Selasa, 18 Agustus 2015

Bumbung Kosong

 (Dimuat harian Radar Surabaya, edisi Minggu, 16 Agustus 2015)

GESEKAN antar daun bambu yang tertup angin sungguh membuat malam serasa mendesis. Embun turun terlalu dini, membasuh pipi dedaunan. Dingin menggigit setiap tulang, dan Rindang mengusir dingin itu dengan menyulut rokok. Istrinya menganyam tikar mendong di ruang tengah, berteman lampu oblik yang nyalanya meliuk-liuk. Anaknya, namanya Rimba, duabelas tahun, mengaji di surau Mbah Seki. Dan kalau malam Jumat Legi begini, biasanya ia pulang pagi, selepas subuh. Begitulah, sebajingan-bajingannya Rindang, ia ingin Rimba mengerti agama. Agar tidak sebejat ayahnya!

Rindang bajingan?
Oh itu dulu. Sekarang ia tobat. Sejak Pak Gelam, ketua kelompoknya, malam-malam dijemput orang-orang berjaket hitam lalu tak kembali hingga kini. Juga Watam, teman karibnya, yang setelah beberapa hari menghilang, jasadnya yang dimasukkan karung, ditemukan orang desa sebelah mengapung di sungai dekat kuburan.

Rindang ingin berhenti dan memulai dari awal untuk menjadi orang baik-baik. Ia ingin mempraktikkan apa yang pernah ia dengar dari haji Udin; miskin lebih terhormat daripada kaya tapi kekayaan itu diperoleh dari kerja yang tidak halal. Lagian, apa sih yang didapat Rindang dari sekian lama bekerja sebagai begal ikut Pak Gelam. Nyaris tidak ada. Bahkan rumah tua berdinding anyaman bambu yang ditinggalinya berama istri dan Rimba ini, adalah peninggalan mertuanya. Karena setiap berhasil, uang hasil begal itu selalu saja ludes untuk foya-foya bersama kelompoknya.

Tetapi Rindang memikirlan pula tentang hari depan kala ia, misalnya, tidak punya uang. Makanya ia menabung. Tanpa sepengetahuan siapa pun, kecuali dirinya dan Tuhan, ia sisihkan uang hasil kejahatan itu. Tidak di bawah bantal, tidak pula kepada siapa-siapa. Ia membuat sendiri tempat uang itu dari pring petung, bambu yang antar ruas terbilang panjang dengan ukuran diameter yang lumayan besar. Ia samarkan bambu celengan itu sebagai tiang tambahan di sudut kamar. Kalau dihitung, dari lantai, letak ruas petung yang dilubangi untuk memasukkan uang itu adalah tiga dari bawah. Bibir lubangnya tersembuyi, tersamar oleh baju-baju yang menggantung dengan paku sebagai cantolannya.

Bukan satu, tetapi dua ruas sekaligus ia bikin punya mulut untuk memasukkan uang. Oh, tidak, yang satu ruas lubangnya bundar. Itu, kau kukasih tahu ya, sebagai tempat ia memasukkan perhiasan. Pandai juga rupanya Rindang. Tentu, kalau dipikir, bisa jadi kan rayap menyerang bambu itu dari bawah lalu menghabiskan uang kertas yang disimpan Rindang di dalam bumbung. Bukankah engkau pernah mengalami ketika buku yang kau simpan rapi dan kau letakkan di sudut gudang tahu-tahu habis oleh rayap. Nah, mana bisa rayap membedakan antara uang kertas dan kertas belaka. Tetapi kalau perhiasan emas, mana mampu gigi rayap mengunyahnya?

Tak akan mampu, setakmampu akhirnya Rindang melihat istrinya setia dan tanpa pernah mengeluh hidup dalam kemiskinan.

Aku sekarang ayem, Yu,” kata istrinya kala Rindang curi dengar ketika berbicara dengan Yu Tun, kakak iparnya, sementara ia, sekalipun matahari sudah mentor-mentor tinggi, tetap bermalasan di kamar setelah semalaman melihat pertunjukan wayang kulit di balai desa. “Lebih baik begini tetapi ngumpul, daripada yang dulu. Hatiku tak pernah perhenti ketir-ketir, khawatir melulu...” sebenarnya ucapan istrinya itu lebih sebagai setengah berbisik, namun dengan dapur dan kamar yang hanya bersekat gedhek begitu, suara desis pelan air yang dijerang pun bisa terdengar dengar jelas.

Istrinya terus saja menganyam, dan Ridang tahu, selembar harga tikar buatan istrinya itu masih kurang untuk membelikan sepatu untuk Rimba. Ya, sepulang sekolah hari Senin kemarin, ia melihat Rimba menangis. Tidak menjerit-jerit sih, tetapi lelehan air mata itu sungguh telah bisa diartikan betapa malunya Rimba tadi pagi.

Anak itu bercerita kepada ibunya kalau ia Senin itu kebagian tugas sebagai pengibar benbera saat upacara. Itu sudah beberapa kali Rimba melakukannya. Tetapi, kali ini bersama tiga temannya, (satu perempuan sebagai pembawa bendera sebelum dikibarkan) berjalan tegap menuju tiang bendera dari pinggir lapangan, pada langkah ke tujuhbelas, alas sepatunya mulai mengelupas. Sebagai petugas yang dipilih wali kelas, ia pantang berhenti. Itu upacara, dan berhenti melangkah sebelum tugas terlaksana sempurna adalah bukan tindakan ksatria.

Pada delapan langkah sebelum tiang bendera, semua alas sepatu telah terlepas sempurna. Rimba mendengar ada tujuh atau delapan temannya yang tertawa sekalipun tertahan. Itu tawa yang mengejek, Rimba menyimpulkan.

Mengikatkan pada tali, menarik pelan sesuai durasi lagu Indonesia Raya bagi Rimba sungguh terasa lama. Peluhnya luruh di wajahnya saat tengadah memandang sang merah putih yang terus menuju puncak tiang bendera. Itu bukan melulu peluh oleh panas matahari dan panas telapak kaki kanan yang tak lagi beralas. Peluh itu juga oleh rasa malu di hadapan semua peserta upacara.

Selesai upacara, wali kelasnya menghampiri dan menepuk-nepuk pundaknya. Namun kalaulah itu dimaksudkan sebagai tepukan hiburan, ia gagal memainkan perannya. Rimba tetap bersedih oleh sepatu yang makin terasa sialan saja.

Seingatnya, ia sudah tiga kali meminta dibelikan sepatu pengganti. Walau tak baru tak apa-apa, asal masih bagus keadaanya. Bukan yang telah sobek di ujung dan tipis dan nyaris lepas alasnya.

Istri Rindang tidak pernah meminta uang belanja, terlebih ia selalu menduga uang Rindang senantiasa tidak berasal dari kerja baik-baik. Baginya, uang yang tidak baik, akan menjadikan apa pun tidak baik karenanya. Ia tidak terima Rimba dibiayai oleh hal yang demikian. Ya makannya, ya sekolahnya.

Sri,” kata Rindang kepada istrinya suatu kali, “aku telah kemana-mana mencari kerja. Ke rumah pak Kartin untuk agar aku diperbolehkan bekerja di penggilingan padi miliknya, tidak menerima tenaga baru, katanya. Bukannya diterima, malah aku dikatai yang macam-macam. Seperti orang terbaik sedunia saja Pak Kartin itu. Padahal orang sekampung kita ini kan tahu, walau susah dibuktikan, bukankah Pak Kartin itu sudah kondang sebagai orang yang memelihara tuyul. Saban hari ratusan bahkan ribuan tuyulnya itu mengambil tabungan orang-orang sekampung. Dan usaha penggilingan padinya itu, hanyalah sebagai penyamaran saja.”

Sri, istri Rindang yang usianya lebih muda sepuluh tahun darinya tetapi terlihat lebih tua limabelas tahun dari usia sebenarnya itu diam. Dan diam, kadang adalah senjata yang sulit ditebak arahnya. Arah diam itu dimaknai Rindang agar ia bekerja tidak ikut orang lain, harus usaha sendiri. Jualan apalah, begitu.

Tapi itu kan perlu modal, Sri,” jawab Rindang terhadap (yang sebenarnya) pikirannya sendiri. Sementara, lanjutnya dalam hati, engkau tidak mengijinkan aku berusaha dengan bermodal uang yang asalnya tidak baik. Aku njur harus piye, Sri?

Atau begini saja”, Rindang menemukan cahaya. Pakai uang atau perhiasan yang disimpannya pada ruang bambu petung itu sebagai modal awal, untuk kemudian bila usahanya berhasil, ia kumpulkan uang haram sejumlah itu untuk dibuang entah kemana. Iya to, apa mesti uang tidak baik itu disumbangkan kepada panti asuhan, itu kan sama halnya menyuapi mulut-mulut yang tidak berdosa itu dengan bangkai busuk...

Ketika pagi itu ia lihat istrinya telah pergi ke pasar untuk menjual tikar yang selesai dianyam tadi malam entah sampai jam berapa, dan si Rimba telah juga pergi ke sekolah hanya bersandal jepit saja dengan tanpa lebih dulu sarapan, Rindang mengambil gergaji untuk memotong tiang palsu di kamarnya yang berisi uang dan perhiasan.

Dibawanya ke dapur bumbung itu. Ia potong dua ruas yang diinginkan; sisi atas tempat uang, sisi bawah tempat ia menaruh emas berbentuk kalung-gelang yang lupa sudah berapa jumlah gramnya. Rindang pikir, lebih dari cukuplah ia kalau dijadikan modal usaha. Buka toko kelontong di depan rumah agar punggung istrinya tidak bungkuk dini gara-gara terlalu lama menganyam tikar. Dan ia sendiri ingin menjadi blantik, jual-beli kambing atau sapi.

Rindang mengayun kapak untuk membelah bumbung tabungannya. Dengan sekali ayunan pada ujung ruas, bambu yang telah kering sempurnya itu setengah terbelah. Dan pada ayunan kedua, terbelah sempurnalah ia.

Rindang terbelalak. Matanya berkunang-kunang. Bayangan ratusan lembar uang seratus ribuan dan berjuntai-juntai kalung-gelang yang bertahun-tahun disembunyikan di dalam bumbung buyar. Bumbungnya kosong. Tiada bekas gerogotan rayap, tidak ada bekas sama sekali.

Gigi Rindang gemeratak, tangan kanannya menggenggam erat pegangan kapak. Dadanya penuh sesak oleh amarah. Dengan membawa kapak, ia melangkah pasti meninggalkan rumah. Ia ingin membuat perhitungan dengan Pak Kartin. *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar