Jumat, 30 Oktober 2015

Kurikulum Babak Belur

TINGGAL di pemukiman padat, tidak jauh dari kawasan industri, di puncak musim kemarau begini, fuih.. jangan tanya panasnya. Makanya, kami –bapak-bapak-- tiap malam memaksakan diri tampil bertelanjang dada walau sebagian di antara kami perutnya sungguh jauh dari kesan six pack, demi ngisis, cari angin yang belakangan agak pelit berembus. Menghindari sumuk di dalam rumah, lalu umuk, bicara ngalor-ngidul tak tentu arah.

Heran saya,” kata seorang tetangga,”sekolah kok sampai jam segini belum pulang,” nada khawatir mengalir dari suaranya.

Kalimat lanjutannya malah berlumur keluh-kesah. “Dulu pas pertemuan wali murid, katanya selain SPP tidak akan ada pungutan lainnya. Nyatanya, hampir tiap hari ada saja tarikan. Yang duapuluh ribulah, yang limapuluh ribulah...”

Sebagaimana seorang pembicara di acara apa pun, tetangga saya itu sangat perlu pendengar. Saya sungguh amat tidak menghargainya kalau tidak menjadi pendengar yang baik untuknya. Karena, seperti kata sebuah ungkapan, semakin orang menjadi tua, ia laksana menjadi anak-anak lagi. Kalau balita sering merengek minta ini-itu, orang tua akan sering merintih karena ini-itu.

Itu hal wajar.
Anak gadisnya yang bersekolah di SMA swasta ternama itu dalam bersekolah bawa motor matic baru, dan menjelang jam sembilan malam belum pulang. Iya memang, sekolahnya masuk siang. Namun dengan ancaman kejahatan yang tak kenal musim kemarau atau penghujan, tiada orang tua yang tak menimbun kekhawatiran; jangan-jangan ada apa-apa dengannya di jalan.

Syukurlah anak saya diterima di SMA yang tak terlalu jauh dari rumah, yang sedari awal ia inginkan dan tiap hari masuk pagi, sehingga menjelang maghrib sudah tiba di rumah. Yang agak kurang saya syukuri adalah; ia berangkat jam enam pagi dan baru pulang jam segitu dengan wajah payah. Selepas makan dan jamaah sholat maghrib di musholla sebelah, setumpuk pekerjaan rumah menunggu untuk dikerjakan. Itu, kalau saya perhatikan, saban hari begitu. Belum lagi setiap Selasa dan Kamis malam ia harus les tambahan. Entah karena kecapekan atau apa, kemarin petang ia saya dapati --belum jam delapan malam-- sudah ketiduran dengan buku PR dan tas sekolah yang terbuka di sebelahnya.

Siapa pun orang tua selalu ingin anak-anaknya sukses melebihi apa pun profesi dan prestasinya. Paling tidak menyamailah; orang tua dokter, anak menjadi dokter. Orang tua tentara, anak menjadi tentara. Tetapi saya tak ingin anak saya kelak hanya sebagai pekerja bangunan seperti bapaknya begini.
Jangan sampai anak kita menjadi tukang pasang keramik seperti kita,” kata seorang teman kerja. “Paling tidak ia nanti menjadi tukang cat. Agar kalau dapat borongan renovasi rumah, kita bisa tangani tanpa orang lain,” itu gurauan yang makin kehilangan kelucuannya karena agak terlalu sering kami lontarkan.

Kembali ke soal sekolah. Menuntut ilmu memanglah hal wajib, tetapi haruskah siswa bersekolah nyaris di kelas selama 12 jam saban hari hingga payah. Hingga kehilangan waktu untuk dirinya sendiri, bersantai menekuni hobi, misalnya.

Sejak SMP, si sulung saya itu suka membaca/menulis dan mengelola dua blog pribadi. Semenjak SMA ini, saya perhatikan, posting terakhir ia tulis sekian bulan yang lalu. Ini menyedihkan. Seharusnya ada banyak hal yang bisa ia tulis di masa SMA dan saya selalu berharap ia tak terpengaruh cerita tahayul bernama writer's block.

Zaman sekarang banyak sekali setan bergentayangan menempel pada perangkat teknologi dan --karena orang merasa makin tak bisa terpisahkan dari smartphone-- barang terkutuk itu sering berhasil membuat orang melupakan hal-hal penting dan makin asyik menghabiskan waktu demi hal-hal remeh-temeh yang kadang kurang berguna. Kalau itu perkara yang membuat si sulung saya berdalih tidak punya waktu untuk menulis padahal betah berlama-lama main-main dengan smartphone-nya di hari Sabtu-Minggu, baiklah, saya tak akan segan untuk menjewernya nanti.

Di antara departemen lainnya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan perannya terbilang sentral. Namun apesnya, sudah menjadi hal lumrah bila ganti menteri berganti pula kebijakannya. Ujung-ujungnya yang dibuat pusing adalah yang melaksanakan, entah itu guru atau siswa. Selepas pak M Nuh, nakhoda pendididkan Indonesia kini adalah Anies Baswedan. Saya berharap lelaki cerdas itu mampu mencetak semua anak Indonesia secerdas dirinya.

Pembiasaan anak sekolah membaca buku (novel atau buku lainnya) selama limabelas menit sebelum jam pelajaran dimulai adalah hal yang perlu diapresiasi. Apakah juga terjadwal pembiasaan siswa untuk membuat satu-dua paragraf agar kelak ia tidak gagap menuliskan sebuah gagasan, saya kurang tahu.

Tetapi begini; saya hanyalah lulusan sekolah menengah di sebuah pelosok desa dan sekolah saya itu lokasinya tak jauh dari pasar dan kuburan. Celakanya saya lebih aktif keluyuran di pasar atau nongkrong di bawah rindangnya pohon beringin di tengah kuburan pada jam istrirahat, dan menganggapnya sebagai semacam kegiatan ekstrakurikuler yang menyenangkan, daripada giat belajar. Saya tak ingin anak saya mengalami hal kelabu macam itu. Maka ketika ia diterima di sebuah sekolah yang lumayan bonafid di kota ini, sedikit-banyak saya berharap ada nilai lebih yang ia akan peroleh.

Baru kelas satu SMA ia sekarang dan terlalu dini mengetahui added value apa yang telah ia dapat dari sekolahnya. Yang justru lebih kentara ya itu tadi, jam belajar yang puwanjang plus PR yang bertumpuk-tumpuk setiap hari. Saya amat awam; apakah memang begini kurikulum untuk semua SMA se-Indonesia yang diberlakukan di bawah kepemimpinan Pak Anies Baswedan atau itu hanya berlaku di SMA anak saya saja sebagai kebijakan intern sekolah. Atau, jangan-jangan, karena Sabtu-Minggu sekolah libur, sehingga mata pelajaran dijejalkan di lima hari aktif kegiatan belajar-mengajar sampai siswa (dan guru?) babak belur? *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar