TINGGAL
di pemukiman padat, tidak jauh dari kawasan industri, di puncak musim
kemarau begini,
fuih..
jangan tanya panasnya. Makanya, kami –bapak-bapak-- tiap malam
memaksakan diri tampil bertelanjang dada walau sebagian di antara
kami perutnya sungguh jauh dari kesan six
pack,
demi ngisis,
cari angin yang belakangan agak pelit berembus. Menghindari sumuk
di dalam rumah, lalu umuk,
bicara ngalor-ngidul
tak tentu arah.
“Heran
saya,” kata seorang tetangga,”sekolah kok
sampai jam segini belum pulang,” nada khawatir mengalir dari
suaranya.
Kalimat
lanjutannya malah berlumur keluh-kesah. “Dulu pas pertemuan wali
murid, katanya selain SPP tidak akan ada pungutan lainnya. Nyatanya,
hampir tiap hari ada saja tarikan. Yang duapuluh ribulah, yang
limapuluh ribulah...”
Sebagaimana
seorang pembicara di acara apa pun, tetangga saya itu sangat perlu
pendengar. Saya sungguh amat tidak menghargainya kalau tidak menjadi
pendengar yang baik untuknya. Karena, seperti kata sebuah ungkapan,
semakin orang menjadi tua, ia laksana menjadi anak-anak lagi. Kalau
balita sering merengek minta ini-itu, orang tua akan sering merintih
karena ini-itu.
Itu
hal wajar.
Anak
gadisnya yang bersekolah di SMA swasta ternama itu dalam bersekolah
bawa motor matic
baru, dan menjelang jam sembilan malam belum pulang. Iya memang,
sekolahnya masuk siang. Namun dengan ancaman kejahatan yang tak kenal
musim kemarau atau penghujan, tiada orang tua yang tak menimbun
kekhawatiran; jangan-jangan ada apa-apa dengannya di jalan.
Syukurlah
anak saya diterima di SMA yang tak terlalu jauh dari rumah, yang
sedari awal ia inginkan dan tiap hari masuk pagi, sehingga menjelang
maghrib sudah tiba di rumah. Yang agak kurang saya syukuri adalah; ia
berangkat jam enam pagi dan baru pulang jam segitu dengan wajah
payah. Selepas makan dan jamaah sholat maghrib di musholla sebelah,
setumpuk pekerjaan rumah menunggu untuk dikerjakan. Itu, kalau saya
perhatikan, saban hari begitu. Belum lagi setiap Selasa dan Kamis
malam ia harus les tambahan. Entah karena kecapekan atau apa, kemarin
petang ia saya dapati --belum jam delapan malam-- sudah ketiduran
dengan buku PR dan tas sekolah yang terbuka di sebelahnya.
Siapa
pun orang tua selalu ingin anak-anaknya sukses melebihi apa pun
profesi dan prestasinya. Paling tidak menyamailah; orang tua dokter,
anak menjadi dokter. Orang tua tentara, anak menjadi tentara. Tetapi
saya tak ingin anak saya kelak hanya sebagai pekerja bangunan seperti
bapaknya begini.
“Jangan
sampai anak kita menjadi tukang pasang keramik seperti kita,” kata
seorang teman kerja. “Paling tidak ia nanti menjadi tukang cat.
Agar kalau dapat borongan renovasi rumah, kita bisa tangani tanpa
orang lain,” itu gurauan yang makin kehilangan kelucuannya karena
agak terlalu sering kami lontarkan.
Kembali
ke soal sekolah. Menuntut ilmu memanglah hal wajib, tetapi haruskah
siswa bersekolah nyaris di kelas selama 12 jam saban hari hingga
payah. Hingga kehilangan waktu untuk dirinya sendiri, bersantai
menekuni hobi, misalnya.
Sejak
SMP, si sulung saya itu suka membaca/menulis dan mengelola dua blog
pribadi. Semenjak SMA ini, saya perhatikan, posting terakhir ia tulis
sekian bulan yang lalu. Ini menyedihkan. Seharusnya ada banyak hal
yang bisa ia tulis di masa SMA dan saya selalu berharap ia tak
terpengaruh cerita tahayul bernama writer's
block.
Zaman
sekarang banyak sekali setan bergentayangan menempel pada perangkat
teknologi dan --karena orang merasa makin tak bisa terpisahkan dari
smartphone--
barang terkutuk itu sering berhasil membuat orang melupakan hal-hal
penting dan makin asyik menghabiskan waktu demi hal-hal remeh-temeh
yang kadang kurang berguna. Kalau itu perkara yang membuat si sulung
saya berdalih tidak punya waktu untuk menulis padahal betah
berlama-lama main-main dengan smartphone-nya
di hari Sabtu-Minggu, baiklah, saya tak akan segan untuk menjewernya
nanti.
Di
antara departemen lainnya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
perannya terbilang sentral. Namun apesnya, sudah menjadi hal lumrah
bila ganti menteri berganti pula kebijakannya. Ujung-ujungnya yang
dibuat pusing adalah yang melaksanakan, entah itu guru atau siswa.
Selepas pak M Nuh, nakhoda pendididkan Indonesia kini adalah Anies
Baswedan. Saya berharap lelaki cerdas itu mampu mencetak semua anak
Indonesia secerdas dirinya.
Pembiasaan
anak sekolah membaca buku (novel atau buku lainnya) selama limabelas
menit sebelum jam pelajaran dimulai adalah hal yang perlu
diapresiasi. Apakah juga terjadwal pembiasaan siswa untuk membuat
satu-dua paragraf agar kelak ia tidak gagap menuliskan sebuah
gagasan, saya kurang tahu.
Tetapi
begini; saya hanyalah lulusan sekolah menengah di sebuah pelosok desa
dan sekolah saya itu lokasinya tak jauh dari pasar dan kuburan.
Celakanya saya lebih aktif keluyuran di pasar atau nongkrong di bawah
rindangnya pohon beringin di tengah kuburan pada jam istrirahat, dan
menganggapnya sebagai semacam kegiatan ekstrakurikuler yang
menyenangkan, daripada giat belajar. Saya tak ingin anak saya
mengalami hal kelabu macam itu. Maka ketika ia diterima di sebuah
sekolah yang lumayan bonafid di kota ini, sedikit-banyak saya
berharap ada nilai lebih yang ia akan peroleh.
Baru
kelas satu SMA ia sekarang dan terlalu dini mengetahui added
value
apa yang telah ia dapat dari sekolahnya. Yang justru lebih kentara ya
itu tadi, jam belajar yang puwanjang
plus PR yang bertumpuk-tumpuk setiap hari. Saya amat awam; apakah
memang begini kurikulum untuk semua SMA se-Indonesia yang
diberlakukan di bawah kepemimpinan Pak Anies Baswedan atau itu hanya
berlaku di SMA anak saya saja sebagai kebijakan intern sekolah. Atau,
jangan-jangan, karena Sabtu-Minggu sekolah libur, sehingga mata
pelajaran dijejalkan di lima hari aktif kegiatan belajar-mengajar
sampai siswa (dan guru?) babak belur? *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar