SEGENGGAM benih rumput gajah yang saya
tanam dua bulan yang lalu, sekarang sudah mambrah-mambrah memenuhi
taman kecil di depan rumah saya. Ataukah memang begitu itu sifat
rumput. Apa pun namanya. Apa pun jenisnya. Tetapi, seperti kata
pepatah, 'tanam padi rumput ikut, tanam rumput padi tak mungkin turut'.
Sangat filosofis. Tak ingin saya menggurui siapa pun memakai
'senjata' ini. Bukan apa-apa; saya merasa masih belum menjadi padi, sekalipun
agak geregetan kalau masih dibilang sebagai rumput.
Baiklah, saya ingin bicara tentang
taman kecil di depan rumah saya saja. Tentang ini, sebenarnya, telah
pernah saya tulis. Lupa saya, apakah itu di FB ataukah di blog saya ini.
Sudahlah, biarlah rumput itu
menghijaukan taman saya yang hanya selebar lidah. Tetapi saya sedang
memerhatikan empat tumbuhan lain disitu. Turi. Iya, dulunya memang
saya tanami turi disitu. Dua batang. Sampeyan tahu, dengan dua batang
itu, nyaris semua orang se gang saya ini pernah ngincipi sayur turi. Tentu
saya tidak menentukan harus dimasak apa turi dari saya itu. Tetapi, kembang turi sangat cocok kalau ditampilkan sebagai sayur pada menu pecel.
Dua batang yang dulu itu berjenis turi
putih. Dan, empat yang sedang setinggi dengkul sekarang ini,
saya kira tiga diantaranya berjenis (kelamin?) kembang turi merah.
Benihnya saya curi (Maaf, sungguh maaf. Karena saya tidak tahu pemilik
pohon turi yang tumbuh di pinggir jalan raya Trosobo itu, saya pungut begitu saja beberapa klenthang-nya yang sudah kering. Tentu
saya masih ingat buku Slilit sang Kiai-nya Cak Nun. Yang esensinya membahas; sesepele dan sekecil
tindakan 'pencurian' pun bisa menyebabkan seseorang gagal masuk
sorga... Wih!)
Selain itu, secuil halaman di depan rumah
saya ini pernah saya tanami terong, kecipir juga kacang
panjang. Dari ketiganya, hanya kecipir yang gagal panen. Sekalipun
daunnya gimbal, bunga-bunganya selalu rontok dan gagal memberikan buah yang
gembel (lebat). Maka, berbulan-bulan menanti si kecipir berbuah, habis sudah kesabaran saya.
Saya babat habis si gimbal kecipir mandul itu. Padahal, ketika saya tanam kacang panjang,
saya bisa membagi ke tetangga, sebagaimana juga ketika saya panen
terong.
Tentang terong ini (ekhm, maaf)
saya mesti membohongi ibunya anak-anak. Sekalipun wajar, bukankah
memang sering sekali istri akan lebih suka tidak setuju bila
dijujuri? Lain halnya kalau sedikit dibohongi. (Ssttt, silakan protes
kalau tidak setuju.) Bayangkan, untuk membeli benih terong unggulan di sebuah toko pertanian,
saya harus merogoh kocek senilai delapan belas ribu rupiah.
Bayangkan (lagi), betapa marahnya ibunya anak-anak bila uang segitu hanya
dapat sebungkus kecil benih terong. Karena, dengan uang segitu, sudah bisa membawa pulang sekarung terong bila dibelanjakan ke pasar Wonokromo. Makanya, saya bilang, benih itu saya beli seharga tigaribu lima ratus! Sudah begitu, hanya sak iprit yang
saya tanam. (Iya, bisa jadi benih segitu cukup untuk ditanam di lahan seluas
setengah hekare!) Lha, padahal, (sekali lagi) tanah di depan rumah saya ini memang cuma sak
iprit.
Melihat daun turi yang lumayan lebat,
tentu saya tak salah kalau berharap nantinya bunganya juga lebat.
Karena, mengingat yang sudah lalu, bunga turi yang tumbuh di halaman
depan rumah saya ini tiada hari tanpa berbunga. Selalu. Hari ini di
pecel, besok di eseng-eseng, lusa? Ah, tentu saya boleh bertanya
kepada sampeyan enaknya kembang turi itu dimasak apa lagi.
Menutup catatan ini, saya ingin
sampeyan membaca layaknya sebagai pak Mario Teguh. (Hust, serius ini.
Jangan sampeyan senyumi begitu!) Begini;
“Sahabat Indonesia yang super.
Berharap itu hak setiap insan.
Misalnya, seorang karyawan mengharap gaji setiap bulan atas pekerjaan
yang telah dilakukan, majikan yang mengharap para pekerjanya seproduktif mungkin setelah lebih dulu menyejahterakannya, seorang pasien yang mengharap kesembuhan atas
pengobatan yang telah diusahakan, seorang murid yang mengharap lulus
dari ujian setelah belajar dengan kesungguhan, atau, penanam kembang turi yang mengharap diberi kelebatan bunga sebagai imbalan atas segala ketelatenan memeliharanya. Mengharaplah setelah
mengusahakan. So, hanya yang menanam yang akan menuai. Maka,
sahabat-sahabat saya yang baik hatinya, menanamlah. Tetapi karena
Tuhan menyukai kebaikan, tanamlah hanya yang membaikkan saja. Lalu,
perhatikan apa yang terjadi... Itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar