Jumat, 13 April 2012

Panggilan dari Bulan


WULANDARI  tidak yakin malam ini akan lebih baik dari kemarin. Ketika tak seorangpun tertarik untuk mengajaknya tidur. Sambil berdiri, sesekali pindah tempat, kakinya mengatakan yang ada dalam hatinya. Kaki itu, sesekali mempermainkan botol miras kosong yang tergeletak di tanah, di pinggir jalan tempatnya mangkal. Di makam China, tempat lain biasa ia menunggu tamu, pun begitu. Ia hanya seperti nisan yang tak menarik untuk disentuh. Ia, dalam hatinya, menyetarakan dirinya sedang sebagai daun yang sudah kering. Yang lebih dari layu.

Langit bersih sedang memamerkan bulan. Dan Wulandari menjadi ingat dongeng yang dulu pernah disampaikan neneknya. Lihatlah, bila bulan sedang purnama begitu, ada jelas terlihat seorang perempuan bersama kucingnya di sana. Duduk bersimpuh. Seperti sedang menunggu. Tetap saja. Yang ditunggu tak kunjung datang. Datang, tetapi lebih tertarik pada orang baru yang jauh lebih muda dari Wulandari. Perempuan-prempuan baru itu, pindahan dari tempat-tempat yang ditutup paksa itu, seperti laron yang terbang dipinggir-pinggir jalan seusai hujan. Dan Wulandari sadar, ia lebih tua dari mereka. Sampai embun datang, sampai mulutnya tak minat merokok lagi, karena keringat dingin itu pertanda ia masuk angin, tak satupun lelaki mendekatinya.

“Sri, aku pulang dulu.”

“Lho, kenapa, mbakyu?” temannya itu terlihat masih mampu bersaing dengan oarang-orang baru. Entah sampai berapa minggu saja.

Wulandari mengelap keringat dingin di keningnya. Mual perutnya. Tak dapat dibohongi sudah. Tubuhnya tidak sekuat dulu. Semalaman berbaju agak terbuka tidak apa-apa. Sekarang, gampang sekali angin masuk ketubuhnya. Seharusnya, diusianya yang sudah berkepala empat ini, ia naik pangkat. Menjadi ‘mami’, misalnya. Atau pulang ke kampung menjadi penjahit. Atau, paling tidak membuka ‘warung pangku’ di pingir-pinggir kota pinggiran.

Kemarin itu, setibanya ia di rumah kostnya, muntah-muntah ia. Masuk angin yang akut. Seluruh tubuh dibasahi minyak kayu putih, tidak juga pulih. Baru baikan ketika paginya Sri dengan suka rela membuat garis-garis merah menggunakan uang logam dan minyak tawon di punggung dan lehernya.

“Kalau belum sehat benar, mbok ya jangan keluar,” sambil mengerok punggung Sri berujar.

“Terus aku mau makan apa?”

Sampeyan itu sudah tak anggap mbakyuku sendiri,” Sri mengusapkan minyak tawon lalu menyusulnya dengan menggarukkan uang logam itu pada bagian bawah garis yang sudah memerah. “Kalau hanya soal makan, tak tanggung, mbakyu. Kalau sabar, pasti ada saja rejeki untuk kita. Semalam, sepulang sampeyan itu, aku dapat tamu. Dua kali. Lak lumayan to?’

“Tapi kamu kan punya tanggungan. Katanya anakmu mau rekreasi ke Bali usai lulusan.”

Wis to, mbakyu. Sampeyan gak usah ikut mikir. Itu sudah tak siapkan,” Sri menutup botol minyak tawon dan menaruh uang logam di dekat pesawat televisi. “Sudah, istirahat dulu. Nanti sehabis sarapan jangan lupa minum obat. Aku mau tidur.”

Sri menuju kamar sebelah. Dan Wulandari mengenakan lagi daster warna merahnya. Ia berdiri, kemudian menggelengkan kepalanya sedemikian rupa, kekiri, juga kekanan. Suara ‘krutuk’ di lehernya membuatnya merasa lebih baikan. Ia keluar kamar. Rumah kostnya ini memang langsung berhadapan dengan jalan, sekalipun hanya selebar ukuran becak atau gerobak tukang sampah. Dan, kadang, jauh didalam hatinya, lama sudah ia merasa sebagai sampah. Sendiri. Tidak seperti Sri. Yang punya anak, sekali pun tiada bersuami. Sedangkan Wulandari? Tak tahu ia harus ngenger* pada siapa di hari tua nanti.

**oOo**

SELAIN tentang perempuan dan kucing di bulan sana, nenek pernah bercerita tentang hari lahirnya. Ia lahir tepat ketika bulan purnama begini. Makanya ia kemudian dinamakan Wulandari. Ibunya, lamat-lamat masih ia ingat wajahnya, cantik sekali. Sayang sekali Wulandari hanya merasakan belaiannya sebatas usia sebelas. Karena keburu maut menjemput. Namanya Lintang. Ayahnya? Tentang ini nenek tak pernah cerita. “Ayahmu adalah malam...” kata nenek, selalu.

Malam sedang bersahabat. Cerah sekali. Dan bulan sedang purnama.

Sesekali angin bergerak pelan. Menebarkan gairah. Juga menyusup ke baju Wulandari yang agak tertutup kali ini. Malu ia memakai yang agak terbuka, takut garis garis bekas kerokannya makin tidak memungkinkan ia ada yang mendekati. Tetapi aroma itu, bau minyak angin di tubuhnya itu, tentu bukan lawan yang sebanding dengan orang-orang baru dengan bau yang mengundang selera. Lelaki menjalankan motor pelan-pelan selalu menjahuinya. Asap kenalpot itu terasa makin menyesakkan dadanya. Dan ini kenyataan. Saat  yang selama ini ia perkirakan ternyata datang lebih awal. 

Satu lagi, perkiraannya juga keliru.Dan Sri yang benar; “Mbakyu, hidup itu tidak usah ngoyo. Kalau sedang tidak enak badan ya istirahat dulu. Nanti kalau masuk angin lagi, sudah tak bisa sembuh kalau hanya dikeroki...” nasihat Sri tadi sebelum berangkat.

Tetapi kebutuhan hidup tidak bisa menunggu. Itu yang membuat Wulandari nekat ikut berangkat. Ia sedang butuh uang. Bulan depan, hari Rabu Pahing, waktunya menggelar selamatan seribu hari meninggalnya nenek. Dan ia tak mungkin mengharapkan bantuan Sri.

Tetapi mual itu, keringat dingin itu, menandakan ia masuk angin lagi. “Mbakyu, kalau sampeyan masih mengangap aku ini adikmu, tak bilangi ya. Sampeyan pulang dulu. Jangan mikir kerja dulu. Nanti kalau sudah sehat, baru....”

Sesachet Tolak Angin telah ia cecap habis. Ia berharap hangat itu tidak sekadar terasa di tenggorokan, tetapi ke seluruh nadinya. 

Lepas tengah malam ini jalan menuju rumah kostnya telah sepi. Ia pulang berjalan kaki saja. Beberapa hari tiada pemasukan, ia merasa tidak perlu naik taksi. Toh jarak dari sini kerumah tak terlalu jauh.
Membuka pintu pagar besi yang sudah mulai keropos di sana-sini, suara engsel kering yang berderit itu, seperti menyilet malam yang kedinginan. Lampu remang di teras, cat pintu dan jendela yang kusam, juga bunga-bunga yang sedang tidur nyenyak. Wulandari membuka tas dan mengeluarkan anak kunci. Seekor kucing putih bersih tidur di atas keset, didepan pintu. Dengan daun pintu yang membuka keluar, Wulandari tak ingin membangunkan nyenyak tidur kucing itu. Tetapi, hei... lihatlah. Kucing itu terjaga dan bangun mendekati kaki Wulandari. Menggosok-nggosokkan kepalanya kesitu.

Wulandari menoleh kekiri-kekanan mencari cari ingatan. Dan ia temukan. Bahwa tidak ada tetangganya yang memelihara kucing putih begini. Lalu ini kucing siapa? Ataukah ini dibuang orang? Tidak, hanya orang gila yang membuang seekor kucing secantik ini.

Digendongnya kucing itu masuk ke rumah. Diajaknya kemudian ke dapur. Diberinya ia makan. Entahlah, senang sekali hati Wulandari mendapati kucing itu lahap menyantap makanan yang ia hidangkan. Saat itu, lupa sudah ia akan masuk anginnya. Ia tiada henti memandangi putih bulu-bulunya. Matanya yang teduh, yang seolah sedang menyimpan rahasia. Ataukah ia adalah bidadari yang mengembara** dan sedang menjelma menjadi seekor kucing. Tetapi untuk apa dan dalam misi apa?

Selesai makan, kucing itu berterima kasih lewat gerakan ekornya. Kemudian berjalan ke ruang depan. Wulandari mengikutinya. Tepat sebelum pintu, kucing itu berhenti dan menoleh kebelakang. Wulandari tersenyum. Ia tahu, kucing itu tidak bisa memutar anak kunci untuk membuka daun pintu. Tetapi, setelah pintu itu dibuka pun, kucing itu tetap memandang Wulandari lewat tatapan mata yang masih penuh rahasia.
Sambil dengan tersenyum Wulandari meraih dan menggendongnya. “Kenapa? Kau lupa jalan pulang? Atau kau ingin menginap di sini beberapa malam?”

Kucing putih itu mengendus-endus dadanya seperti para lelaki tamu-tamunya dulu. Tapi sebentar saja si putih itu berlaku begitu. Lalu minta rutun. Berjalan pelan ke depan rumah yang langsung adalah jalan selebar tubuh becak. Disitu  ia kembali menoleh ke arah Wulandari. Kemudian mendongak ke atas. Wulandari yang tetap mematung di teras kurang mengerti apa maunya. Tetapi mau tak mau ia mendekati lagi kucing itu. Menggendongnya lagi.”Katakanlah, apa maumu?”

Kucing itu menatap keatas seakan mengajak Wulandari turut memandangnya. Bulan. Ya, kucing putih itu ingin Wulandari menatap bulan. Yang sedang melingkar bundar. Saat-saat begitu, selalu saja Wulandari ingat neneknya. Ingat dongeng yang diceritakan di halaman depan sambil tiduran di dipan bambu, dipangkuan nenek. Tentang perempuan dan seekor kucing penunggu bulan. Perempuan yang selalu duduk bersimpuh.

Malam ini bulan sedang purnama dengan sempurna. Makanya, ia dapat melihat dan menerbangkan angannya dengan sepenuh jiwa. Tetapi, aneh. Wulandari mendapati perempuan penunggu bulan itu sedang gelisah, sedang menunggu. Dan, hei... Ia sedang sendiri sekarang. Kemana kucingnya?

Wulandari menatap kucing putih di gendongannya, “Katakan padaku, apakah perempuan penunggu bulan itu yang  memintamu datang kesini untuk menjemputku?” *****

Surabaya, 13 April 2012.

**Bidadari yang mengembara: judul cerpen AS. Laksana.
*ngenger: numpang hidup.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar