WULANDARI tidak yakin malam ini akan lebih baik dari
kemarin. Ketika tak seorangpun tertarik untuk mengajaknya tidur. Sambil
berdiri, sesekali pindah tempat, kakinya mengatakan yang ada dalam hatinya.
Kaki itu, sesekali mempermainkan botol miras kosong yang tergeletak di tanah, di
pinggir jalan tempatnya mangkal. Di makam China, tempat lain biasa ia menunggu
tamu, pun begitu. Ia hanya seperti nisan yang tak menarik untuk disentuh. Ia,
dalam hatinya, menyetarakan dirinya sedang sebagai daun yang sudah kering. Yang
lebih dari layu.
Langit bersih sedang memamerkan bulan. Dan Wulandari menjadi
ingat dongeng yang dulu pernah disampaikan neneknya. Lihatlah, bila bulan
sedang purnama begitu, ada jelas terlihat seorang perempuan bersama kucingnya
di sana. Duduk bersimpuh. Seperti sedang menunggu. Tetap saja. Yang ditunggu
tak kunjung datang. Datang, tetapi lebih tertarik pada orang baru yang jauh
lebih muda dari Wulandari. Perempuan-prempuan baru itu, pindahan dari tempat-tempat
yang ditutup paksa itu, seperti laron yang terbang dipinggir-pinggir jalan
seusai hujan. Dan Wulandari sadar, ia lebih tua dari mereka. Sampai embun
datang, sampai mulutnya tak minat merokok lagi, karena keringat dingin itu
pertanda ia masuk angin, tak satupun lelaki mendekatinya.
“Sri, aku pulang dulu.”
“Lho, kenapa, mbakyu?”
temannya itu terlihat masih mampu bersaing dengan oarang-orang baru. Entah sampai
berapa minggu saja.
Wulandari mengelap keringat dingin di keningnya. Mual
perutnya. Tak dapat dibohongi sudah. Tubuhnya tidak sekuat dulu. Semalaman
berbaju agak terbuka tidak apa-apa. Sekarang, gampang sekali angin masuk
ketubuhnya. Seharusnya, diusianya yang sudah berkepala empat ini, ia naik
pangkat. Menjadi ‘mami’, misalnya. Atau pulang ke kampung menjadi penjahit.
Atau, paling tidak membuka ‘warung pangku’ di pingir-pinggir kota pinggiran.
Kemarin itu, setibanya ia di rumah kostnya, muntah-muntah
ia. Masuk angin yang akut. Seluruh tubuh dibasahi minyak kayu putih, tidak juga
pulih. Baru baikan ketika paginya Sri dengan suka rela membuat garis-garis
merah menggunakan uang logam dan minyak tawon di punggung dan lehernya.
“Kalau belum sehat benar, mbok ya jangan keluar,” sambil mengerok punggung Sri berujar.
“Terus aku mau makan apa?”
“Sampeyan itu sudah
tak anggap mbakyuku sendiri,” Sri mengusapkan minyak tawon lalu menyusulnya
dengan menggarukkan uang logam itu pada bagian bawah garis yang sudah memerah.
“Kalau hanya soal makan, tak
tanggung, mbakyu. Kalau sabar, pasti
ada saja rejeki untuk kita. Semalam, sepulang sampeyan itu, aku dapat tamu. Dua kali. Lak lumayan to?’
“Tapi kamu kan punya tanggungan. Katanya anakmu mau rekreasi
ke Bali usai lulusan.”
“Wis to, mbakyu. Sampeyan gak usah ikut mikir. Itu sudah tak siapkan,” Sri menutup botol minyak
tawon dan menaruh uang logam di dekat pesawat televisi. “Sudah, istirahat dulu.
Nanti sehabis sarapan jangan lupa minum obat. Aku mau tidur.”
Sri menuju kamar sebelah. Dan Wulandari mengenakan lagi
daster warna merahnya. Ia berdiri, kemudian menggelengkan kepalanya sedemikian
rupa, kekiri, juga kekanan. Suara ‘krutuk’ di lehernya membuatnya merasa lebih
baikan. Ia keluar kamar. Rumah kostnya ini memang langsung berhadapan dengan
jalan, sekalipun hanya selebar ukuran becak atau gerobak tukang sampah.
Dan, kadang, jauh didalam hatinya, lama sudah ia merasa sebagai sampah. Sendiri.
Tidak seperti Sri. Yang punya anak, sekali pun tiada bersuami. Sedangkan Wulandari?
Tak tahu ia harus ngenger* pada siapa
di hari tua nanti.
**oOo**
SELAIN tentang
perempuan dan kucing di bulan sana, nenek pernah bercerita tentang hari
lahirnya. Ia lahir tepat ketika bulan purnama begini. Makanya ia kemudian
dinamakan Wulandari. Ibunya, lamat-lamat masih ia ingat wajahnya, cantik
sekali. Sayang sekali Wulandari hanya merasakan belaiannya sebatas usia
sebelas. Karena keburu maut menjemput. Namanya Lintang. Ayahnya? Tentang ini
nenek tak pernah cerita. “Ayahmu adalah malam...” kata nenek, selalu.
Malam sedang bersahabat. Cerah sekali. Dan bulan sedang purnama.
Sesekali angin bergerak pelan. Menebarkan gairah. Juga
menyusup ke baju Wulandari yang agak tertutup kali ini. Malu ia memakai yang agak
terbuka, takut garis garis bekas kerokannya makin tidak memungkinkan ia ada
yang mendekati. Tetapi aroma itu, bau minyak angin di tubuhnya itu, tentu bukan
lawan yang sebanding dengan orang-orang baru dengan bau yang mengundang selera.
Lelaki menjalankan motor pelan-pelan selalu menjahuinya. Asap kenalpot itu terasa
makin menyesakkan dadanya. Dan ini kenyataan. Saat yang selama ini ia perkirakan ternyata datang
lebih awal.
Satu lagi, perkiraannya juga keliru.Dan Sri yang benar; “Mbakyu, hidup itu tidak usah ngoyo. Kalau sedang tidak enak badan ya
istirahat dulu. Nanti kalau masuk angin lagi, sudah tak bisa sembuh kalau hanya
dikeroki...” nasihat Sri tadi sebelum berangkat.
Tetapi kebutuhan hidup tidak bisa menunggu. Itu yang membuat
Wulandari nekat ikut berangkat. Ia sedang butuh uang. Bulan depan, hari Rabu Pahing, waktunya menggelar selamatan seribu hari meninggalnya nenek. Dan ia tak
mungkin mengharapkan bantuan Sri.
Tetapi mual itu, keringat dingin itu, menandakan ia masuk
angin lagi. “Mbakyu, kalau sampeyan masih mengangap aku ini adikmu, tak bilangi ya. Sampeyan pulang dulu. Jangan mikir kerja dulu. Nanti kalau sudah
sehat, baru....”
Sesachet Tolak Angin
telah ia cecap habis. Ia berharap hangat itu tidak sekadar terasa di tenggorokan,
tetapi ke seluruh nadinya.
Lepas tengah malam ini jalan menuju rumah kostnya telah sepi.
Ia pulang berjalan kaki saja. Beberapa hari tiada pemasukan, ia merasa tidak
perlu naik taksi. Toh jarak dari sini kerumah tak terlalu jauh.
Membuka pintu pagar besi yang sudah mulai keropos
di sana-sini, suara engsel kering yang berderit itu, seperti menyilet malam yang kedinginan.
Lampu remang di teras, cat pintu dan jendela yang kusam, juga bunga-bunga yang
sedang tidur nyenyak. Wulandari membuka tas dan mengeluarkan anak kunci. Seekor
kucing putih bersih tidur di atas keset, didepan pintu. Dengan daun pintu yang
membuka keluar, Wulandari tak ingin membangunkan nyenyak tidur kucing itu.
Tetapi, hei... lihatlah. Kucing itu terjaga dan bangun mendekati kaki
Wulandari. Menggosok-nggosokkan kepalanya kesitu.
Wulandari menoleh kekiri-kekanan mencari cari ingatan. Dan
ia temukan. Bahwa tidak ada tetangganya yang memelihara kucing putih begini.
Lalu ini kucing siapa? Ataukah ini dibuang orang? Tidak, hanya orang gila yang
membuang seekor kucing secantik ini.
Digendongnya kucing itu masuk ke rumah. Diajaknya kemudian
ke dapur. Diberinya ia makan. Entahlah, senang sekali hati Wulandari mendapati
kucing itu lahap menyantap makanan yang ia hidangkan. Saat itu, lupa sudah ia
akan masuk anginnya. Ia tiada henti memandangi putih bulu-bulunya. Matanya yang
teduh, yang seolah sedang menyimpan rahasia. Ataukah ia adalah bidadari yang
mengembara** dan sedang menjelma menjadi seekor kucing. Tetapi untuk apa dan
dalam misi apa?
Selesai makan, kucing itu berterima kasih lewat gerakan
ekornya. Kemudian berjalan ke ruang depan. Wulandari mengikutinya. Tepat sebelum
pintu, kucing itu berhenti dan menoleh kebelakang. Wulandari tersenyum. Ia
tahu, kucing itu tidak bisa memutar anak kunci untuk membuka daun pintu.
Tetapi, setelah pintu itu dibuka pun, kucing itu tetap memandang Wulandari
lewat tatapan mata yang masih penuh rahasia.
Sambil dengan tersenyum Wulandari meraih dan menggendongnya.
“Kenapa? Kau lupa jalan pulang? Atau kau ingin menginap di sini beberapa malam?”
Kucing putih itu mengendus-endus dadanya seperti para lelaki
tamu-tamunya dulu. Tapi sebentar saja si putih itu berlaku begitu. Lalu minta
rutun. Berjalan pelan ke depan rumah yang langsung adalah jalan selebar tubuh
becak. Disitu ia kembali menoleh ke arah
Wulandari. Kemudian mendongak ke atas. Wulandari yang tetap mematung di teras
kurang mengerti apa maunya. Tetapi mau tak mau ia mendekati lagi kucing itu.
Menggendongnya lagi.”Katakanlah, apa maumu?”
Kucing itu menatap keatas seakan mengajak Wulandari turut
memandangnya. Bulan. Ya, kucing putih itu ingin Wulandari menatap bulan. Yang sedang
melingkar bundar. Saat-saat begitu, selalu saja Wulandari ingat
neneknya. Ingat dongeng yang diceritakan di halaman depan sambil tiduran di
dipan bambu, dipangkuan nenek. Tentang perempuan dan seekor kucing penunggu
bulan. Perempuan yang selalu duduk bersimpuh.
Malam ini bulan sedang purnama dengan sempurna. Makanya, ia
dapat melihat dan menerbangkan angannya dengan sepenuh jiwa. Tetapi, aneh.
Wulandari mendapati perempuan penunggu bulan itu sedang gelisah, sedang
menunggu. Dan, hei... Ia sedang sendiri sekarang. Kemana kucingnya?
Wulandari menatap kucing putih di gendongannya, “Katakan
padaku, apakah perempuan penunggu bulan itu yang memintamu datang kesini untuk menjemputku?”
*****
Surabaya, 13 April
2012.
**Bidadari yang
mengembara: judul cerpen AS. Laksana.
*ngenger: numpang hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar