DALAM hal
kepercayaan, saya terlanjur tidak begitu dalam menaruhnya kepada seseorang yang
berprofesi sebagai kondektur. Ini dilandasi oleh pengalaman empirik (waduh!);
setiap kali saya naik bis dari depan mulut gang walet di kampung saya,
Mlokorejo-Jember sana, bis apapun, baik dari grup Akas atau yang lainnya,
selalu saja sang kondektur bilang, “Langsung Surabaya. Probolinggo tidak
parkir.”
Dulu sih saya
percaya saja. Dan langsung membayar ongkos sampai landing di Purabaya. Tetapi ketika kenyataannya tidak selalu
begitu, dan malah lebih sering dioper di sebelum terminal Menak Koncar
Lumajang, lunturlah pula kepercayaan itu. Dioper begitu, sampeyan tahu, akan tidak bisa lagi nyaman. Karena, bis yang
dioperi itu, bisa jadi lebih jelek kondisinya, sekaligus lebih penuh isinya. Penumpang
yang naik dari pintu belakang diminta maju ke depan. Sementara yang masuk dari pintu
depan diminta bergeser ke belakang. Intinya, bis itu sudah penuh-sesak. Intinya lagi,
yang tidak kebagian kursi harus terpaksa berdiri. Tetapi, “Sabar sebentar,”
kondektur menenangkan. “Di terminal Lumajang banyak yang turun.”
Sekali lagi, bagi yang haqqul
yaqin akan perkataan kondektur, bersiaplah untuk kecewa. Karena sesampainya
di terminal Lumajang, yang turun hanya satu- dua. Malah yang naik tiga-empat.
SUATU malam saya
hendak mudik ke Jember. Tetapi saya kemalaman. Karena, setahu saya, bis
terakhir jurusan Jember yang via Kencong (finish Ambulu), take off dari Bungurasih jam sebelas malam. Dan ketika itu, saya
baru sampai Bungurasih jam sebelas lebih sedikit. “Barusan berangkat,” kata
seorang kondektur ketika saya tanya.
Saya langsung lemes. Saya mempersiapkan plan B; pulang balik ke Rungkut untuk berangkat besok pagi saja. Tetapi,
karena kaki saya sudah kadung di terminal hampir tengah malam begitu,
terpikirlah untuk memunculkan plan C;
menginap di terminal.
“Mau kemana to, mas?”
tanya seorang kondektur bis jurusan Jember via Tanggul.
“Mlokorejo,” jawab saya. Tentu saja sang kondektur tahu,
tujuan saya itu hanya dilalui bis yang via
Kencong. Bisa juga sih ikut bis yang via Tanggul dan turun
di pertelon Rambipuji. Tetapi, dari
Rambipuji ke selatan lewat Balung, Kasiyan menuju Mlokorejo, tengah malam
begitu tentu juga bukan pilihan bijak. Ya itu tadi, kendalanya ketiadaan
angkutannya.
“Begini saja,” sang kondektur memberi solusi.”Ikut saya
saja. Nanti sampai Probolinggo sampeyan
oper yang bis baru berangkat tadi.”
“Iya kalau nutut,
kalau tidak bagaimana?” saya protes.
“Sampeyan bisa
ikut yang trayek Ponorogo-Ambulu,” kondektur itu optimis sekali. “Jam satu, bis
itu transit di Probolinggo.”
Entah pakai susuk apa mulut kondektur itu, sehingga saya
termakan ajakannya. Naik bisnya. Karena malam, antara Surabaya-Pasuruan tak ada
seorang penumpang pun yang naik atau turun. Saya semakin berdoa; semoga bis ini
bisa nututi bis Surabaya-Ambulu di depannya. Sehingga saya bisa oper dan tidak
ketiban sial menginap di terminal Bayuangga Probolinggo yang tentu saja tak
seramai Purabaya. Atau kalau sedikit apes, masih ada harapan; ikut yang dari
Ponorogo.
Jam satu lebih sedikit, bis Akas yang saya tumpangi masuk
terminal Bayuangga. Karena bis tidak parkir, saya langsung meloncat (tentu kaki
kiri duluan) dan menuju ke seorang (lagi-lagi) kondektur bis malam jurusan
Probolinggo-Surabaya yang tempat antreannya berdekatan dengan yang jurusan
Probolinggo-Jember via Kencong. “Akas
yang lewat Kencong?”
“Wah, barusan berangkat, mungkin seperempat jam yang lalu,”
jawaban itu membuat saya lemas. Tetapi tak lemas-lemas amat. Karena bukankan
masih ada harapan cadangan; bis yang Ponorogo-Ambulu. Tetapi, “Yang dari
Ponorogo juga barusan berangkat. Baru saja. Belum lima menit.” Kali ini saya
benar-benar lunglai.
“Kalau bis yang lewat Kencong, paling pagi, berangkat dari sini jam berapa,
pak?”
“Jam lima.”
Musnah sudah harapan.
Plan C saya memang menginap di
terminal. Tetapi asumsi saya adalah terminal Purabaya. Bukan Bayuangga.
Udara malam teerasa dingin, yang anginnya sesekali berhembus
mendekatkan bau asap kenalpot itu ke hidung saya. Sudah begitu, disertai juga satu
bonus, aroma pesing entah dari hasil ulah siapa yang membuat terminal yang
sesekali saya dapati pelancong mancanegara singgah disitu. Mungkin menuju atau
dari Bromo. Dan, bau pesing itu, bagi hidung mereka, tentu tidak hanya dibilang
sebagai aroma terminal Bayuangga. Tetapi, bau terminal Indonesia.
Sekalipun tak sehidup ketika dibanding siang, tetapi tengah
malam begini ada saja bis yang datang dan pergi. Para pedagang asongan yang
kalau siang begitu riuhnya, kali ini sepi. Dan, sepi inilah yang juga saya
khawatiri. Saya merasa, kalaulah ada khawatir, sekecil apa pun itu, adalah
kekhawatiran yang berlebihan. Kalaulah ada preman terminal, saya tak yakin saya
adalah sebagai sasaran. Apa coba yang patut diincar dari saya. Sandal jepit? Atau
buntalan kecil tas kresek ini? Begitulah, kalau sedang mudik tidak bareng anak-istri,
tampilan saya hanya bersandal jepit dan sebuah tas kresek hitam bekas wadah beli
beras yang saya isi satu kaos oblong untuk ganti.
Jam setengah dua saya duduk dibangku panjang di depan depot
Bayuangga. Mula-mula saya duduk biasa, lalu bersandar. Sambil tak lepas memandang
bis-bis yang sesekali transit, sekalipun tidak dalam waktu lama. Menurunkan
penumpang, lalu bablas lagi. Disitu, pada bis-bis itu, saya sedang menunggu
keajaiban; ada bis yang lewat Kencong. Harapan yang mungkin kosong. Sekosong tatapan
mata saya. Status duduk saya meningkat, saya selonjorkan kaki. Saya letakkan
tas kresek hitam. Sampeyan tahu, apa
yang seharusnya dilakukan kebanyakan orang di tengah malam begitu?
Ya, jawaban sampeyan
betul; tidur. Maka, demi maksud itu, saya naikkan status kresek hitam ini, dari
yang tadinya hanya sebagai wadah baju ganti, saya bikin ia merangkap jabatan juga
sebagai bantal. Lumayanlah, tidur tiga jam, sholat subuh di musholla itu, beli
roti untuk sarapan, dan jam lima berangkat pulang, matang betul rencana itu
saya susun dalam batin.
Badan capek, baru saja kepala saya taruh di bantal (eh
kresek isi kaos, ding), langsung saja
saya bablas. Tidur pulas itu, tentu tak melulu harus berkasur empuk di ruang
sejuk. Di terminal pun, beralas bangku panjang dari beton, yang sesekali hidung
ditusuk bau pesing pun, bisa.
Angler sekali saya
tidur. Rasanya baru beberapa saat terlelap, telinga saya mendengar teriakan lantang
dari kondektur, “Kencong, Kencong, Kencong...”
Saya langsung jenggerat,
bangun. Heran saya. Belum mendengar adzan subuh, belum sarapan roti, kok sudah ada bis via Kencong yang siap
berangkat. Semakin saya kucek-kucek mata, rasanya semakin terang saja dunia. Jam
berapa ini?
Secepat titipan kilat saya menembakkan mata ke jam dinding
di depan depot Bayuangga. Oh, sudah jam tujuh rupanya!*****
hahahaha...aku juga pernah nginep di terminal probolinggo (lupa namanya) pas mau hiking ke argopuro. tapi ga bisa tidur soalnya byk warga pulau seberang kalo nggosip ga kira2 volumenya.
BalasHapusPulau seberang mana?
Hapus