MIDNIGHT Call, begitu judul serial film
yang diputar TVRI sekitar awal tahun 90an. Berkisah tentang seorang penyiar
radio yang selalu bersiaran tengah malam. Ia, seorang lelaki –saya lupa siapa
namanya-- mengasuh acara bernama Midnight Call. Panggilan tengah malam
yang diterimanya selalu sebagai peristiwa yang membuat si penyiar turut sebagai
pihak yang terlibat. Tentu sebagai penyelesai. Asyik. Sekalipun tidak
se-dar,der,dor The A Team, atau sebertele-tele soap opera macam
Dinasty, The Bold and The Bautiful atau Santa Barbara. Tidak. Pun,
pemeran wanita –sering sebagai si penelepon tengah malam itu--, adalah selalu
yang sedang terbelit masalah. Ia, wanita itu, jangan bayangkan se-semlohay para
bidadari di Charlie's Angels yang kala itu dibintangi (mendiang) Farah
Fawcett dkk.
Sudahlah. Saya sedang tidak akan membahas serial
TVRI tahun-tahun itu. Sekalipun saya juga akan bercerita tentang panggilan
tengah malam. Tengah malam? Iya. Tentu sampeyan ingat, dulu ketika HP
belum dikenal orang, telepon adalah sudah sebagai alat komunikasi andalan.
Ingatlah pula, telepon umum yang ada dipinggir-pinggir jalan sungguh terasa
sekali manfaatnya. Beda dengan sekarang. Yang seringkali hanya sebagai benda yang teronggok tiada guna dipinggir-pinggir jalan.karena keberadaannya
telah kalah telak oleh telepon seluler.
Saya ingat betul, ketika akan menelepon ke luar
kota selalu menuju di sebuah wartel yang selalu ramai di pertigaan Rungkut. Pada
jam sebelas malam begitu, antre sekali yang datang. Padahal wartel itu punya
beberapa KBU. Tentu bukan tanpa alasan orang pada bertelepon tengah malam
begitu. Karena, kala itu, telepon interlokal selalu mengenalan tarif 50% dari
tarif siang. Semakin malam, kalau saya tidak salah ingat, akan semakin murah.
Hanya akan dikenakan biaya 25% saja!
Kala itu saya masih bujang dan masih kost di
Rungkut Kidul II nomor 88. Nomor rumah yang cantik. Karena waktu itu belum ada
densus 88, nomor rumah pak Mu'in itu lebih identik dengan merek salep obat sakit
kulit. Setiap tengah malam, ketika telepon di rumah bapak kost berdering, hati
para penghuni selalu berdebar. Karena, Minggu sebelumnya, ketika ada telepon
tengah malam, ada kabar duka untuk mbak Minah –tetangga kamar kost saya-- yang
asal Mojokerto, bahwa keluarganya meninggal dunia. Beberapa hari setelahnya, juga tengah malam, Kadi
(tetangga kost saya yang lain) mendapat kabar duka lewat telepon bahwa saudaranya meninggal di Tulungagung sana.
Maka ketika suatu tengah malam ada dering telepon,
dan sebentar kemudian bapak kost mengetuk kamar saya, makin berdebarlah hati
kami. “Yon, ada telepon,” kata bapak kost kepada teman sekamar saya. Ia bukan
hanya teman sekamar sebenarnya. Dibilang masih saudara juga bisa. Karena, kakak
perempuan dari si Yon ini dinikahi kakak saya
Menunggu Yon kembali dari menerima telepon, saya
duduk dalam gelisah. Saya menduga telepon tengah malam itu, seperti malam-malam
yang lalu, adalah kabar duka. Begitu Yon datang dengan wajah kusut, makin yakin
saya akan prakiraan tadi.
“Mbah mBoro meninggal,” katanya sambil melepas
sarung dan berganti celana. “Aku diminta menghubungi Jonit. Bisa ndak
bisa ia harus pulang sekarang.”
Malam itu, selepas menerima telepon tengah malam
itu, Yon menuju wartel di pertigaan Rungkut. Ia menunaikan pesan bahwa bisa ndak
bisa si Jonit harus pulang. Untuk itu, ia menelepon ke tempat kost kakak saya
(juga kakak ipar Yon) di daerah Setro, Kenjeran sana. Si Jonit yang cucu
tersayang mbah mBoro, kala itu memang sedang ikut pekerja pada bangunan yang
sedang digarap kakak saya.
Kisah lanjutannya; mendapat kabar duka itu, kakak
saya berinisiatif menghubungi sanak-famili yang ada diseantero Surabaya. Juga, kakak saya
itu langsung mendampingi si Jonit untuk pulang. Tentu, agar tidak terguncang
hatinya, dan hanya dibilangi kalau mbah mBoro sedang kurang enak badan. Tak mungkinlah kakak saya berkata ke Jonit bahwa si neneknya sudah
tiada.
Dari Kenjeran kakak saya langsung ke Bungurasih.
Naik bus menuju pulang. Sangat hati-hati kakak saya menjaga agar sesampainya dirumah
duka si Jonit tidak shock. Tiba di Jember sekitar jam enam pagi. Turun dari bus, si
Jonit diajak lewat jalan kecil. Semakin mendekati rumah duka hati semakin
berdebar. Dari kejauhan suasana sepi saja. Ah, mungkin jenazah sudah diberangkatkan
ke pemakaman.
Rumah berdinding anyaman bambu itu terletak
disebelah rimbun rumpun bambu. Tampak seorang perempuan tua sedang menyapu
halaman, yang sedang diguguri daun-daun bambu.
“Itu mbah mBoro,” Jonit tersenyum. Ia yang memang
tidak dikabari kalau mbah mBoro 'meninggal' bersikap biasa-biasa saja.
Kakak saya yang malah bingung. Katanya meninggal,
kok malah sedang menyapu. Kebingungan bukan milik kakak saya semata. Karena,
selang beberapa saat kemudian, keluarga yang sudah dikabari kakak saya tadi juga
berdatangan.. Jadilah pagi itu suasana ramai sekali di 'rumah duka'.
Selidik punya selidik, si Yon yang sedang jadi
tersangka. Ia yang menerima telepon tengah malam itulah biangnya. Rupanya,
karena beberapa telepon tengah malam sebelumnya selalu berisi kabar duka, maka
ketika malam itu seseorang yang disuruh mengabari kalau 'bisa ndak bisa Jonit
harus pulang karena mbah mBoro....tut, tut, tut...' (rupanya suara
telepon yang terputus itu langsung diartikan sebagai meninggal)*****
untung teleponnya bukan berisi "Kalau mau kasus Anda tidak terungkap, silakan kirim uang 25 juta ke rekening atas nama..."
BalasHapusUntungnya lagi, sepertinya saya sedang tidak punya kasus apapun.
HapusSalam dari Surabaya, Ra.....