Kamis, 17 Mei 2012

Kekasih Asih

SATU per satu ribuan buruh pabrik itu keluar dari mulut pintu gerbang yang dijaga tiga satpam. Kalau engkau sore itu ikut berdiri didekat situ, pastilah hidungmu mendapati aroma yang sama di antara mereka. Atau aroma itu sudah sedemikian akrab dengan inderamu.  Atau bahkan engkau saat ini sedang menikmati hasil lintingan tangan-tangan mereka. Ya, mereka itu, para buruh pabrik rokok itu, yang  kalaulah kukatakan dalam sahari setiap pasang tangan itu menghasilkan tiga ribu batang rokok, engkau pasti tidak begitu saja memercayainya. Sudahlah, dalam hidup ini kadang ada hal-hal yang dianggap gila. Segila pendapatmu yang meyakini kalau engkau sedang sakit batuk, untuk sembuh engkau harus menghisap rokok merek tertentu. Gila. Sungguh gila. Bagaimana bisa seperti itu. Tetapi kegilaan tentu lebih dari itu. Karena itu baru satu. Bayangkan, dengan ekpansi yang nyaris menyentuh setiap kawasan, engkau akan dapat dengan mudah mendapati pabrik rokok itu membuka tempat produksi di --bahkan mungkin-- kotamu. Dengarlah, selain di Rungkut ini, ia ada di Yogya, Cirebon, Malang, belakangan ia sedang membangun di Probolinggo.

Bisnis rokok adalah memang bisnis gila. Segila engkau yang tahu bahwa benda itu tidak menyehatkan tetapi engkau bahkan kadang lebih memilihnya daripada sepiring nasi. Ia memberi pendapatan yang lumayan gila untuk negara, tetapi juga harus tahu, uang itu didapat dari pembeli, rakyat-rakyat miskin negeri ini. Tetapi, mana peduli.  Dan Asih pun setali tiga uang. Sebagai perempuan single parent ia tentu butuh uang. Untuk biaya sekolah anaknya, juga untuk menghidupi ibu yang ia titipi anaknya itu di desa sana. Dan, dengan tiga ribu batang rokok yang ia linting sehari, dalam seminggu ia mengantongi upah enam ratus ribu. Upah yang tentu besar bila dibanding buruh pabrik-pabrik lain. Atau bahkan yang didapat para penjaga stand mall yang berdandan aduhai itu. Begitulah, semakin pekerjaan itu menyengsarakan orang banyak, engkau akan mendapat upah lebih banyak.


Asih dengan jaket jeans biru yang menutupi seragam kaos kuning bergaris merah itu, aroma keringatnya berbaur dengam bau tembakau dengan bubuhan saos yang sering kau nikmati dalam hal  apa pun. Bila dangdut membuatmu bergoyang dalam lagu sedih sekalipun, rokok pun juga begitu. Dalam suka dan duka ia terasa nikmat kau hisap.

Sabtu sore ini Asih harus pulang. Kepulangan yang biasa sebenarnya. Karena hanya di malam Minggu begini ia bisa menemani tidur buah hatinya yang baru TK itu. Juga mengirim uang belanja untuk ibunya. Tetapi kali ini ada yang beda di dadanya. Langkahnya yang dirasakannya kadang menyentuh tanah, kadang tidak. Dalam kebimbangan itulah ia kini. Antara menuruti ibu atau menurunuti kata hati.

“Kau tidak harus memutuskannya sekarang.” kata ibu Minggu lalu.” Masih ada waktu. Dan ibu pikir, pak Jupri tak akan terburu-buru pula.”

Yang namanya cinta kadang bisa menyerupai apa saja. Batu, air atau bahkan angin. Tapi mendiang mas Satrio adalah air yang mengalir. Tenang. Sekalipun ia adalah hasil pilihan ibu, membuatnya menyadari, naluri ibu jarang keliru. Bersama Satrio pula ia melalui hari yang semengalir air. Tenang. Tapi, nyatanya, pada batas tertentu Asih harus merelakaan aliran tenang itu berhenti pada satu titik. Mas Satrio, suaminya yang sopir bus itu, meninggal karena kecelakaan bus yang mungkin kau masih ingat. Bertabrakan secara frontal pada suatu malam disebuah tikungan dengan rombongan pengantin. 13 orang meninggal kala itu. Termasuk Satrio, yang malam sebelum nahas itu datang, telah sepakat dengan Asih untuk menggenapi bulan ini saja. Setelahnya, sesuai saran istrinya itu, ia akan membuka toko kecil-kecilan di depan rumah. Ini masuk akal saja. Karena, sebagaimana sopir bus lain, Satrio pun merasa pendapatannya semakin hari makin merosot karena semakin banyaknya orang menggunakan motor untuk bepergian.



Toko itu, akan dijadikan langkah awal untuk sebuah cita-cita lanjutan. “Kalau maju, aku juga akan berhenti melinting,” kata Asih.



Kata-kata, apa pun bunyinya, kalau diucap terakhir sebelum seseorang pergi untuk selamanya, sering dibilang sebagai firasat. Tetapi ucapan Satrio itu, apakah kau bisa mencari tahu dimana letaknya bila ia didudukkan sebagai pesan terakhir. Ya, perpisahan yang mengalir saja. Semengalir air mata Asih berhari-hari setelah itu. Tetapi Ozi, tahu apa bocah mungil itu tentang kematian.



Ozi, lelaki kecil yang wajahnya tidak secuilpun meleset dari ayahnya itu, sudah TK sekarang. Dan, waktu mengalir kedepan, makin menjahui segalanya. Sekaligus makin mendekati segalanya. Dan seperti tiba-tiba, tiga tahun lebih sudah mas Satrio berpulang.



Motor matic itu berhenti disebelah Asih, disebelum pintu gerbang pabrik. Berdua mereka pulang. Ini juga mengalir, sepertinya. Pertemanan antar sesama buruh pabrik, beranjak ke jenjang persahabatan, kemudian cinta. Apa ada yang salah? Tentu tidak. Kau tahu, kepada siapa engkau mengadu, adalah kepada siapa bebanmu itu dan bebannya dalam takaran yang sama. Asih, tiga tahun single parent, dan temannya itu, kekasihnya itu, empat tahun lalu ditinggal lari pasangan hidupnya yang terjerat orang ketiga. Oh, tentu bukan bandingan yang pas. Satu cerai-meninggal, satu cerai berai. Tetapi, hidup kadang mengelinding kearah yang tidak perlu dibantah.

Kepada kekasihnya itu pula sering sekali Asih bercerita tentang segala hal. Kecuali satu; tentang pak Jupri yang telah 'nembung' lewat ibu untuk memperistrinya.

Secara usia memang jauh berbeda, tetapi jalan yang lapang sedemikian membentang bila Asih mau. Pak Jupri itu, duda enam anak itu, adalah juragan rokok rumahan. Dari yang dulunya tanpa cukai dan nyerempet-nyerempet meniru merek rokok kondang, sekarang sudah resmi. Tiga puluh orang pekerjanya. Diawasinya semua secara langsung. Kulakan bahan, mengawasi tukang lintingnya, sampai memasarkannya. Sungguh bapak tua yang luar biasa. Pada posisi itu, --sekali lagi-- bila Asih mau, tidak hanya akan menjadi seorang istri. Tetapi ia akan menjadi mandor yang bisa mengajari para buruh pak Jupri itu cara agar mampu melinting sebanyak-banyaknya secara secepatnya. Sebagai orang yang sudah belasan tahun melinting secara borongan di pabrik besar itu, bukan ujug-ujug ia mampu menggarap tiga ribu batang sehari. Ia telah menguasai kiat khusus, dan tentu ilmu itu bukan pantangan untuk juga ditularkan.

Tetapi malam itu, malam penuh setan itu, Asih merasakan percintaan dahsyat dengan kekasihnya yang lebih dari apapun sepanjang lima tahun perkawinannya dengan Satrio. Gila. Dan itu, sepertinya, tidak akan ia dapat dari seorang bapak tua bernama Jupri.

--oOo--

LIMA bulan sudah, setiap hendak pulang, dengan setia kekasihnya itu mengantarkannya ke terminal Tambak Osowilangun. Kalau boleh, sebenarnya kekasihnya itu ingin mengantarkannya langsung ke rumahnya. Tapi, nanti kapan-kapan saja, Asih selalu berkata. Dan senyum itu, lambaian tangan itu, sungguh hiasan senja yang indah. Karena, bukankah apa pun akan tampak istimewa bila dibalut cinta?

Turun dipertigaan Sukodadi, ojek lalu membawanya ke rumah. Duduk dibelakang tukang ojek itu, aneh, hatinya seperti terpental-pental layaknya roda motor yang menerjang geronjalan jalan yang aspalnya selalu mengelupas setelah musim hujan begini. Semakin mendekati rumah, semakin entah rasanya.

Padahal, segelas tes hangat telah tersaji di meja saban Sabtu malam begini. Itu, membuat dadanya hangat dan nyaman biasanya. Lebih-lebih disambut gelayut manja Ozi yang langsung minta gendong. Itu, bagi siapapun ibu, adalah sesuatu yang tidak dapat digantikan oleh apa pun. Tetapi, “Mana Ozi?” Asih mencari-cari buah hatinya itu. Sekaligus, sebenarnya, pada saat yang sama ia mencari-cari alasan yang tepat untuk megatakan 'tidak' akan kehendak ibu tentang pak Jupri itu. Tatapi, tidak terlalu berani ia. Bukankah telah terbukti ibu sebagai yang benar ketika memilihkan untuknya si Satrio itu. Yang, kalaulah maut belum menjemput, tiada yang akan dapat memisahkannya.

“Bahagia itu,” kata ibu kala itu, “bukan hanya atas dasar kekayaan. Bukan seberapa luas tambakmu. Tidak. Ia ada disini.” ibu menunjuk hatinya.

Asih hendak menyeruput untuk kedua kali teh hangatnya itu ketika ibu bilang,” Ozi sudah tidur dikamar. Siang tadi ia seharian main layang-layang. Mungkin kecapekan, jadi jam segini sudah tidur.”

Asih membuka sedikit pintu kamar. Dan mendapati buah hatinya itu tidur pulas. Sebagai ibu ia tersenyum melihat buah hatinya terlentang lucu begitu.

“Tadi sore pak Jupri menyuruh Erni kesini. Ayahnya sedang panen bandeng, katanya. Ia mengirimi kita beberapa ekor. Itu, sudah ibu masak sayur kuning kesenanganmu.”

Dugaan Asih benar. Kalaulah ibu memang sepenuhnya menyerahkan iya dan tidaknya tentang pak Jupri itu kepadanya, tentu ibu tak seterburu itu mengatakan kabar yang menurut Asih sama sekali tidak penting itu. Ini, belum juga Asih duduk, nama pak Jupri telah ibu sebut. Sejak dulu, sejak pak Jupri masih belum usaha rokok pun, ia adalah sudah pemilik tambak terluas di Karanggeneng ini. Dan setiap panen, bukan hanya pak Jupri seorang yang selalu membagikan barang empat-lima ekor bandeng kepada para tetangga. Tetapi, cerita ibu itu, tentang bandeng dari pak Jupri yang telah dimasak sayur kuning itu, tentulah ada hal lain yang sedang ibu susupkan.


MALAM, seperti biasa kalau ia pulang, tanpa diminta pun ibu akan memijiti seluruh tubuhnya. Ibu memang bukan tukang pijat, tetapi kalau engkau mau membuktikan, sepegal apapun ototmu, bila yang memijit adalah tangan ibumu, niscaya pergi semua capekmu. Tetapi pijatan ibu malam ini, Asih rasa ada sesuatu yang bukan hal biasa. Ibu selalu memberi wawasan tentang masa depan. Masa depan Asih, juga si Ozi. “Kamu masih muda. Tidak baik terlalu lama hidup menjanda.” tangan ibu terus memijit. “Apa kamu masih belum bisa melupakan Satrio?”

Dalam-dalam Asih menatap mata ibu. Dalam diamnya ibu itu, Asih mendapati sesal yang sangat. Pasti ibu merasa bersalah bertanya begitu. Tetapi ibu terlalu pintar untuk berlama-lama dalam keadaan begitu. “Atau, kamu telah punya kekasih?” mata ibu berbinar. Sorot cahayanya menyiratkan keinginan yang melambung.

Dan, ini jugalah yang ditakutkan Asih. Berterus terang, atau terus saja menyembunyikan dari ibu perihal hubungannya dengan kekasihnya itu. Asih melemparkan senyum. Memandangi mata ibu yang di dalamnya ia mendapati pantulan wajahnya yang asing. Tahukah ibu tentang itu?

“Dari sorot matamu sekarang ibu tahu, telah ada pengganti Satrio dihatimu.” kata ibu masih sekalem biasanya.

Asih tersenyum. Tapi bukan senyum yang biasanya.

“Sejak kapan engkau menyembunyikan isi hatimu kepada ibu?” kata ibu. “Ayolah, ajaklah kekasihmu itu kesini kapan-kapan. Itu akan lebih baik, Asih. Agar ia tahu siapa kita. Agar mengenal keadaan kita apa adanya. Tanpa ada yang kita tutupi. Juga tentang Ozi anakmu.”

Asih, entah mengapa, dadanya berdegup kencang.

“Boleh ibu tahu siapa nama kekasihmu itu?”

Ditanya begitu, Asih menyembunyikan sesuatu yang ia rasa berat sekali.. Di saat yang sama, melintas wajah kekasihnya itu dalam ingatannya. Kekasih yang telah hampir setengah tahun ini membuat hatinya tiada lagi kesepian. Yang selalu mau menampung segala keluh-kesahnya. Darinya ia mendapatkan sesuatu yang sangat bermakna. Lahir, batin. Tetapi namanya?

Ibu memang bukanlah orang yang suka menebak-nebak arti sebuah nama. Tetapi dengan menyebut nama kekasihnya itu, Asih tiada sanggup membayangkan apa yang ada dalam bayangan ibu nantinya. Bukan apa-apa, ini hanya karena kekasihnya itu, yang setengah tahun terakhir ini selalu menemani hari-harinya dalam suka dan duka, adalah juga seorang perempuan. Kekasih Asih itu bernama Dewi. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar