SEORANG
sahabat asal Trenggalek yang sudah sekian tahun tidak ke Surabaya
menelepon dan bilang. “Pangling
aku,” katanya. “jalan A Yani sekarang beranak; satu di timur,
satunya lagi di barat.”
Ia
berkata sedang di depan Giant
Margorejo ketika menelepon itu. Baru tiba sorenya dari tanah
leluhurnya di Mlinjon kecamatan Karangan sana, untuk bekerja di
daerah Medokan Ayu, Surabaya.
Sebagaimana
siapapun yang senang bisa bertemu lagi dengan sahabat lama, saya juga
demikian adanya. Lebih senang lagi ketika ia bilang akan dolan ke
rumah saya. Baiklah, janji telah dibuat dan ia datang sesuai janjinya
itu dengan wajah yang masih sangat saya kenali; tubuh tinggi dengan
rambut yang makin tidak kerasan tinggal di kepalanya.
“Tekor
aku,” katanya begitu duduk di ruang tamu rumah saya yang saking
berkonsep minimalisnya sedari awal belum terisi kursi hingga
sekarang, “belum-belum tadi sudah harus nyangoni
polisi.”
Berceritalah
ia tentang kronologinya; meluncur dari timur (arah UPN) langsung
belok kanan di pertelon
Rungkut. Seperti kutuk
marani gepuk
karena di sudut depan ada Pos Polisi. Seharusnya ia belok kiri dulu
ke arah Rungkut Tengah baru balik kanan grak dan putar lagi ke kiri
ke arah Rungkut Industri baru mlipir-mlipir
putar balaik di depan Rungkut Jaya.
Nasi
sudah menjadi bubur; tak ada surat tilang dan ia malah mempraktikan
jurus Iwan Fals (♫♪...tawar
menawar harga pas tancap gas
♪♫..).
Ada getir dalam tawanya saat si sahabat itu bercerita. Tetapi saya
mendapati kenyataan bahwa; sekalipun ia miskin rambut namun kaya
tawa. Padahal, ia baru saja merogoh dompet demi melakukan ritual
salam tempel kepada oknum polisi sejumlah uang setengah dari upahnya
sebagai tukang batu yang ia dapat hari itu.
Orang
susah yang gampang tertawa bisa jadi adalah orang yang relatif
gampang bahagia. Jangankan punya tabungan berjuta-juta, punya beras
dua kilogram untuk ditanak besok pagi saja sudah sedemikian
senangnya.
Yang
akhir-akhir ini membuat saya kurang senang adalah, jalanan Surabaya
yang makin hari makin macet saja. Jalanan memang dulu terasa lebar,
tetapi dengan jumlah kendaraan yang terus tumbuh dan serasa kurang
dibarengi dengan makin memadainya insfrastruktur, membuat dimana-mana
jalan terasa sempit. Dengan – seperti petikan syair lagu Bis
Kota-nya
Franky Sahilatua-- Surabaya yang panas, saya makin takut akan
hilangnya senyum apalagi tawa orang-orang di jalan. Yang ada adalah
wajah-wajah cemberut. Bisa dipahami, makin macet kondisi jalanan,
makin berpeluang membuat ruwet isi pikiran yang pada akhirnya
mengakibatkan matinya benih senyuman. Kalau senyuman sudah mati
sebelum berkembang menjadi tawa, olala.. untuk bahagia makin rumit
syarat dan ketentuan yang berlaku.
Jalan
memang lebarnya masih segitu, tetapi tengoklah, di kota ini jalur
pedestrian diperbaiki dan diperlebar. Setelah di bawahnya ditanami
box
culvert,
di atasnya terhampar trotoar berkeramik dan lampu-lampu yang
meneranginya di malam hari. Apa yang kurang dari Surabaya coba? Taman
dengan aneka bunga di mana-mana, jalur bagi pajalan kaki dipercantik
pula.
Ohya,
Anda betul.
Yang
kurang adalah para pejalan kaki yang memanfaatkan jalur pejalan kaki
itu. Kenyataan yang sering didapati adalah, karena jalan untuk
kendaraan macet, jadilah jalur pejalan kaki itu dimanfaatkan pula
untuk lewat kendaraan.
Tempo
hari saya temui sebuah angkot lyn DA (jurusan Darmo Permai-Pasat Atom)
berjenis Suzuki
Carry
lewat trotoar dengan santainya karena jalan HR Muhammad sedang macet
parah. Si Carry
itu diikuti puluhan puluhan motor sebagai buntutnya dan si angkot dan
para pemotor itu baru turun kembali ke jalan yang benar di sebelum
pompa bensin seberang apartemen Taman Baverly.
Trotoar
memang untuk jalur pejalan kaki, tetapi di Surabaya ini, si pejalan
kaki itu kemana-mana selalu naik mobil atau motor dan menganggap
motor atau mobil itu adalah kakinya. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar