu
sekali dibuka itu, hanyalah berisi kabel-kabel yang hanya orang IT
saja yang mengerti. Dua AC yang menyala sepanjang waktu. Panel
listrik. Dan lampu-lampu yang selalu tiada pernah padam, aneh. Mana
mungkin makhluk halus kerasan tinggal di tempat terang benderang
begitu. Tetapi, “Ibu kota dari semua penghuni gedung ini ada di
lantai 16,” katanya.
Bermain Facebook adalah sudah
sedemikian Lily akrabi. Itu dulu ia lakukan dengan mencuri-curi waktu..
Tetapi belakangan, saban waktu ia lakukan. Karena apa yang mesti
disembunyikan, ketika para atasanmu itu pun tiada pernah lepas
darinya. Facebook atau Twitter, atau
sejenisnya. Maka, ketika OB masuk ke ruang atasan, ia
seringkali melirik para atasan itu yang sok sibuk dengan tak pernah
lepas memandangi layar monitor. Padahal, belum tentu itu demi
perusahaannya. Bisa jadi ia adalah sekadar memanfaatkan fasilitas
perusahaaan untuk kepentingan pribadi, misalnya. Lily, dalam
ber-FB-an jarang sekali menghitung berapa temannya sekarang. Ya, ia
sering hanya confirm dan ignor dari sekadar melihat
nama dan fotonya saja. Kalau namanya masuk akal, plus foto yang jujur
tanpa dibuat-buat, cukuplah baginya untuk meng-confirm
permintaan pertemanan. Termasuk yang akhir-akhir ini akrab dengannya.
Namanya Maya. Kulitnya kuning, ia seperti model-model yang sering ia
lihat fotonya di majalah-majalah. Tubuhnya, seperti yang pernah ia
intip di album fotonya, sungguh idaman para wanita. Tinggi semampai,
rambut lurus dan bagus, senyumnya, pastilah alami itu. Tidak
dibuat-buat. Tidak kemayu.
Masuk lebih dalam lagi, Lily mendapati
status-status renyah laiknya para Facebooker yang cerdas dan
mencerahkan. Kalaupun itu adalah sebuah humor, ia dibungkus dengan
kalimat yang tidak murahan. Benar-benar mencerminkan tingkat
intelektualitas si empunya akun.
Hujan sedang tidak terlalu deras ketika
sore itu Lily membuka Facebook dan mendapati permintaan
pertemanan dari Maya. Dan, dengan sekali klik, jadilah mereka
berteman. Itu terjadi Desember yang lalu. Ketika pohon trembesi di
luar sana itu, dipinggir play ground itu, belum roboh
diterjang angin puting beliung. Dan saat ini, sore yang mendung hendak
hujan begini, Lily memandang keluar jendela lagi. Menatap tempat
dimana pernah tumbuh sebatang trembesi yang sering ia dapati para
anak kecil, anak-anak penghuni apartement ini, yang sebagian besar
orang Jepang, bermain ayunan, atau sekadar berkejaran dibawah
rimbunnya..
“Ly,” suara itu, dengan aroma
parfum yang dekat sekali ke hidungnya itu, Lily tak menyangka
tiba-tiba si kemayu itu telah berdiri didekatnya. “Kulihat dua
orang perempuan berambut panjang duduk sedih di bekas pohon yang
tumbang itu. Ia sedang menangisi rumahnya yang telah roboh...”
Lily memandang si kemayu itu dengan
tatapan biasa. Sebiasa si lelaki kemayu itu selalu menceritakan
hal-hal mistis begitu sekalipun tiada yang meminta. Dan Lily, sebagai
orang yang berwawasan realistis, kurang mempercayai hal-hal horor
begitu.
Tiga jendela besar dengan wooden blind yang terangkat tinggi, membuat ayunan, jembatan gantung
dan aneka mainan anak-anak di play ground itu terlihat jelas.
Tetapi mendung yang makin menggelap itu membuat tiada seorangpun
bermain disitu. Kecuali, (ah, kenapa ia terpengaruh si kemayu?) dua
perempuan yang sedang menangisi 'rumah' yang telah roboh itu. Tanpa
berbicara tentang dua penunggu pohon yang berduka itu, Lily kembali
ke mejanya. Melihat semua, ia merasa lebih tidak menginginkan
turunnya hujan sore ini. Karena, ia sedang lupa membawa mantel.
“Eh, kamu kerja dimana?”
“Surabaya.”
“Iya, Surabaya mana?” Maya dalam
percakapan online via Facebook itu dirasakan Lily
sebagai percakapan yang akrab sekali. Seolah sudah pernah ketemu
langsung. “Aku sedang di Surabaya lho ini. Sedang naik
taksi.”
“Ohya?!” mata Lily membulat. “Mau
ke Surabaya mana?”
“Barat,” jawabnya sigkat.
“Barat mana?” ketik Lily disertai
mantion berwajah marah yang cenderung jenaka.
“Apartement Sun Flower.”
“Hei, aku kerja disitu,” kalaulah
ia lupa sedang di kantor, tentu ia sudah memekik kegirangan.
“Ohya?! Tanteku tinggal disitu. Ini
aku sedang mau kesitu.”
“Siapa nama tantemu?,” tentu sebagai
staff tenant relation officer, Lily tahu semua penghuni
apartement ini.
“Deviana.”
“1608,” tebak Lily dengan jitu.
Selanjutnya saling bertukar nomor ponsel.
Oh my God. Kau tahu, teman
Facebook itu akan selalu mendebarkan bila dalam perjumpaan
pertama. Kopi darat, istilahnya. Dan Lily, setelah sekian lama akrab
di dunia maya dengan si Maya, sore ini akan bertatap muka. Oh,
persahabatan yang sempurna. Hujan mulai mengiris kota sore ini.
Tiada sinar lembayung diujung barat. Ia, sesuai janji dengan Maya
barusan, akan bertemu sebentar lagi. Nanti, setibanya di unit
tantenya itu, ia akan kasih kabar. Tetapi, “Tamu bu Deviana sudah
datang?” tanya Lily pada resepsionis yang centil itu, yang dalam
foto profil akun Facebook-nya tampil dengan pose pamer tato
gambar bunga dipunggung kanannya.
“Namanya Maya?”
“Iya.”
“Sudah. Barusan naik ke 1608,”
jawaban Tita, si resepsionis bertato di punggung itu membuat Lily
lupa bagaimana akan pulang dengan bermotor tetapi lupa bawa mantel
disaat hujan begini.
Hujan makin menderas. Lily melihat,
entah untuk berapa kalinya, keluar jendela. “Sudahlah, motormu ditinggal dikantor saja. Pulang bareng aku, lagian rumahmu kan jalur
pulangku.” kata lelaki kemayu yang memang tinggal di Kertajaya.
Lily tersenyum Tetapi tentu saja ia
tiada henti berdoa agar hujan ini segera berakhir.
Lily melihat layar ponselnya. Dan
seperti mengerti, ia segera menyala. Sebuah pesan singkat masuk.
“Kemarilah. Kutunggu di tempat tanteku.”
Lily bangkit. Meninggalkan Indah,
Desi, Nanin, Chichi, pak Wi dan pak Gedhe yang sedang mengerubungi
lelaki kemayu itu dengan cerita horornya. “Mau kemana?” tanya
Desi.
“Sebentar, mau ketemu teman
Facebook.”
Lily menuju lift. Menombol angka 16.
Dan,
“Lily?” seorang perempuan cantik
menyambut begitu pintu lift terbuka.
“Maya?” Lily menatap penuh kagum
temannya yang ternyata jauh lebih cantik dari semua foto yang pernah
dilihatnya di akun Facebook-nya. Perfect, benar-benar
kecantikan yang sempurna. Rambutnya indah, matanya bercahaya, dan
hmm... parfumnya sungguh berkelas. Parfum itu, oh Lily ingat, persis
yang dipakai si lelaki kemayu itu.
Saling memeluk akrab, setelahnya Maya
mengajaknya masuk ke unit apartement tantenya. “Santai saja.
Tanteku sedang keluar. Tapi tadi beliau sudah titip kunci di front
desk. Kan aku sudah bilang mau mampir kesini. Mumpung di
Surabaya.” nyaris tiada berkedip Lily memandangi perempuan smart di depannya.
Sungguh pertemuan yang hangat.
Kecanggungan di awal, lewat begitu saja. Disusul gelak tawa layaknya
sahabat lama di dunia nyata. Tidak salah, Maya memang perempuan cerdas.
Dari balcony terlihat hujan
makin deras. Diluar agak gelap, gelap yang dipadu suara butiran air
jatuh, sungguh nuansa yang tiba-tiba asing. Ah, tidak. Bukankah
memang begitu itu suara hujan. Tetapi ketika ia ingat cerita si
lelaki kemayu kalau lantai 16 adalah pusat dari semua makhluk
halus penunggu gedung ini, tiba-tiba bulu kuduknya merinding. Tetapi
senyum itu, senyum manis Maya itu, membuatnya membuang jauh-jauh
cerita tahayul itu.
“Ohya, minum apa?”
“Tak usah repot-repotlah...” Lily
menjawab.
“Kopi ya?” Maya berdiri dan
melangkah menuju kitchen.
“Aku tidak ngopi.”
“Kalau begitu kubuatkan teh hangat
saja.” Maya menghilang ditelah pintu kitchen.
Selain suara hujan itu, tiada yang
lain. Udara terasa dingin sekalipun Maya tidak menghidupkan AC. Di
kitchen, tiada terdengar suara Maya mengaduk teh dalam gelas. Lily
merasakan bulu-bulu halus dilengannya berdiri meremang. Masih sepi.
Masih dingin. Dan lamat-lamat, ada suara memanggil-manggil namanya.
Disertai bunyi-bunyian yang ditabuh tak beraturan. Dari sayup-sayup,
makin lama makin jelas. Dan Maya masih juga belum muncul membawa teh
hangat yang dijanjikan untuknya.
Beberapa saat Lily memandangi pintu
yang tertutup itu. Ketika tiba-tiba ia terbuka, dan mendapati lelaki
kemayu itu, diikuti Desi, Indah, Nanin, Chichi, pak Wi dan pak Gedhe
membawa wajan, gelas, piring, sendok dan aneka barang lain yang
diambil dari dapur ruang OB yang dipukul-pukulkan, Lily terkejut
bukan main. Lebih-lebih ketika ia menyadari sedang duduk disudut emergency stair sendirian. “Oh, tidak, tidak...”
Lily meronta ketakutan. “Dimana aku ini? Dimana?”
“Kamu sedang di lantai 16” kata lelaki
kemayu itu kalem.
=oOo=
MALAM itu Lily pulang semobil
dengan si Yossy. Otaknya masih belum ngeh dengan yang
dialaminya barusan. Kau tahu, lelaki kemayu itu hanya tersenyum
melihat Lily. Dan senyum itu, senyum yang selalu kemayu itu, sungguh ia
tidak suka. Tetapi ketidaksukaannya itu harus sedapat mungkin ia
sembunyikan. Semoga ia berhasil melakukannya. Namun Lily tentu masih
ingat aroma parfum Maya tadi. Ya, aromanya persis dengan yang dipakai
lelaki kemayu disampingnya ini.
Hujan membuat jalan Mayjen Sungkono
tergenang. Mobil sedan putih yang ia tumpangi bersama si Yossy
berjalan pelan sekali. Untuk membunuh jenuh dalam keadaan lalu lintas
yang merambat, Lily membuka Facebook via ponselnya.
Dan, “Maaf, aku tadi meninggalkanmu sendiri,” ia mendapati pesan
dari Maya di wall Facebook-nya.*****.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar