“KANG, kuperhatikan, lama-lama
wajah sampeyan itu mirip sekali dengan wajah istri sampeyan,”
celetuk Mas Bendo terdengar seperti mulut yang sedang kurang kerjaan.
Kang Karib tetap fokus membaca koran.
Matanya menyorotkan duka saat memandang foto tim medis yang sedang
memberikan pertolongan kepada seorang pemain bola yang tiba-tiba
ambruk di tengah laga. Pemain itu, Piermario Morisini, sedang membela
Livorno, tim Serie B Italia. Dan, malangnya, pemain pinjaman dari
Udinese itu menemui ajal disitu saat itu juga.
Itu kesedihan kedua. Karena di halaman
pertama koran yang sama, Kang karib mendapati juga berita kematian.
Tetapi akibat dari sebuah tindakan yang tidak sportif sama sekali.
Kematian itu diakibatkan ulah geng motor.
“Kang?”
Kang Karib hanya melenguh pelan mejawab
sapa mas Bendo barusan.
“Diajak ngomong kok gak
respons blas.”
Kang Karib melipat koran dan meletakkan
di meja. “Apa?”
“Baca koran kok gak ada
bosannya. Beritanya kan sama saja.”
“Koran itu ibarat jodoh, nDo.”
“Lha, kalau gitu sampeyan
kok gak rabi saja sama koran?!” mas Bendo bersungut, lucu.
“Hehe... nesu, nesu..” goda
Kang Karib.
“Lha sampeyan yang nggarai.
Mosok koran kok disamakan dengan jodoh. Lak ngawur to
itu. Logika berpikirnya piye?
“Begini, nDo,” kang Karib nampak
sedikit serius. “Jodoh itu perpaduan antara kesesuaian dan
penyesuaian. Koran pun, atau apa pun, juga berlaku hukum itu. Koran
ini misalnya, aku baca mungkin karena memang aku rasa sesuai dengan
pola pikirku. Tetapi kan tidak semua yang ada di dalamnya bisa
mak-plek persis
sama dengan nalarku. Tulisan lain, pendapat lain, bisa-bisa
bertolak belakang dengan yang aku tahu. Nah, itu butuh penyesuaian.
Tetapi kalau tidak juga ketemu, ya abaikan.”
“Ora mudheng aku, Kang.”
“Yo wis kalau gitu,” kata
Kang Karib. “Istrimu saja contohnya. Seperti kamu bilang tadi.
Semakin lama berumah tangga, semakin terlihat mirip saja semuanya.
Secara wajah juga mungkin, tetapi sekarang abaikan saja. Ada yang
lebih penting dari itu; tabiat, sifat, perilaku...”
Mas Bendo memperhatikan seperti seorang
pasien yang sedang mendengar hasil diagnosa dokter.
“Sebagai orang bangunan, istriku yang
buruh pabrik adalah sudah kesesuaian. Paling tidak, yang sederajat.
Seperti bintang sinetron yang dinikahi penyanyi, dokter disunting
dokter, redaktur menikahi reporter, dst, dsb. Itu, sekali lagi,
adalah kesesuaian. Tetapi dalam perjalanannya, ada letupan konflik
yang butuh diselesaikan. Dalam penyelaian itulah butuh penyesuaian.
Karena maunya pasanganmu belum tentu sama dengan maumu. Tetapi tentu
jalan keluar tidak boleh semaunya sendiri-sendiri. Harus ada titik
temu. Titik dimana kedua belah pihak sama-sama berdiri sebagai
pemenang. Itulah penyesuaian.”
Kepala mas Bendo terasa klemun-klemun
mendengarkan ocehan Kang Karib.
“Bagaimana, wis mudheng?”
“Sebentar, kang. Aku tak
menyesuaikan dulu dengan nalar sampeyan....” ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar