Senin, 20 Desember 2021

Kebelet Kiblat

Saat saya makan di warung gudeg Jogja
jalan Teuku Umar, Denpasar.

WALAU
saya ini sudah puluhan tahun bekerja di sebuah tempat --yang management kami acap menancapkan faham kepada setiap karyawan bahwa--berkelas bintang lima (padahal menurut saya --setuju tidak setuju-- sudah amat sangat pantas naik kasta menjadi bintang tujuh, karena tiap awal bulan telah berjasa membuat saya tidak terlalu sakit kepala, walau di tanggal empat uang gaji saya tinggal seperempat), saya ini tetap saja orang katrok. Ndesit. Dan, belum pernah menginap di hotel berbintang. Kalau makan di hotel berbintang sih pernah. Saat menjadi 'pemain pengganti' (karena kabag yang kudunya hadir, berhalangan) untuk menghadiri sebuah forum membahas suatu program atau semacam pelatihan.

Acara training-nya sih biasa, saat makan ala hotel itu yang luar biasa. Luar biasa canggung, maksud saya. Pernah sih, setelah lirak-lirik kanan-kiri, nyontek menu yang diambil orang-orang, saya ikutan. Namun apa daya, lidah saya ini adalah lidah ndedo-kesakeso, makanan ala hotel yang saya bayangkan semua mak-nyus, malah terasa pating klenyit tak karuan di lidah saya. Tahu gitu, tadi saya memilih nasi goreng atau sate saja. Menu makanan yang menurut lidah saya adalah pemuncak abadi klasemen dari semua jenis makanan di alam fana ini.

Lain makanan, lain pula arah kiblat. Iya sih, di beberapa hotel di Surabaya ada disediakan prayer room, musholla. Walau tempatnya kadang nyelempit, jauh dari kata strategis. Secara design kesannya dibuat secara kurang serius.😊

Di Surabaya saja gitu, apalagi di Bali.

Di sebuah hotel di jalan Teuku Umar, Denpasar, tempat saya diinapkan oleh perusahaan ---kalau pakai duit sendiri mana mungkin. Eman, Rii...

Ketika masuk waktu sholat, saya tahu dari HP, karena sejauh kuping menganga, tiada suara adzan yang terdengar.

Setelah berwudlu, saya gelar sajadah. Sajadah biasa, yang tidak ada penunjuk arah kiblatnya. HP saya pun setali tiga uang, ponsel jadul yang tiada fitur kompasnya. Saya menatap langit-langit kamar, mengharap ada wangsit, petunjuk dari langit, paling tidak ada tanda panah arah ke Mekkah, tapi apa daya: amsyong!

Padahal, semakin menunda, saya berpeluang makin ketinggalan kereta. Waktu maghrib akan terlewatkan. Baiklah, saya berniat, bertakbiratul ikhrom, membaca doa iftitah dst, dst, lanjut sampai salam. Beres. 

Setelah sholat, saya bergegas turun. Bukan ke lantai satu, tempat telah disediakan aneka menu makanan hotel, namun saya ngeloyor ke seberang jalan. Persis di seberang hotel. Ke warung sederhana. Yang kalau dilihat dari jendela kamar saya di lantai delapan tadi, saya lihat itu warung gudeg Jogja.

Sambil menunggu pesanan disiapkan, iseng saya bertanya kepada penjual gudeg; lelaki berkopiah putih dan istrinya yang berjilbab brukut. "Kalau di sini arah kiblat mana ya? Maaf, disini saya kurang tahu arah mata angin..."

Lelaki berkopiah haji itu tersenyum ramah, lalu telunjuknya menuding satu arah. Arah yang berkebalikan dengan saat saya sholat di lantai delapan tadi. ****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar