Kamis, 10 Mei 2012

Gambas Kukus nan Mulus

MASA lalu seringkali bikin rindu. Tentang apa pun. Temasuk makanan. Maka, dalam nuansa rindu itu, saya seringkali menikmati ingatan tentang jaman bahuela itu. Karena memang bukan keluarga berpunya, makan sehari-hari kami terkesan apa adanya. Walau kadang juga pernah seharian tidak ada. Untunglah masih ada pohon pisang yang lagi berbuah. Ia, sekalipun masih belum cukup umur, bisa juga dimasak sebagai ganjal perut. Kalu tidak begitu, emak akan memasak nangka muda sebagai sayur. Jadilah ia menu makan yang lumayan, sekalipun tampil di piring secara solo; tanpa nasi.

Maka, ketika ada tetangga yang menggelar kenduri (selamatan) itulah saat dimana perut kami akan kemasukan sepotong daging ayam atau sebutir telur dibagi sekeluarga.

Sudahlah. Itu masa lalu. Dan itu cerita tempo doeloe.

Sampai sekarang saya masih terkenang beberapa menu masakan ibu. Yang juga saya kangeni ini; eseng-eseng daun genjer. Itu, kalau dimakan pakai nasi hangat dengan lauk ikan asin pun sudah membuat makan saya luar biasa mak-nyus-nya. Ketika saya lagi pulang kampung dan ibu tampak akan sibuk memasak neko-neko, saya stop saja. Dan saya hanya memesan dimasakkan eseng-eseng genjer saja.

Satu lagi, nasi hangat, buah gambas dikukus, dimakan dengan sambal terasi, wih sudah sedemikian segar bagi saya. Maka, suatu hari beberapa tahun yang lalu, ketika saya sedang rindu menu sepele itu, sebelum berangkat kerja, saya minta istri saya untuk membuat sambal terasi lengkap dengan buah gambas kukus untuk menu makan malam saya nanti.

Sebagai putri Lamongan, istri saya lebih akrab dengan ikan bandeng, tombro atau udang ketimbang aneka sayuran. Kalaulah memasak sayur, seingat saya, itu hanya berkutat pada bahan; kacang panjang, terong, sawi, nangka muda atau pare welut (di Lamongan disebut 'oler'). Padahal di kampung saya sana, hanya daun bambu dan daun pintu saja yang tidak dimasak orang! (hehe... lebay ya?) Sekalipun begitu, saya pikir, mengukus buah gambas tentu hanyalah pekerjaan ringan.

Sepulang kerja, sehabis sholat magrib saya langsung makan. Lidah saya sudah kemecer membayangkan segarnya gambas kukus. Sementara, istri saya sedang mengaji di musholla.

Membuka lemari makan, saya lihat di cobek telah tampil sambal terasi. Di piring, di dekat cobek itu, ada benda putih kecil seukuran jari telunjuk berjajar sepanjang sekitar lima belas centi. Saya masih celingukan, mana gambas kukusnya?

Siapapun tahu, gambas itu warnanya hijau dengan kulit yang agak kasar.. Dan dikukus pun warna dan bentuknya tidak akan berubah. Saya penasaran dengan benda putih setelunjuk itu. Saya dekatkan ke hidung. Hm, saya ingat aromanya. Ya, ini buah gambas. Tetapi kok mengkerut menjadi sedemikian kecilnya. Sudah gitu, kok warnanya jadi putih mulus?

Rupanya istri saya tadi begitu sempurna mengulitinya sehingga si gambas hanya nyaris tersisa sebagai bijinya saja. Hm... *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar