Selasa, 08 Mei 2012

Tak Punya Kartu, Tak Punya Malu


     SELEMBAR kartu seringkali adalah hal penting. SIM, KTP, ATM, pasport dan sebagainya. Dulu, karena KTPnya ketlisut, ketika hendak pergi jauh, bapak selalu meminta saya menuliskan nama dan alamat pada selembar kertas untuk dijadikan pegangan. Ini lebih kepada kekhawatiran, sebenarnya. Logika jalan pikiran bapak begini; kalau ada apa-apa di jalan, paling tidak di sakunya telah ada identitas yang orang bisa menentukan siapa yang harus dihubungi. Tidak lantas begitu saja dinobatkan sebagai Mr X. Dan syukurlah, tidak ada yang pernah menghubungi kami, karena bapak selalu tidak tertimpa apa-apa dalam bepergian itu..
     Kartu pula yang menjadi penentu boleh tidaknya orang menerima BLT. Dan sekarang, ketika pemerintah sedang memikirkan cara apa yang harus digunakan untuk membuat subsisi BBM tepat sasaran, saya kira, nanti pun akan berupa sebuah kartu. Namun karena oarng sudah semakin pintar, tentu saja kartunya nanti adalah smart card.
     Barusan saya membayar rekening PDAM, dan apesnya, bukti pembayaran sudah dibawa petugas penagih. Untuk sebagai bukti saya telah melunasinya, saya hanya menerima kertas kecil sebagai tanda terima. Nanti, pesan petugas loket, kalau penagih datang ke rumah saya, kartu kecil itu bisa ditukar dengan lembaran besar sebagaimana mestinya.
     Pulang dari loket PDAM di Rungkut Asri, saya lewat lapangan bola dekat masjid Al Maghfiroh. Saya lihat di sisi barat ada tenda. Di sisi selatan tenda itu berjajar tiga truk yang baknya penuh barang sembako. Ada beras, gula dan minyak goreng. Di bawah tenda itu saya lihat ada antrean yang tak seberapa panjang. Keluar dari antrean itu orang selalu memondong belanjaan. Ya beras, ya gula, ya minyak goreng.
     “Berapa, bu?” tanya saya pada perempuan setengah baya yang memondong dua plastik beras masing-masing seberat 6 kilogram.
     “Tiga puluh ribu, mas,” jawabnya.
     Hitungan matematisnya, per kilo hanya seharga lima ribu rupiah. Dibanding beras yang saya konsumsi seharga tujuh ribu tiga ratus, itu tentu saja murah. Karena, sebagaimana tertera pada sepanduk dan umbul-umbul yang berdiri di sekitar tenda itu, acara itu dinamakan pasar murah BUMN Peduli. Saya kira itu bentuk dari CSR-nya BUMN.
     Karena murah, tentu saja saya tergiur. Dan, saya intip isi dompet, ada beberapa lembar dua ribuan, selembar lima puluh ribuan plus satu lembar nominal duapuluh ribuan. Saya pikir ini cukup untuk membeli dua paket. Dan masih susuk sepuluh ribu lebih beberapa lembar dua ribuan!
     Langsung saja saya menuju tempat parkir dadakan yang dijaga seorang lelaki yang berbicara dengan logat Madura. Kepadanya menitipkan motor. Langkah selanjutnya saya langsung ikut mengantre. Karena antrean tak begitu panjang, berdiri belum lama saya sudah tepat di depan meja yang dijaga perempuan berjilbab.
     “Saya ambil beras dua paket,” kata saya sambil menyodorkan uang enam puluh ribu rupiah.
     “Kartunya, Pak?” tanya perempuan itu.
     “Kartu? Kartu apa?” saya balik bertanya.
     “Bapak sudah terima kartu untuk pengambilan sembako?”
     Pleg!  Saat itu matahari serasa hanya menyinari muka saya. Sampai merah. Sampai panas. Malu.
     Saya menelan ludah sambil melihat sekeliling. Tatapan saya membentur selembar sepanduk yang rupanya tadi luput dari pandangan. Dengan jelas di situ tertulis; Sembako Murah Untuk Orang Tidak Mampu.
     Betul, saya masih mampu membeli beras seharga tujuh ribu tigaratus perkilogram, mampu membeli telur untuk lauknya, mampu membeli kerupuk sebagai pemeriah acara makan, tetapi saat tadi itu saya termasuk golongan orang yang tidak mampu menahan diri.*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar