Sumber ilustrasi foto: Google Images. |
“NIH
lihat,
Kang,” Mas Bendo menyodorkan ponselnya yang di layarnya sedang
terpampang foto seorang anak berseragam doreng tentara,
”dedeg-piyadeg-nya
jan
pas
tenan.
Gagah
tur nggantheng
seperti
aku, bapaknya.”
“Weladhalah,
itu foto anakmu to, nDo?”
“Memangnya
kenapa, Kang? Kok ada nada ngenyek
pada
pertanyaan Sampeyan?
Apa gak boleh aku yang kerempeng nyengangik
begini
punya anak mbois?
“Halah,
jadi orang itu mbokya
jangan
sugetan
to,
nDo, nDo. Jangan gampang tersinggung begitu,” dasar Kang Karib,
bisa saja ia membela diri. “Lagian, anakmu itu mau karnaval kemana
to
kok
pakai baju tentara begitu?”
“Sampeyan
ini
piye
to,
Kang? Besok kan Hari Pahlawan, dan dua hari ini anak-anak sekolah
dianjurkan pakai pakaian pahlawan.”
“Tetapi,
nDo, apa semua pahlawan adalah tentara?” sanggah Kang Karib. “Atau,
apakah jasad yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan semua adalah
benar-benar pahlawan?”
Wikk,
matek
Mas
Bendo mendapat pertanyaan itu dari Kang Karib. Daripada melakukan
serangan balasan dengan jurus ngawur, ia ngowoh
saja
menunggu lanjutan kalimat Kang Karib. “Ya, namanya juga anak-anak.
Bisa jadi mereka memakai seragam doreng di hari pahlawan sekadar
ikut-ikutan teman. Nah, tugas guru-guru di sekolah yang harus bisa
meluruskan. Bahwa, ya itu tadi; dulu para pejuang yang ikhlas
mengangkat senjata untuk berjihad melawan penjajah bisa jadi hanya
memakai baju seadanya. Cuma pakai kaus lusuh dan bercelana pendeklah,
yang sarunganlah, dan sebangsanya. Kalau dalam film-film perjuangan,
yang pakai baju doreng malah si Kompeni Belanda itu...”
Mas
Bendo baru mingkem
ketika
seekor lalat hendak menclok
di
giginya, “Jadi apa salah anak-anak memakai baju doreng tentara di
hari pahlawan ini, Kang?”
“Ya
enggaklah,” Kang Karib menjawab. “Cuma begini, nDo. Yang lebih
utama itu bukan bajunya. Tetapi ruh-nya, semangatnya. Lha
kalau
cuma baju itu kan bungkusnya saja, ibarat ponsel, cuma casing-nya
saja. Nah, selain guru, kita-kita sebagai orang tua yang magak
ini
(bagaimana gak magak?
Lha
wong
ikut perang gak
pernah,
lahir procot
sudah
melihat Indonesia Raya yang begini ini) yang harus bisa menanamkan
sifat patriotisme dan heroisme. Agar anak-anak kita mampu menang
melawan penjajahan dan agresi model baru. Yang bukan memakai bedil
sebagai senjatanya, tetapi isme-isme halus yang sedikit demi sedikit
mampu membelokkan arah dan menjauhkan generasi negeri ini dari akar
budayanya, dari akar kebangsaannya, dari kearifan lokalnya”
“Wik,
masak sampai segitunya, Kang?”
“Dikandhani
kok
malah wik,”
ujug-ujug
Mbak
Yu ikut nimbrung.
“Kalau
anak Sampeyan,
tadi
ke sekolah pakai baju doreng juga, Mbak Yu,” tanya Mas Bendo.
“Aku
setuju dengan pendapat Kang Karib yang tadi kukuping; bahwa, tidak
semua pahlawan berbaju doreng.”
“Lalu,
anak Sampeyan
pakai
baju apa?”
“Tadi
ia pakai bajuku yang dulu sehari-hari kupakai saat aku bekerja
sebagai TKW di Arab Saudi. Bukankah Sampeyan
sering
mendengar, para pejabat menyebut kaumku itu, kaum TKW itu juga
sebagai pahlawah; pahlawan devisa.” *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar