MASA lalu seringkali bikin
rindu. Tentang apa pun. Temasuk makanan. Maka, dalam nuansa rindu
itu, saya seringkali menikmati ingatan tentang jaman bahuela itu.
Karena memang bukan keluarga berpunya, makan sehari-hari kami
terkesan apa adanya. Walau kadang juga pernah seharian tidak ada.
Untunglah masih ada pohon pisang yang lagi berbuah. Ia, sekalipun
masih belum cukup umur, bisa juga dimasak sebagai ganjal perut. Kalu
tidak begitu, emak akan memasak nangka muda sebagai sayur. Jadilah ia
menu makan yang lumayan, sekalipun tampil di piring secara solo;
tanpa nasi.
Maka, ketika ada tetangga yang
menggelar kenduri (selamatan) itulah saat dimana perut kami akan
kemasukan sepotong daging ayam atau sebutir telur dibagi sekeluarga.
Sudahlah. Itu masa lalu. Dan itu cerita
tempo doeloe.
Sampai sekarang saya masih terkenang
beberapa menu masakan ibu. Yang juga saya kangeni ini; eseng-eseng
daun genjer. Itu, kalau dimakan pakai nasi hangat dengan lauk ikan
asin pun sudah membuat makan saya luar biasa mak-nyus-nya.
Ketika saya lagi pulang kampung dan ibu tampak akan sibuk memasak
neko-neko, saya stop saja. Dan saya hanya memesan dimasakkan
eseng-eseng genjer saja.
Satu lagi, nasi hangat, buah gambas
dikukus, dimakan dengan sambal terasi, wih sudah sedemikian
segar bagi saya. Maka, suatu hari beberapa tahun yang lalu, ketika saya sedang rindu menu sepele itu,
sebelum berangkat kerja, saya minta istri saya untuk membuat sambal
terasi lengkap dengan buah gambas kukus untuk menu makan malam saya nanti.
Sebagai putri Lamongan, istri saya
lebih akrab dengan ikan bandeng, tombro atau udang ketimbang aneka
sayuran. Kalaulah memasak sayur, seingat saya, itu hanya berkutat
pada bahan; kacang panjang, terong, sawi, nangka muda atau pare welut
(di Lamongan disebut 'oler'). Padahal di kampung saya sana, hanya daun bambu dan daun pintu saja yang tidak dimasak orang! (hehe... lebay ya?) Sekalipun begitu, saya pikir, mengukus
buah gambas tentu hanyalah pekerjaan ringan.
Sepulang kerja, sehabis sholat magrib saya langsung makan. Lidah saya sudah kemecer membayangkan
segarnya gambas kukus. Sementara, istri saya sedang mengaji di
musholla.
Membuka lemari makan, saya lihat di
cobek telah tampil sambal terasi. Di piring, di dekat cobek itu, ada
benda putih kecil seukuran jari telunjuk berjajar sepanjang sekitar
lima belas centi. Saya masih celingukan, mana gambas kukusnya?
Siapapun tahu, gambas itu warnanya
hijau dengan kulit yang agak kasar.. Dan dikukus pun warna dan
bentuknya tidak akan berubah. Saya penasaran dengan benda putih
setelunjuk itu. Saya dekatkan ke hidung. Hm, saya ingat aromanya. Ya,
ini buah gambas. Tetapi kok mengkerut menjadi sedemikian kecilnya.
Sudah gitu, kok warnanya jadi putih mulus?
Rupanya istri saya tadi begitu sempurna
mengulitinya sehingga si gambas hanya nyaris tersisa sebagai bijinya
saja. Hm... *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar