Senin, 02 November 2015

Tersumbat Cutton Bud

Alat 'kili-kili'
Foto: ewe
KALAU sudah kecanduan, walau tahu yang dicandui itu adalah hal yang kurang baik, lumayan susah untuk menghilangkannya. Pernah sih saya mendengar ungkapan yang bilang, “Bila sulit menghilangkan kebiasaan buruk, buat dan lakukanlah kebiasaan-kebiasaan  baru yang baik.”

Dalam banyak hal, bicara jauh lebih gampang daripada mempraktikkannya. Dengan kata lain; tak semudah membalik telapak tangan. Ini bukan permainan ontong-ontong bolong, adu merak adu sapi yang berakhir diuyahi-diasemi wolak-walik grembyang.

Oho, jangan terlalu serius. Saya hanya ingin bercerita tentang kebiasaan buruk saya; kili-kili, membersihkan lubang telinga memakai bulu ayam atau cutton bud. Kalau dirunut ke belakang, kurang ingat saya sejak kapan melakukannnya. Yang jelas sudah luama sekali, dan sudah dalam taraf kecanduan. Sehari saja tak melakukannya, serasa gak betah. Kuping terasa gatal. Padahal, mungkin saja, gatal itu muncul karena dorongan keinginan sendiri. Yang, kalaulah tidak dituruti untuk dikili, pun sepertinya tidak apa-apa. Jujur, dalam membersihkan telinga, bukan melulu membuang kotoran semata, tetapi ada kenikmatan sebagai bonusnya. Ada rasa geli-geli sedap yang menggoda.

Padahal, dalam banyak artikel saya dapatkan keterangan, kotoran telinga tak perlu dikili juga akan bisa keluar sendiri. Gerakan rahang dalam berbicara atau mengunyah makanan adalah motode alami untuk mendorong kotoran telinga keluar dari liangnya. Sehingga, tak dianjurkan memasukkan bulu ayam atau cutton bud terlalu dalam. Batas yang dianjurkan adalah, bila bagian ujung cutton bud sudah menyentuh kulit telinga dan terasa nyaman, segera cabut. (Ih, tanggung ya? Lagi enak kok dicabut?)


Gara-gara terlalu dalam memasukkan ujung cutton bud saya pernah tersiksa; kapas cutton bud terlepas dan mendekam dalam liang telinga. Mengorek kuping bisa bikin merem-melek, tapi pas si kapas tertinggal di dalam, uh terasa tersiksa. Untungnya, setelah melakukan perjuangan ekstra, si kapas berhasil saya keluarkan. Dua kali saya mengalaminya, dua kali pula berhasil menanganinya secara swalayan. Pada kejadian ketiga, apes saya.

Si kapas tertinggal terlalu dalam. Semakin saya berusaha mengeluarkan (dengan memakai batang cutton bud yang saya panaskan kemudian saya bentuk menjadi semacam sendok kecil), semakin dalam ia mendekam. Wih, pendengaran kuping kiri jadi amat terganggu. Gembrubuk, terus-menerus ada suara grubuk-grubuk di dalamnya.

Seperti siapapun sekarang yang sedikit-sedikit buka google untuk mencari tahu suatu hal, saya juga melakukannya dengan mengetik 'cara mengeluarkan cutton bud yang tertinggal di telinga' sebagai key word, munculah banyak artikel tentangnya. Weladalah, ternyata buanyak sekali orang yang mengalami yang sedang saya alami ini.

Yang pertama muncul adalah cara yang amat ekstrim; mematahkan lidi sepanjang tujuh centi pakai tangan dan memasukkan lidi itu ke dalam liang kuping lalu putar. Dalam paparan di artikel itu dijelaskan, si kapas akan tersangkut di ujung lidi dan bisa dengan gampang ditarik keluar. Baiklah, saya coba beberapa kali dan akhirnya saya menyerah. Bukannya si kapas tertarik keluar, malah terbenam lebih dalam, lebih dalam, lebih dalam seperti kata yang selalu diucapkan Romy Rafael ketika menghipnotis orang.

Cara berikutnya adalah pakai pinset dan celakanya saya tidak memilinya. Dan dari banyak artikel itu terdapat pula yang amat masuk akal dan bisa dipertanggung jawabkan; serahkan kepada ahlinya, dokter spesialis THT. Tetapi masalahnya adalah dompet saya sedang dilanda kemarau panjang di akhir bulan begitu.

Seminggu sudah si kapas kost di telinga saya dan pendengaran saya menjadi tidak stereo lagi. Begitu gajian, saya putuskan ke dokter THT. Ratusan ribu melayang tidak apa-apalah daripada liang telinga terganggu, lalu menjadi radang, lalu menimbulkan hal-hal lain yang lebih tidak mengenakkan. 

Selasa sampai Sabtu jam 14.00 sampai jam 17.00,” jawab suara perempuan di Klinik Abdi Mulia di jalan HR Muhammad menjawab telepon saya Jumat sore kemarin. 

Keluar dari tempat kerja jam empat lebih lima menit, sepuluh menit kemudian saya sudah di ruang dokter THT yang langsung menangani saya. “Silakan duduk dan menghadap televisi,” kata Bu Dokter yang baik hati dan tidak sombong itu.

Oh, nyaman sekali tempat praktiknya. Fasilitasnya lengkap pula, ada AC dan televisinya segala. Tetapi, oh ternyata saya bukan diminta menonton acara musik atau berita di televisi, tetapi menyaksikan siaran langsung dari lubang telinga sendiri. “O, kok dalam sekali cutton bud-nya,” kata Bu Dokter yang rambutnya dicat warna pirang itu. “tetapi gak apa-apa kok, bisa dikeluarkan.” Kemuadian memindah kamera mini itu ke telinga kanan dan saya mendapati di layar TV LED 19 inci itu pemandangan yang jorok sekali. Uhf, mengapa ada gundukan sampah disitu?!

Ternyata betul yang saya baca, mengorek telinga pakai cutton bud malah bisa mendorong kotoran masuk lebih dalam dan bila mengeras akan menimbulkan masalah.

Dibantu seorang asisten, Bu Dokter menyemprot telinga kiri saya dengan cairan yang terasa agak hangat. “Ini sudah hampir keluar,” kata beliau pada semprotan keliga. Barulah pada semprotan kelima si kapas keparat itu jatuh bersama air ke semacam baskom yang dipegangi si asisten yang ditadahkan di bawah telinga.

Perlakuan yang sama juga dijalankan pada telinga kanan. Pendek cerita, tak sampai limabelas menit menit dari sejak saya masuk ke ruang dokter THT yang terlalu luas itu, keluar-keluar kuping saya sudah stereo lagi. Bahkan, seandainya bapak tua di sudut ruang tunggu klinik ini buang angin dengan rahasia pun, suaranya akan tertangkap kuping saya yang tuner-nya kembali sensitif ini. 

 Tuan Edi,” suara Mbak Kasir memanggil nama saya. Saya mendekat dan disodori selembar kuitansi pembayaran yang harus saya lunasi. Disini saya baru tahu; biaya ke dokter spesialis THT yang tadinya saya takutkan akan mahal, ternyata memang iya. Hehe... Atau lebih tepatnya relatiflah. Tetapi, paling tidak, dengan sejumlah uang itu, saya bisa membeli hampir duaratus bungkus cutton bud di toko sebelah rumah. *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar