Senin, 23 November 2015

Makan Silet

SEBAGAI manusia berbulu, saya selalu mempunyai silet. Selain di rumah, di locker tempat kerja pun saya menyiapkan perlengkapan mencukur itu. Dua atau tiga hari tidak dikerok pakai silet, niscaya di dagu saya ini akan tumbuh subur 'duri-duri” nan tajam dan sekarang telah pula dwi warna; hitam dan ada pula yang putih.

Makanya saat ikut sebagai panitia penyembelihan hewan qurban, saya suka tersenyum ketika ada satu-dua orang yang mencari cacap (lendir yang diyakini bisa meneumbuhkan bulu) dari kambing untuk dioleskan ke dagu atau atas bibir. Lha wong saya yang sudah berbulu tanpa dicacap begini kadang suka kuwalahan mencukurnya, kok malah ada yang dirangsang agar tumbuh. Macam-macam saja orang-orang itu.

Suatu waktu, ketika sedang asyik mencukur jenggot pakai silet Tatra, datanglah seorang kawan. “Nanti setelah kau pakai, aku ambil ya siletnya?” pintanya.

Kawan saya itu tak berkumis, tak pula memelihara jenggot di dagu. Tetapi bukankah silet tak melulu bisa dipakai hanya untuk mencukur bulu, karena bisa juga kan ia dipakai untuk memotong kuku (kalau untuk tukang santet sih, konon benda tipis tajam itu juga bisa dimasukkan ke dalam perut orang yang dikehendaki)

Beberapa saat kemudian, selesailah saya menggunduli duri-duri yang tumbuh di pipi dan dagu. Ketika saya raba, kulit di dua tempat itu terasa kembali licin, walau akan kembali kasar hari-hari kemudian. Justru dari bulu yang selalu tumbuh itu pulalah pabrik pisau cukur tak akan tutup. Kalaulah mau pamer, tentu saya dan orang-orang berbulu lainnya sungguh besar sekali jasanya terhadap keberlangsungan hidup pabrik silet itu. 

Saya serahkan pisau silet yang masih menempel pada alat pencukur itu kepada teman yang sedari tadi menunggui. Saya perhatikan, ia keluarkan pisau silet itu, ia bersihkan dengan tissue. Lalu, lhadalah; ia mengeremusnya. Ada bunyi kriuk yang aneh ketika benda tajam itu ia kunyah. Edan tenan. 

Setahu saya, teman saya itu bukanlah pemain kuda lumping yang sesekali dalam atraksinya suka makan beling. Ia hanyalah juara pingpong tingkat desa, selain sebagai gitaris andalan grup musik dangdut dengan jadwal manggung hanya di acara tujuhbelasan di halaman balai desa kampung kami. Makanya saya heran sekali; dimana ia berguru sehingga menjadi sesakti ini?!

Saya hanya plonga-plongo saja menyaksikan ia mengunyah silet itu sampai lumer, lalu menelannya dengan santainya, sama sekali tak khawatir si silet itu merobek tenggorokan atau ususnya. 

Kamu pun bisa melakukannya,” katanya kemudian. 

Terbayang di kepala saya lelaku yang mesti dijalani demi bisa mempunyai kemampuan linuwih macam makan silet itu. Dan saya yang memang kurang meminati hal-hal demikian itu, belum-belum sudah memutuskan mengunyah keripik singkong tentu lebih masuk akal ketimbang mengunyah silet. 

Yang tadi aku lakukan itu sama sekali tak pakai mantra,” ia menjelaskan. “Yang penting yakin. Hal apa pun akan bisa tercapai asalkan yakin kita bisa melakukannya.”
oOo
Peristiwa itu terjadi sekian tahun yang lalu, dan saya tidak tahu apakah si teman itu sekarang sesekali masih suka mengunyah pisau silet ataukah sudah meningkat kemampuannya. Sudah doyan ngrikiti pisau dapur atau gobang, misalnya. Tetapi begini: enyahkanlah semua bayangan tentang makan aneka 'sajam', karena itu menakutkan. Kalimat terakhir yang ia ucapkan itu yang justru membuat ia bak seorang motivator saja. Atau dalam bahasa bos Go-Jek, “Semakin besar hambatan dan penolakan, biasanya ada peluang besar di baliknya,” demikian kata Nadiem Makarim. *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar