Kamis, 05 November 2015

Trotoar

SEORANG sahabat asal Trenggalek yang sudah sekian tahun tidak ke Surabaya menelepon dan bilang. “Pangling aku,” katanya. “jalan A Yani sekarang beranak; satu di timur, satunya lagi di barat.”

Ia berkata sedang di depan Giant Margorejo ketika menelepon itu. Baru tiba sorenya dari tanah leluhurnya di Mlinjon kecamatan Karangan sana, untuk bekerja di daerah Medokan Ayu, Surabaya.

Sebagaimana siapapun yang senang bisa bertemu lagi dengan sahabat lama, saya juga demikian adanya. Lebih senang lagi ketika ia bilang akan dolan ke rumah saya. Baiklah, janji telah dibuat dan ia datang sesuai janjinya itu dengan wajah yang masih sangat saya kenali; tubuh tinggi dengan rambut yang makin tidak kerasan tinggal di kepalanya.

Tekor aku,” katanya begitu duduk di ruang tamu rumah saya yang saking berkonsep minimalisnya sedari awal belum terisi kursi hingga sekarang, “belum-belum tadi sudah harus nyangoni polisi.”

Berceritalah ia tentang kronologinya; meluncur dari timur (arah UPN) langsung belok kanan di pertelon Rungkut. Seperti kutuk marani gepuk karena di sudut depan ada Pos Polisi. Seharusnya ia belok kiri dulu ke arah Rungkut Tengah baru balik kanan grak dan putar lagi ke kiri ke arah Rungkut Industri baru mlipir-mlipir putar balaik di depan Rungkut Jaya.

Nasi sudah menjadi bubur; tak ada surat tilang dan ia malah mempraktikan jurus Iwan Fals (♫♪...tawar menawar harga pas tancap gas ♪♫..). Ada getir dalam tawanya saat si sahabat itu bercerita. Tetapi saya mendapati kenyataan bahwa; sekalipun ia miskin rambut namun kaya tawa. Padahal, ia baru saja merogoh dompet demi melakukan ritual salam tempel kepada oknum polisi sejumlah uang setengah dari upahnya sebagai tukang batu yang ia dapat hari itu.

Orang susah yang gampang tertawa bisa jadi adalah orang yang relatif gampang bahagia. Jangankan punya tabungan berjuta-juta, punya beras dua kilogram untuk ditanak besok pagi saja sudah sedemikian senangnya.

Yang akhir-akhir ini membuat saya kurang senang adalah, jalanan Surabaya yang makin hari makin macet saja. Jalanan memang dulu terasa lebar, tetapi dengan jumlah kendaraan yang terus tumbuh dan serasa kurang dibarengi dengan makin memadainya insfrastruktur, membuat dimana-mana jalan terasa sempit. Dengan – seperti petikan syair lagu Bis Kota-nya Franky Sahilatua-- Surabaya yang panas, saya makin takut akan hilangnya senyum apalagi tawa orang-orang di jalan. Yang ada adalah wajah-wajah cemberut. Bisa dipahami, makin macet kondisi jalanan, makin berpeluang membuat ruwet isi pikiran yang pada akhirnya mengakibatkan matinya benih senyuman. Kalau senyuman sudah mati sebelum berkembang menjadi tawa, olala.. untuk bahagia makin rumit syarat dan ketentuan yang berlaku.

Jalan memang lebarnya masih segitu, tetapi tengoklah, di kota ini jalur pedestrian diperbaiki dan diperlebar. Setelah di bawahnya ditanami box culvert, di atasnya terhampar trotoar berkeramik dan lampu-lampu yang meneranginya di malam hari. Apa yang kurang dari Surabaya coba? Taman dengan aneka bunga di mana-mana, jalur bagi pajalan kaki dipercantik pula.

Ohya, Anda betul.
Yang kurang adalah para pejalan kaki yang memanfaatkan jalur pejalan kaki itu. Kenyataan yang sering didapati adalah, karena jalan untuk kendaraan macet, jadilah jalur pejalan kaki itu dimanfaatkan pula untuk lewat kendaraan.

Tempo hari saya temui sebuah angkot lyn DA (jurusan Darmo Permai-Pasat Atom) berjenis Suzuki Carry lewat trotoar dengan santainya karena jalan HR Muhammad sedang macet parah. Si Carry itu diikuti puluhan puluhan motor sebagai buntutnya dan si angkot dan para pemotor itu baru turun kembali ke jalan yang benar di sebelum pompa bensin seberang apartemen Taman Baverly.

Trotoar memang untuk jalur pejalan kaki, tetapi di Surabaya ini, si pejalan kaki itu kemana-mana selalu naik mobil atau motor dan menganggap motor atau mobil itu adalah kakinya. *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar