Senin, 21 Mei 2012

Sisi Lain

*) catatan: cerpen ini dimuat harian Radar Surabaya edisi Minggu, 20 Mei 2012.

(1)

 “SEMOGA  ini bukan menjadi lebaran terakhir. Semoga semua sehat, aku sehat, anak-anakmu juga sehat...,” itu pesan ibu ketika aku, suami dan kedua anakku pamit pulang selepas mengunjunginya lebaran tahun kemarin. Selalu begitu. Saban lebaran.
     Kuhitung, telah dua belas lebaran. Sejak aku tinggal tidak bersama ibu. Sejak mengikuti mas Dewo. Dua belas tahun. Dan terasa baru kemarin saja. Padahal Ika sudah besar. Seusia perkawinanku . Dan Dwika, dua tahun selisihnya dengan Ika. Mereka, anak-anakku itu, harta yang ternilai. Tentu itu, bagi siapapun ibu.
Apalagi aku bagi ibu. Karena aku hanya anak satu-satunya.
     Mas Dewo, lelaki itu yang mampu memisahkan aku dengan ibu. Duabelas tahun lalu. Setamatku dari SMA. Dan aku tahu, ibu amat terpaksa melepasku. Karena tanpa aku, ibu hanya akan berdua saja dirumah besar itu. Berdua dengan bapak. Dirumah joglo peninggalan eyangku.
     Malam itu, dua belas tahun lalu, bapak nyaris saja menamparku. Menampar anak semata wayangnya ini. Untung ada ibu. Yang rela menyerahkan dirinya untuk ditampar bapak, daripada diriku. Dan bapak malah duduk. Menangis. Lelaki itu menangis, ya menangis. Sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
     “Kamu tahu, nduk. Bapakmu terluka. Amat terluka hatinya,” kata ibu.
     Aku menangis. Bahkan ini sebagai lanjutan dari tangisku sebelum bapak menangis tadi. Tangis yang entah maknanya apa. Tapi, sambil menangis itu, sebenarnya aku sedang menunggu. Menunggu tindakan bapak selanjutnya. Meneruskan ingin menamparku, dan itu tidak akan kuhindari kalau terjadi. Atau malah menyuruhku seperti yang dikehendaki mas Dewo; aborsi.
     “Apa salah bapakmu ini, nduk, sampai-sampai harus menghadapi keadaan begini ini?!” suara bapak lirih tapi sangat jelas ada nada kecewa didalamnya.
     Aku diam. Ibu lalu juga diam. Malam juga semakin hening terasa.
     Bapak lunglai duduk di kursi. Tak punya kekuatan sepertinya. Tak terlihat lagi raut wajah merahnya saat nyaris menamparku. Aku menghambur ke dadanya. Dalam tangis yang tentu tak berguna. Tangis yang mungkin malah ditertawakan janin dalam kandunganku.
     Sungguh, betapa malunya bapak dan ibu atas kehamilanku.
Aku, satu-satunya buah hatinya, yang baru tamat SMA, sudah berbadan dua. Dan malam jahanam selepas perpisahan sekolah adalah awalnya. Dan Dewo, sahabatku, pelakunya.
     Malam yang diam terluka dia. Tapi mau bagaimana, malam terasa berhenti. Seperti langkah asa ibu-bapak yang laksana membentur tembok buntu.
     “Nak, bagaimanapun engkau adalah calon ayah. Siap atau tidak siap, engkau harus siap,” kata bapak saat kupaksa Dewo menemui beliau.
     Dewo menunduk.
     “Bagaimana?” tanya bapak.
     “Iya, pak.”
     “Iya bagaimana?”
     “Saya akan nikahi Ida, pak.”
                                                                           
(2)

Tak terasa itu dua belas tahun lalu. Tak terasa pula, sudah tujuh tahun bapak tiada. Ibu sendiri saja sekarang. Dan aku merasa, telah gagal menjadi anak yang baik untuk kesekian kalinya. Seharusnya aku menemani ibu di hari-hari tuanya. Tidak malah berada jauh begini. Yang hanya sesekali saja menengoknya. Dan sering merasa tidak punya waktu untuk ibu. Walau begitu, saat lebaran atau saat liburan sekolah anak-anak aku selalu kesana. Selalu. Karena aku tahu, saat-saat itu jugalah yang ditunggu ibu.
     “Sudah, jangan terlalu memiikirkan ibu. Ibu baik-baik saja kok.”
     “Tapi ibu kan sendiri.” rengekku, saat terakhir mengunjunginya pada pertengahan tahun kemarin. Saat khaul  bapakku.
     “Nduk, berbakti kepada suami itu adalah hal utama bagi seorang istri. Dan ibu ingin kamu bisa melakukan itu sepenuh hatimu.”
     Aku merangsek ke dada ibu. Seperti bayi yang hendak menyusu. Sementara di halaman depan, mas Dewo dan anak-anakku riang memetik buah rambutan.
     Ibu tersenyum melihatnya. 
     “Melihat kamu bahagia, ibu juga bahagia, nduk. Kalau saja bapakmu masih ada, ia tentu juga senang melihatmu bahagia.”
      Aku masih betah berada di dada ibu. Agar ibu tahu aku bahagia. Sekalipun tentu ada sisi lain yang aku sembunyikan. Karena, bukankah selalu ada riak kecil dalam rumah tangga. Tapi, selama ini ia hanyalah sebagai pemanis saja. Tidak lebih dari itu.
                                                                          
(3)

     Reuni sekolah selalu saja bisa menggugah kenangan lama. Masa-masa indah. Masa remaja yang selalu ceria. Tanpa beban. Tanpa problema. Ah, lebih-lebih di sound system itu, diputar lagu jadulnya Paramitha Rusady; Nostalgia SMA kita, indah lucu banyak cerita....
     Kami berkeliling sekolah. Dalam senda gurau. Melihat kelasku dulu. Kelas mas Dewo juga. Ohya, mas Dewo itu sesekolah, tapi beda kelas denganku. Ia A aku B. Sementara Sisi C. Sisi? Ya.
     Kami sahabat. Tiga serangkai, teman-temanku menjuluki. Dewo; cakep, pinter dan humoris. Sisi; cantik, postur yang layak jadi seorang model, cerdas dan pandai bergaul. Aku? Ah, biasa saja. Rasanya tak sepinter Dewo, juga tak secantik Sisi. Mungkin karena itulah kami merasa cocok. Saling melengkapi.
     Tetapi, dalam reuni itu, setelah sekian belas tahun tak saling bertemu, dan ternyata Sisi punya karir bagus Jakarta, aku tahu, tatap mata mas Dewo kepada Sisi ada sisi lainnya. Dalam sekali. Tetapi, ah bukankah kami memang sahabatan dari dulu. Sedari SMA. Bedanya, Sisi melanjutkan kuliah, sementara aku malah menjadi nyonya Dewo yang ibu rumah tangga tulen. Yang hanya berkutat di dapur, sumur dan kasur. Sungguh keadaan yang sangat ketinggalan zaman.
     Hm, aku seperti tak layak hidup di jaman ini. Aku terlalu tradisional. Terlalu seperti ibuku. Yang seumur hidupnya hanya sebagai ibu rumah tangga.
     “Sudah jaman mbah Google kok masih begitu,” seloroh Sisi.
      Kami tertawa saja. Saling pandang. Tapi ketika aku melihat mata mas Dewo dan mata Sisi bertabrakan, sekali lagi kutemukan ada sorot aneh disana. Ada sorot masa lalu. Jarak waktu sekian lama sepertinya belum juga mampu menghapus sebuah kenyataaan; mereka dulu nyaris sebagai sepasang kekasih. Yang terpaksa putus karena kehamilanku.
     “Mas, mungkin sebaiknya kita lebih sering mengunjungi ibu. Ibu sudah semakin sepuh. Sudah semakin menurun kesehatannya.”
     “Kan ada bik Jah yang nemenin,” mas Dewo menjawab sambil baca koran.
     “Iya sih. Tetapi bukankah bik Jah itu hanya orang lain, mas. Yang kita bayar untuk menemani ibu.”
     “Lalu?”
     “Kadang aku berpikir, ingin memboyong ibu ke rumah kita ini.”
     “Iya, tetapi bukankah itu selalu ditolak ibu.”
      Ya, ibu memang sangat mencintai tanah kelahirannya. Desanya. Tak pernah kerasan beliau tinggal di rumahku. Belum pernah ibu tinggal lebih dari seminggu di rumahku ini. Dan aku maklum itu. Ibu itu orang desa tulen. Yang tentu terlalu pusing hidup di Surabaya yang panas ini.
     Suara ponsel berdenting. Denting nada pesan dari ponsel mas Dewo itu. Tertinggal rupanya. Kubiarkan saja benda itu di meja. Aku tak biasa membuka ponsel mas Dewo. Aku tak ingin mencampuri urusan pekerjaannya. Kuteruskan saja membereskan meja makan bekas sarapan anak-anak.
     
     Hendak kubawa setumpuk piring kotor untuk kucuci di dapur, ketika ponsel mas Dewo berbunyi lagi. Kali ini nada panggil. Kulirik saja. Oh dari Sisi. Melirik saja, hanya itu yang kulakukan. Karena untuk mengangkatnya, aku merasa tak berhak.
     Malamnya mas Dewo pulang agak malam. Juga malam-malam berikutnya. Makin malam. Rupanya banyak lemburan. Banyak pekerjaan yang harus diselaikan.
     “Dua hari kedepan ini aku tak pulang. Keluar kota,” pamitnya.
     “Kemana?”
     “Jakarta.”
     “Ya, hati-hati,” kataku. ”Tapi, kita jadi mudik ke rumah ibu saat anak-anak libur sekolah, kan?”
     “Ya, kuusahakan.”
     “Lho, memangnya kenapa?”
     “Karena kalau dua hari ini urusan yang di Jakarta belum beres, sepertinya minggu depan aku harus ke sana lagi.”
     “Untuk?” belum pernah aku selancang ini menanyakan pekerjaan kantor mas Dewo. Tetapi, karena jadwal mudik kerumah ibu yang sudah aku rancang beberapa minggu yang lalu menjadi belum pasti lagi, ini yang menyebabkan aku berani begitu.
     “Om Wisnu ingin aku yang berangkat menangani pekerjaan ini. Sekaligus, sepertinya aku mulai dipercaya menangani urusan yang agak serius. Mungkin om punya pemikiran lain, aku tidak tahu. Dan bukankah aku bekerja ini juga untuk kebahagiaan kita. Untuk anak-anak kita.” kata mas Dewo yang memang bekerja di perusahaan milik om Wisnu, adik mertuaku.
     “Juga untuk ibu kan?”
      Mas Dewo genit mencubit daguku. ”Tentu, sayang...,” katanya lalu  mematikan lampu kamar.
                                                                      
(4)

     Liburan sekolah anak-anak semakin dekat. Pekerjaan mas Dewo semakin padat. Selalu lembur. Sering ke luar kota. Kalau ke luar kota sih sudah terbiasa sejak beberapa bulan lalu.  Menginap. Tetapi, lama-lama sebagai istri aku curiga.
     Selalu ke Jakarta. Jakarta? Untuk urusan kerja atau yang lain. Demi Sisi, misalnya. Tetapi, ”Ah,mengapa aku menjadi sentimentil begini?” aku berusaha mengibaskan kecemburuanku.
     Sampai,
     “Kamu tidak ingin menambah keluarga baru?” tanya mas Dewo tadi malam.
     “Ih, apaan sih?sahutku.
     Mas Dewo tersenyum. Senyum yang serius.
     “Dua anak lebih baik,” jawabku menirukan iklan program Keluarga Berencana.
     “Bukan anak.”
      Pasti mas Dewo ingin memaksa ibu tinggal disini, batinku.
     “Bagaimana?”
     “Ibu tak akan mau, mas,” sahutku.
     “Bukan ibu.”
     Aku sedang membayangkan mas Dewo bercanda. Bukankah ia jago juga tentang yang satu itu.
     “Lalu?”
     “Sisi.”
     “Ha?!”
      “Ia hamil. Ia ingin aku menikahinya.”   *****




Tidak ada komentar:

Posting Komentar