SELEMBAR kartu
seringkali adalah hal penting. SIM, KTP, ATM, pasport dan sebagainya. Dulu,
karena KTPnya ketlisut, ketika hendak
pergi jauh, bapak selalu meminta saya menuliskan nama dan alamat pada selembar
kertas untuk dijadikan pegangan. Ini lebih kepada kekhawatiran, sebenarnya. Logika
jalan pikiran bapak begini; kalau ada apa-apa di jalan, paling tidak di sakunya
telah ada identitas yang orang bisa menentukan siapa yang harus dihubungi. Tidak
lantas begitu saja dinobatkan sebagai Mr X. Dan syukurlah, tidak ada yang pernah menghubungi
kami, karena bapak selalu tidak tertimpa apa-apa dalam bepergian itu..
Kartu pula yang menjadi penentu boleh tidaknya orang
menerima BLT. Dan sekarang, ketika pemerintah sedang memikirkan cara apa yang
harus digunakan untuk membuat subsisi BBM tepat sasaran, saya kira, nanti pun
akan berupa sebuah kartu. Namun karena oarng sudah semakin pintar, tentu saja
kartunya nanti adalah smart card.
Barusan saya membayar rekening PDAM, dan apesnya, bukti
pembayaran sudah dibawa petugas penagih. Untuk sebagai bukti saya telah
melunasinya, saya hanya menerima kertas kecil sebagai tanda terima. Nanti, pesan
petugas loket, kalau penagih datang ke rumah saya, kartu kecil itu bisa ditukar
dengan lembaran besar sebagaimana mestinya.
Pulang dari loket PDAM di Rungkut Asri, saya lewat lapangan
bola dekat masjid Al Maghfiroh. Saya lihat di sisi barat ada tenda. Di sisi
selatan tenda itu berjajar tiga truk yang baknya penuh barang sembako. Ada beras,
gula dan minyak goreng. Di bawah tenda itu saya lihat ada antrean yang tak
seberapa panjang. Keluar dari antrean itu orang selalu memondong
belanjaan. Ya beras, ya gula, ya minyak goreng.
“Berapa, bu?” tanya saya pada perempuan setengah baya yang
memondong dua plastik beras masing-masing seberat 6 kilogram.
“Tiga puluh ribu, mas,” jawabnya.
Hitungan matematisnya, per kilo hanya seharga lima ribu
rupiah. Dibanding beras yang saya konsumsi seharga tujuh ribu tiga ratus, itu tentu
saja murah. Karena, sebagaimana tertera pada sepanduk dan umbul-umbul yang
berdiri di sekitar tenda itu, acara itu dinamakan pasar murah BUMN Peduli. Saya kira itu bentuk dari
CSR-nya BUMN.
Karena murah, tentu saja saya tergiur. Dan, saya intip isi dompet,
ada beberapa lembar dua ribuan, selembar lima puluh ribuan plus satu lembar
nominal duapuluh ribuan. Saya pikir ini cukup untuk membeli dua paket. Dan masih
susuk sepuluh ribu lebih beberapa
lembar dua ribuan!
Langsung saja saya menuju tempat parkir dadakan yang dijaga
seorang lelaki yang berbicara dengan logat Madura. Kepadanya menitipkan motor. Langkah selanjutnya
saya langsung ikut mengantre. Karena antrean tak begitu panjang, berdiri belum
lama saya sudah tepat di depan meja yang dijaga perempuan berjilbab.
“Saya ambil beras dua paket,” kata saya sambil menyodorkan
uang enam puluh ribu rupiah.
“Kartunya, Pak?” tanya perempuan itu.
“Kartu? Kartu apa?” saya balik bertanya.
“Bapak sudah terima kartu untuk pengambilan sembako?”
Pleg! Saat itu matahari serasa hanya menyinari muka
saya. Sampai merah. Sampai panas. Malu.
Saya menelan ludah sambil melihat sekeliling. Tatapan saya
membentur selembar sepanduk yang rupanya tadi luput dari pandangan. Dengan jelas
di situ tertulis; Sembako Murah Untuk
Orang Tidak Mampu.
Betul, saya masih mampu membeli beras seharga tujuh ribu
tigaratus perkilogram, mampu membeli telur untuk lauknya, mampu membeli kerupuk
sebagai pemeriah acara makan, tetapi saat tadi itu saya termasuk golongan orang yang
tidak mampu menahan diri.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar