Senin, 28 Mei 2012

Sepatu Dahlan: Inspirasi dari Alas Kaki



Sepatu Dahlan
Gambar: Google Images
Judul Buku: Sepatu Dahlan
Penulis: Khrisna Pabichara
Penerbit: Noura Books
Cetakan Pertama, Mei 2012
390 hlm.; 14 x 21 cm



SETIAP penulis mempunyai cara sendiri untuk membuat cerita fiksi. Salah satunya, yang saya tahu, menggunakan resep para jurnalis. Resep itu cukup manjur. Pertama, agar sebuah cerita menjadi sedemikian hidup walau itu hanyalah rekaan semata. Kedua, ini tidak kalah penting, agar semua alur cerita tertata secara runut dan dapat dengan mudah menjawab keingintahuan pembaca. Ya, resep itu lazim disebut sebagai 5W+1H.



Pada cerita fiksi macam itu, penulis setelah menentukan plot dan tokoh-tokohnya lengkap dengan masing-masing karakter, membuat pertanyaan kepada masing-masingnya. Tentu memakai kaidah 5W+1H itu. Tetapi karena semua seratus persen adalah fiksi semata, pertanyaan dan jawabannya itu hanyalah sebuah wawancara imajiner belaka. Bagaimana tidak, karena yang bertanya dan yang menjawab adalah sang penulis sendiri. Dan hal itu dilakukan agar sebuah penciptaan (cerita fiksi) menjadi lebih gampang dan cepat.



Buku Sepatu Dahlan ini pun dibangun dengan cara yang sama. Yang membedakan hanyalah wawancara yang dilakukan oleh Khrisna Pabichara terjadi secara nyata. Ia, selain mewawancarai tokoh utama, juga melakukan riset mendalam dengan menemui orang-orang (baca: saksi mata) kehidupan masa kecil Dahlan Iskan, menginap di kampungnya dan sampai-sampai menelusuri rute perjalanan Dahlan Iskan dari rumah ke sekolah yang 6 kilometer sekali jalan itu. Dengan itu, tentulah tidak berlebihan bila dikatakan novel ini lebih mempunyai 'nyawa'. Ruh-nya betul-betul terasa. Karena ditulis dengan totalitas oleh seorang Khrisna yang terbilang mumpuni.



Tetapi, “Buku ini bukan kisah nyata. Bukan biografi. Namun isinya terinspirasi oleh perjalanan hidup saya,” demikian kata Dahlan Iskan pada lounching buku ke 14 (tetapi novel pertama) dari Khrisna Pabichara ini.



Jelas sudah, bagi yang berharap menemukan gaya penulisan Dahlan Iskan di buku ini, silakan untuk bersiap kecewa. Karena buku ini ditulis oleh orang lain. Tetapi, sekali lagi, karena dikerjakan sepenuh hati oleh seorang yang mumpuni, kita akan diajak berkelana ke masa lalu Dahlan Iskan dengan alur yang mengalir, dengan setiap butir kisah dibangun lewat sentuhan sastrawi, menjadikan (bisa-bisa) pembaca akan seperti kena candu.



Bagi yang sudah pernah membaca buku Ganti Hati yang ditulis Dahlan Iskan (diterbitkan pertama oleh JPBooks, Oktober 2007), Prolog dan Epilog buku ini mungkin akan menggugah kembali ingatan Anda tentang saat-saat menjelang dan sesudah Dahlan Iskan melakukan operasi cangkok hati di sebuah Rumah Sakit di Tiongkok sana. Tetapi sekalipun buku ini diniatkan 'hanya' sebagai novel fiksi, dengan Prolog dan Epilog itu (masing-masing berjudul 18 Jam Kematian dan Mimpi Baru) sudah diolah sedemikian rupa, akan sangat sulit sekali melepaskan diri dari kenyataan bahwa bagian itu adalah merupakan kisah asli.



Jujur saya akui, saya tertarik membaca buku ini karena sebagai anak kampung dengan keadaan yang miskin, dulu saya juga pergi-pulang sekolah dengan berjalan kaki, juga bersepatu bekas yang ujungnya sudah jebol. Dengan membaca buku ini, seolah saya sedang membaca kisah saya sendiri. Tetapi kalau beranggapan buku ini hanya layak dibaca oleh orang yang berlatar belakang miskin seperti saya, tentu saja keliru. Bahwa kemiskinan itu pernah dialami, biarlah saja itu. Namun ketika sebuah keadaan yang susah itu tidak dihadapi dengan 'cara susah' tentu adalah sebuah pencerahan. Dan buku ini, nyaris setiap lembarnya adalah bicara tentang itu. Tentang sebetapa pun miskinnya, harus selalu pantang menyerah.



Dibaca sekarang, saat orang tua sibuk memilihkan sekolah lanjutan untuk anak-anaknya, buku ini memberi cerminnya. Bahwa ketika sebagian besar orang tua ingin anaknya sekolah negeri dan cenderung menjadikan pesantren sebagai alternatif terakhir disinggung pada bab pertama yang diberi judul Tanah Tebu.



“Bapak tahu, Le, tapi kamu harus tahu diri. Harus tahu kemampuan orang tua. Kalau di pesantren Takeran, biaya lebih ringan,” tegas Bapak. (hal 20)



Sekalipun dengan biaya murah begitu, dengan tidak melarang Dahlan sekolah hanya bertelanjang kaki saja begitu, hari pertama mendaftar sekolah ke Pondok Pesantren Sabilil Muttaqin ini sudah disambut tulisan yang ditempelkan didinding. Bukan sembarang tulisan. Karena tulisan itu kalau bisa meresapkannya ke dalam jiwa, akan menjadikan setiap kita lebih bermakna.



Ojo kepingin sugih, lan ojo wedi mlarat, juga sumber bening ora bakal nggolek timba. (Jangan ingin kaya, dan jangan takut miskin. Sumur bening tidak akan mencari timba.)



“Pilih ngendi, sugih tanpa iman opo mlarat ananging iman?”



Dengan tegas aku menjawab, “Sugih ananging iman, Pak.” (hal. 31)



Begitulah, dialog dibangun dengan ringan tetapi sarat makna. Juga ketika Dahlan sepulang sekolah dan masih ngos-ngosan, karena berjalan tanpa alas kaki sejauh 6 kilometer dibawah terik matahari, sekalipun Ibu karena kasihan menyilakan agar tidur sebentar, “Ndak ada waktu, Bu. Harus nyabit (mencari rumput untuk pakan ternak, pen) lagi.”



Tentang telapak kakinya yang selalu kepanasan pergi-pulang sekolah hanya nyeker begitu, impian terbesar untuk mengurangi penderitaan macam itu adalah ingin memiliki sepatu.



Setengah sadar aku bergumam, “Coba aku punya sepatu.....”



Ibu tertegun, meletakkan canting (alat untuk membatik, pen), dan menatapku sedih. “Kita boleh saja bermimpi sesuka hati, Le. Tak ada salahnya bermimpi punya sepatu, tapi jangan karena mimpi itu belum tercapai lantas kamu putus asa. Hidup ini keras, kamu harus berjuang sendiri.” (hal. 40)



Saya sependapat dengan testimoni cerpenis dan esais Damhuri Muhammad, bahwa tidak gampang menulis novel dari riwayat seorang tokoh yang sedang bertabur bintang. Pengarang bisa terjebak dalam ungkapan-ungkapan prosaik yang bergelimang puja-puji, atau terancam oleh sinisme lantaran menyingkap hal-hal tak terlihat yang boleh jadi mencemari keterpujian tokoh tersebut. Tetapi, Khrisna Pabichara telah selamat dari dua jebakan itu.



Inspirasi memang bisa muncul dari siapa saja dan benda apa saja. Bagi sebagian orang, bisa jadi sosok Dahlan Iskan adalah seorang inspirator. Yang ceplas-ceplos, yang tegas, jujur, pekerja keras dan, ini dia, selalu bersepatu kets. Bahwa sekarang ia dipandang sukses, iya. Tetapi bahwa ia mempunyai 'pengalaman' mendalam tentang masa lalunya yang miskin sampai-sampai sepatu saja hanya mampu dimilikinya saat-saat akhir SMA (Aliyah), juga iya. Dan ini, sekali lagi, juga bisa dijadikan sebuah inspirasi.



Akhirnya, sambil menunggu dua buku lanjutannya (Surat Dahlan dan Kursi Dahlan) saya mengamini kalimat terakhir dari pengantar Dahlan Iskan untuk buku ini yang ditulis pendek saja; It's a must read.*****

2 komentar:

  1. Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir ke kedai sederhana ini. Sekarang, di toko buku, makin banyak saja judul buku yang memakai nama Dahlan Iskan. Dan, salah satunya, ya Sepatu Dahlan itu.

      Hapus