(1)
“SEMOGA ini
bukan menjadi lebaran terakhir. Semoga semua sehat, aku sehat,
anak-anakmu juga sehat...,” itu pesan ibu ketika aku, suami dan
kedua anakku pamit pulang selepas mengunjunginya lebaran tahun
kemarin. Selalu begitu. Saban lebaran.
Kuhitung,
telah dua belas lebaran. Sejak aku tinggal tidak bersama ibu. Sejak
mengikuti mas Dewo. Dua belas tahun. Dan terasa baru kemarin saja.
Padahal Ika sudah besar. Seusia perkawinanku . Dan Dwika, dua tahun
selisihnya dengan Ika. Mereka, anak-anakku itu, harta yang ternilai.
Tentu itu, bagi siapapun ibu.
Apalagi
aku bagi ibu. Karena aku hanya anak satu-satunya.
Mas
Dewo, lelaki itu yang mampu memisahkan aku dengan ibu. Duabelas tahun
lalu. Setamatku dari SMA. Dan aku tahu, ibu amat terpaksa melepasku.
Karena tanpa aku, ibu hanya akan berdua saja dirumah besar itu.
Berdua dengan bapak. Dirumah joglo peninggalan eyangku.
Malam
itu, dua belas tahun lalu, bapak nyaris saja menamparku. Menampar
anak semata wayangnya ini. Untung ada ibu. Yang rela menyerahkan
dirinya untuk ditampar bapak, daripada diriku. Dan bapak malah duduk.
Menangis. Lelaki itu menangis, ya menangis. Sesuatu yang belum pernah
aku lihat sebelumnya.
“Kamu
tahu, nduk.
Bapakmu terluka. Amat terluka hatinya,” kata ibu.
Aku
menangis. Bahkan ini sebagai lanjutan dari tangisku sebelum bapak
menangis tadi. Tangis yang entah maknanya apa. Tapi, sambil menangis
itu, sebenarnya aku sedang menunggu. Menunggu tindakan bapak
selanjutnya. Meneruskan ingin menamparku, dan itu tidak akan
kuhindari kalau terjadi. Atau malah menyuruhku seperti yang
dikehendaki mas Dewo; aborsi.
“Apa
salah bapakmu ini, nduk,
sampai-sampai harus menghadapi keadaan begini ini?!” suara bapak
lirih tapi sangat jelas ada nada kecewa didalamnya.
Aku
diam. Ibu lalu juga diam. Malam juga semakin hening terasa.
Bapak
lunglai duduk di kursi. Tak punya kekuatan sepertinya. Tak terlihat
lagi raut wajah merahnya saat nyaris menamparku. Aku menghambur ke
dadanya. Dalam tangis yang tentu tak berguna. Tangis yang mungkin
malah ditertawakan janin dalam kandunganku.
Sungguh,
betapa malunya bapak dan ibu atas kehamilanku.
Aku,
satu-satunya buah hatinya, yang baru tamat SMA, sudah berbadan dua.
Dan malam jahanam selepas perpisahan sekolah adalah awalnya. Dan
Dewo, sahabatku, pelakunya.
Malam
yang diam terluka dia. Tapi mau bagaimana, malam terasa berhenti.
Seperti langkah asa ibu-bapak yang laksana membentur tembok buntu.
“Nak,
bagaimanapun engkau adalah calon ayah. Siap atau tidak siap, engkau
harus siap,” kata bapak saat kupaksa Dewo menemui beliau.
Dewo
menunduk.
“Bagaimana?”
tanya bapak.
“Iya,
pak.”
“Iya
bagaimana?”
“Saya
akan nikahi Ida, pak.”
(2)
Tak
terasa itu dua belas tahun lalu. Tak terasa pula, sudah tujuh tahun
bapak tiada. Ibu sendiri saja sekarang. Dan aku merasa, telah gagal
menjadi anak yang baik untuk kesekian kalinya. Seharusnya aku
menemani ibu di hari-hari tuanya. Tidak malah berada jauh begini.
Yang hanya sesekali saja menengoknya. Dan sering merasa tidak punya
waktu untuk ibu. Walau begitu, saat lebaran atau saat liburan sekolah
anak-anak aku selalu kesana. Selalu. Karena aku tahu, saat-saat itu
jugalah yang ditunggu ibu.
“Sudah,
jangan terlalu memiikirkan ibu. Ibu baik-baik saja kok.”
“Tapi
ibu kan sendiri.” rengekku, saat terakhir mengunjunginya pada
pertengahan tahun kemarin. Saat khaul bapakku.
“Nduk,
berbakti kepada suami itu adalah hal utama bagi seorang istri. Dan
ibu ingin kamu bisa melakukan itu sepenuh hatimu.”
Aku
merangsek ke dada ibu. Seperti bayi yang hendak menyusu. Sementara di
halaman depan, mas Dewo dan anak-anakku riang memetik buah rambutan.
Ibu
tersenyum melihatnya.
“Melihat
kamu bahagia, ibu juga bahagia, nduk.
Kalau saja bapakmu masih ada, ia tentu juga senang melihatmu
bahagia.”
Aku
masih betah berada di dada ibu. Agar ibu tahu aku bahagia. Sekalipun
tentu ada sisi lain yang aku sembunyikan. Karena, bukankah selalu ada
riak kecil dalam rumah tangga. Tapi, selama ini ia hanyalah sebagai
pemanis saja. Tidak lebih dari itu.
(3)
Reuni
sekolah selalu saja bisa menggugah kenangan lama. Masa-masa indah.
Masa remaja yang selalu ceria. Tanpa beban. Tanpa problema. Ah,
lebih-lebih di sound
system itu,
diputar lagu jadulnya Paramitha Rusady; Nostalgia
SMA kita, indah lucu banyak cerita....
Kami
berkeliling sekolah. Dalam senda gurau. Melihat kelasku dulu. Kelas
mas Dewo juga. Ohya, mas Dewo itu sesekolah, tapi beda kelas
denganku. Ia A aku B. Sementara Sisi C. Sisi? Ya.
Kami
sahabat. Tiga serangkai, teman-temanku menjuluki. Dewo; cakep, pinter
dan humoris. Sisi; cantik, postur yang layak jadi seorang model,
cerdas dan pandai bergaul. Aku? Ah, biasa saja. Rasanya tak sepinter
Dewo, juga tak secantik Sisi. Mungkin karena itulah kami merasa
cocok. Saling melengkapi.
Tetapi,
dalam reuni itu, setelah sekian belas tahun tak saling bertemu, dan
ternyata Sisi punya karir bagus Jakarta, aku tahu, tatap mata mas
Dewo kepada Sisi ada sisi lainnya. Dalam sekali. Tetapi, ah bukankah
kami memang sahabatan dari dulu. Sedari SMA. Bedanya, Sisi
melanjutkan kuliah, sementara aku malah menjadi nyonya Dewo yang ibu
rumah tangga tulen. Yang hanya berkutat di dapur, sumur dan kasur.
Sungguh keadaan yang sangat ketinggalan zaman.
Hm,
aku seperti tak layak hidup di jaman ini. Aku terlalu tradisional.
Terlalu seperti ibuku. Yang seumur hidupnya hanya sebagai ibu rumah
tangga.
“Sudah
jaman mbah Google kok masih
begitu,” seloroh Sisi.
Kami
tertawa saja. Saling pandang. Tapi ketika aku melihat mata mas Dewo
dan mata Sisi bertabrakan, sekali lagi kutemukan ada sorot aneh
disana. Ada sorot masa lalu. Jarak waktu sekian lama sepertinya belum
juga mampu menghapus sebuah kenyataaan; mereka dulu nyaris sebagai
sepasang kekasih. Yang terpaksa putus karena kehamilanku.
“Mas,
mungkin sebaiknya kita lebih sering mengunjungi ibu. Ibu sudah
semakin sepuh.
Sudah semakin menurun kesehatannya.”
“Kan
ada bik Jah yang nemenin,” mas Dewo menjawab sambil baca koran.
“Iya
sih. Tetapi bukankah bik Jah itu hanya orang lain, mas. Yang kita
bayar untuk menemani ibu.”
“Lalu?”
“Kadang
aku berpikir, ingin memboyong ibu ke rumah kita ini.”
“Iya,
tetapi bukankah itu selalu ditolak ibu.”
Ya,
ibu memang sangat mencintai tanah kelahirannya. Desanya. Tak pernah
kerasan beliau tinggal di rumahku. Belum pernah ibu tinggal lebih
dari seminggu di rumahku ini. Dan aku maklum itu. Ibu itu orang desa
tulen. Yang tentu terlalu pusing hidup di Surabaya yang panas ini.
Suara
ponsel berdenting. Denting nada pesan dari ponsel mas Dewo itu.
Tertinggal rupanya. Kubiarkan saja benda itu di meja. Aku tak biasa
membuka ponsel mas Dewo. Aku tak ingin mencampuri urusan
pekerjaannya. Kuteruskan saja membereskan meja makan bekas sarapan
anak-anak.
Hendak
kubawa setumpuk piring kotor untuk kucuci di dapur, ketika ponsel mas
Dewo berbunyi lagi. Kali ini nada panggil. Kulirik saja. Oh dari
Sisi. Melirik saja, hanya itu yang kulakukan. Karena untuk
mengangkatnya, aku merasa tak berhak.
Malamnya
mas Dewo pulang agak malam. Juga malam-malam berikutnya. Makin malam.
Rupanya banyak lemburan. Banyak pekerjaan yang harus diselaikan.
“Dua
hari kedepan ini aku tak pulang. Keluar kota,” pamitnya.
“Kemana?”
“Jakarta.”
“Ya,
hati-hati,” kataku. ”Tapi, kita jadi mudik ke rumah ibu saat
anak-anak libur sekolah, kan?”
“Ya,
kuusahakan.”
“Lho,
memangnya kenapa?”
“Karena
kalau dua hari ini urusan yang di Jakarta belum beres, sepertinya
minggu depan aku harus ke sana lagi.”
“Untuk?”
belum pernah aku selancang ini menanyakan pekerjaan kantor mas Dewo.
Tetapi, karena jadwal mudik kerumah ibu yang sudah aku rancang
beberapa minggu yang lalu menjadi belum pasti lagi, ini yang
menyebabkan aku berani begitu.
“Om
Wisnu ingin aku yang berangkat menangani pekerjaan ini. Sekaligus,
sepertinya aku mulai dipercaya menangani urusan yang agak serius.
Mungkin om punya pemikiran lain, aku tidak tahu. Dan bukankah aku
bekerja ini juga untuk kebahagiaan kita. Untuk anak-anak kita.”
kata mas Dewo yang memang bekerja di perusahaan milik om Wisnu, adik
mertuaku.
“Juga
untuk ibu kan?”
Mas
Dewo genit mencubit daguku. ”Tentu, sayang...,” katanya lalu mematikan
lampu kamar.
(4)
Liburan
sekolah anak-anak semakin dekat. Pekerjaan mas Dewo semakin padat.
Selalu lembur. Sering ke luar kota. Kalau ke luar kota sih sudah
terbiasa sejak beberapa bulan lalu. Menginap. Tetapi, lama-lama
sebagai istri aku curiga.
Selalu
ke Jakarta. Jakarta? Untuk urusan kerja atau yang lain. Demi Sisi,
misalnya. Tetapi, ”Ah,mengapa aku menjadi sentimentil begini?”
aku berusaha mengibaskan kecemburuanku.
Sampai,
“Kamu
tidak ingin menambah keluarga baru?” tanya mas Dewo tadi malam.
“Ih,
apaan sih?”
sahutku.
Mas
Dewo tersenyum. Senyum yang serius.
“Dua
anak lebih baik,” jawabku menirukan iklan program Keluarga
Berencana.
“Bukan
anak.”
Pasti
mas Dewo ingin memaksa ibu tinggal disini, batinku.
“Bagaimana?”
“Ibu
tak akan mau, mas,” sahutku.
“Bukan
ibu.”
Aku
sedang membayangkan mas Dewo bercanda. Bukankah ia jago juga tentang
yang satu itu.
“Lalu?”
“Sisi.”
“Ha?!”
“Ia
hamil. Ia ingin aku menikahinya.” *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar