Minggu, 15 April 2012

Kesesuaian dan Penyesuaian

KANG, kuperhatikan, lama-lama wajah sampeyan itu mirip sekali dengan wajah istri sampeyan,” celetuk Mas Bendo terdengar seperti mulut yang sedang kurang kerjaan.

Kang Karib tetap fokus membaca koran. Matanya menyorotkan duka saat memandang foto tim medis yang sedang memberikan pertolongan kepada seorang pemain bola yang tiba-tiba ambruk di tengah laga. Pemain itu, Piermario Morisini, sedang membela Livorno, tim Serie B Italia. Dan, malangnya, pemain pinjaman dari Udinese itu menemui ajal disitu saat itu juga.

Itu kesedihan kedua. Karena di halaman pertama koran yang sama, Kang karib mendapati juga berita kematian. Tetapi akibat dari sebuah tindakan yang tidak sportif sama sekali. Kematian itu diakibatkan ulah geng motor.

“Kang?”

Kang Karib hanya melenguh pelan mejawab sapa mas Bendo barusan.

“Diajak ngomong kok gak respons blas.”

Kang Karib melipat koran dan meletakkan di meja. “Apa?”

“Baca koran kok gak ada bosannya. Beritanya kan sama saja.”

“Koran itu ibarat jodoh, nDo.”

Lha, kalau gitu sampeyan kok gak rabi saja sama koran?!” mas Bendo bersungut, lucu.

“Hehe... nesu, nesu..” goda Kang Karib.

Lha sampeyan yang nggarai. Mosok koran kok disamakan dengan jodoh. Lak ngawur to itu. Logika berpikirnya piye?

“Begini, nDo,” kang Karib nampak sedikit serius. “Jodoh itu perpaduan antara kesesuaian dan penyesuaian. Koran pun, atau apa pun, juga berlaku hukum itu. Koran ini misalnya, aku baca mungkin karena memang aku rasa sesuai dengan pola pikirku. Tetapi kan tidak semua yang ada di dalamnya bisa mak-plek persis sama dengan nalarku. Tulisan lain, pendapat lain, bisa-bisa bertolak belakang dengan yang aku tahu. Nah, itu butuh penyesuaian. Tetapi kalau tidak juga ketemu, ya abaikan.”

Ora mudheng aku, Kang.”

Yo wis kalau gitu,” kata Kang Karib. “Istrimu saja contohnya. Seperti kamu bilang tadi. Semakin lama berumah tangga, semakin terlihat mirip saja semuanya. Secara wajah juga mungkin, tetapi sekarang abaikan saja. Ada yang lebih penting dari itu; tabiat, sifat, perilaku...”

Mas Bendo memperhatikan seperti seorang pasien yang sedang mendengar hasil diagnosa dokter.

“Sebagai orang bangunan, istriku yang buruh pabrik adalah sudah kesesuaian. Paling tidak, yang sederajat. Seperti bintang sinetron yang dinikahi penyanyi, dokter disunting dokter, redaktur menikahi reporter, dst, dsb. Itu, sekali lagi, adalah kesesuaian. Tetapi dalam perjalanannya, ada letupan konflik yang butuh diselesaikan. Dalam penyelaian itulah butuh penyesuaian. Karena maunya pasanganmu belum tentu sama dengan maumu. Tetapi tentu jalan keluar tidak boleh semaunya sendiri-sendiri. Harus ada titik temu. Titik dimana kedua belah pihak sama-sama berdiri sebagai pemenang. Itulah penyesuaian.”

Kepala mas Bendo terasa klemun-klemun mendengarkan ocehan Kang Karib.

“Bagaimana, wis mudheng?”

“Sebentar, kang. Aku tak menyesuaikan dulu dengan nalar sampeyan....” ****



Tidak ada komentar:

Posting Komentar