Senin, 09 November 2015

Baju Pahlawan

Sumber ilustrasi foto: Google Images.
NIH lihat, Kang,” Mas Bendo menyodorkan ponselnya yang di layarnya sedang terpampang foto seorang anak berseragam doreng tentara, ”dedeg-piyadeg-nya jan pas tenan. Gagah tur nggantheng seperti aku, bapaknya.”

Weladhalah, itu foto anakmu to, nDo?”

Memangnya kenapa, Kang? Kok ada nada ngenyek pada pertanyaan Sampeyan? Apa gak boleh aku yang kerempeng nyengangik begini punya anak mbois?

Halah, jadi orang itu mbokya jangan sugetan to, nDo, nDo. Jangan gampang tersinggung begitu,” dasar Kang Karib, bisa saja ia membela diri. “Lagian, anakmu itu mau karnaval kemana to kok pakai baju tentara begitu?”

Sampeyan ini piye to, Kang? Besok kan Hari Pahlawan, dan dua hari ini anak-anak sekolah dianjurkan pakai pakaian pahlawan.”

Tetapi, nDo, apa semua pahlawan adalah tentara?” sanggah Kang Karib. “Atau, apakah jasad yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan semua adalah benar-benar pahlawan?”

Wikk, matek Mas Bendo mendapat pertanyaan itu dari Kang Karib. Daripada melakukan serangan balasan dengan jurus ngawur, ia ngowoh saja menunggu lanjutan kalimat Kang Karib. “Ya, namanya juga anak-anak. Bisa jadi mereka memakai seragam doreng di hari pahlawan sekadar ikut-ikutan teman. Nah, tugas guru-guru di sekolah yang harus bisa meluruskan. Bahwa, ya itu tadi; dulu para pejuang yang ikhlas mengangkat senjata untuk berjihad melawan penjajah bisa jadi hanya memakai baju seadanya. Cuma pakai kaus lusuh dan bercelana pendeklah, yang sarunganlah, dan sebangsanya. Kalau dalam film-film perjuangan, yang pakai baju doreng malah si Kompeni Belanda itu...”

Mas Bendo baru mingkem ketika seekor lalat hendak menclok di giginya, “Jadi apa salah anak-anak memakai baju doreng tentara di hari pahlawan ini, Kang?”

Ya enggaklah,” Kang Karib menjawab. “Cuma begini, nDo. Yang lebih utama itu bukan bajunya. Tetapi ruh-nya, semangatnya. Lha kalau cuma baju itu kan bungkusnya saja, ibarat ponsel, cuma casing-nya saja. Nah, selain guru, kita-kita sebagai orang tua yang magak ini (bagaimana gak magak? Lha wong ikut perang gak pernah, lahir procot sudah melihat Indonesia Raya yang begini ini) yang harus bisa menanamkan sifat patriotisme dan heroisme. Agar anak-anak kita mampu menang melawan penjajahan dan agresi model baru. Yang bukan memakai bedil sebagai senjatanya, tetapi isme-isme halus yang sedikit demi sedikit mampu membelokkan arah dan menjauhkan generasi negeri ini dari akar budayanya, dari akar kebangsaannya, dari kearifan lokalnya”


Wik, masak sampai segitunya, Kang?”

Dikandhani kok malah wik,” ujug-ujug Mbak Yu ikut nimbrung.

Kalau anak Sampeyan, tadi ke sekolah pakai baju doreng juga, Mbak Yu,” tanya Mas Bendo.

Aku setuju dengan pendapat Kang Karib yang tadi kukuping; bahwa, tidak semua pahlawan berbaju doreng.”

Lalu, anak Sampeyan pakai baju apa?”

Tadi ia pakai bajuku yang dulu sehari-hari kupakai saat aku bekerja sebagai TKW di Arab Saudi. Bukankah Sampeyan sering mendengar, para pejabat menyebut kaumku itu, kaum TKW itu juga sebagai pahlawah; pahlawan devisa.” *****



Tidak ada komentar:

Posting Komentar