(Dimuat harian Radar Surabaya, edisi Minggu, 16 Agustus 2015)
GESEKAN antar daun bambu yang tertup angin sungguh membuat malam serasa mendesis. Embun turun terlalu dini, membasuh pipi dedaunan. Dingin menggigit setiap tulang, dan Rindang mengusir dingin itu dengan menyulut rokok. Istrinya menganyam tikar mendong di ruang tengah, berteman lampu oblik yang nyalanya meliuk-liuk. Anaknya, namanya Rimba, duabelas tahun, mengaji di surau Mbah Seki. Dan kalau malam Jumat Legi begini, biasanya ia pulang pagi, selepas subuh. Begitulah, sebajingan-bajingannya Rindang, ia ingin Rimba mengerti agama. Agar tidak sebejat ayahnya!
GESEKAN antar daun bambu yang tertup angin sungguh membuat malam serasa mendesis. Embun turun terlalu dini, membasuh pipi dedaunan. Dingin menggigit setiap tulang, dan Rindang mengusir dingin itu dengan menyulut rokok. Istrinya menganyam tikar mendong di ruang tengah, berteman lampu oblik yang nyalanya meliuk-liuk. Anaknya, namanya Rimba, duabelas tahun, mengaji di surau Mbah Seki. Dan kalau malam Jumat Legi begini, biasanya ia pulang pagi, selepas subuh. Begitulah, sebajingan-bajingannya Rindang, ia ingin Rimba mengerti agama. Agar tidak sebejat ayahnya!
Rindang
bajingan?
Oh
itu dulu. Sekarang ia tobat. Sejak Pak Gelam, ketua kelompoknya,
malam-malam dijemput orang-orang berjaket hitam lalu tak kembali
hingga kini. Juga Watam, teman karibnya, yang setelah beberapa hari
menghilang, jasadnya yang dimasukkan karung, ditemukan orang desa
sebelah mengapung di sungai dekat kuburan.
Rindang ingin berhenti dan memulai dari awal untuk menjadi orang baik-baik. Ia ingin mempraktikkan apa yang pernah ia dengar dari haji Udin; miskin lebih terhormat daripada kaya tapi kekayaan itu diperoleh dari kerja yang tidak halal. Lagian, apa sih yang didapat Rindang dari sekian lama bekerja sebagai begal ikut Pak Gelam. Nyaris tidak ada. Bahkan rumah tua berdinding anyaman bambu yang ditinggalinya berama istri dan Rimba ini, adalah peninggalan mertuanya. Karena setiap berhasil, uang hasil begal itu selalu saja ludes untuk foya-foya bersama kelompoknya.
Tetapi
Rindang memikirlan pula tentang hari depan kala ia, misalnya, tidak
punya uang. Makanya ia menabung. Tanpa sepengetahuan siapa pun,
kecuali dirinya dan Tuhan, ia sisihkan uang hasil kejahatan itu.
Tidak di bawah bantal, tidak pula kepada siapa-siapa. Ia membuat
sendiri tempat uang itu dari pring
petung,
bambu yang antar ruas terbilang panjang dengan ukuran diameter yang
lumayan besar. Ia samarkan bambu celengan itu sebagai tiang tambahan
di sudut kamar. Kalau dihitung, dari lantai, letak ruas petung yang
dilubangi untuk memasukkan uang itu adalah tiga dari bawah. Bibir
lubangnya tersembuyi, tersamar oleh baju-baju yang menggantung dengan
paku sebagai cantolannya.
Bukan
satu, tetapi dua ruas sekaligus ia bikin punya mulut untuk memasukkan
uang. Oh, tidak, yang satu ruas lubangnya bundar. Itu, kau kukasih
tahu ya, sebagai tempat ia memasukkan perhiasan. Pandai juga rupanya
Rindang. Tentu, kalau dipikir, bisa jadi kan rayap menyerang bambu
itu dari bawah lalu menghabiskan uang kertas yang disimpan Rindang di
dalam bumbung. Bukankah engkau pernah mengalami ketika buku yang kau
simpan rapi dan kau letakkan di sudut gudang tahu-tahu habis oleh
rayap. Nah, mana bisa rayap membedakan antara uang kertas dan kertas
belaka. Tetapi kalau perhiasan emas, mana mampu gigi rayap
mengunyahnya?
Tak
akan mampu, setakmampu akhirnya Rindang melihat istrinya setia dan
tanpa pernah mengeluh hidup dalam kemiskinan.
“Aku
sekarang ayem,
Yu,” kata istrinya kala Rindang curi dengar ketika berbicara dengan
Yu Tun, kakak iparnya, sementara ia, sekalipun matahari sudah
mentor-mentor
tinggi, tetap bermalasan di kamar setelah semalaman melihat
pertunjukan wayang kulit di balai desa. “Lebih baik begini tetapi
ngumpul, daripada yang dulu. Hatiku tak pernah perhenti ketir-ketir,
khawatir melulu...” sebenarnya ucapan istrinya itu lebih sebagai
setengah berbisik, namun dengan dapur dan kamar yang hanya bersekat
gedhek
begitu, suara desis pelan air yang dijerang pun bisa terdengar dengar
jelas.
Istrinya
terus saja menganyam, dan Ridang tahu, selembar harga tikar buatan
istrinya itu masih kurang untuk membelikan sepatu untuk Rimba. Ya,
sepulang sekolah hari Senin kemarin, ia melihat Rimba menangis. Tidak
menjerit-jerit sih,
tetapi lelehan air mata itu sungguh telah bisa diartikan betapa
malunya Rimba tadi pagi.
Anak
itu bercerita kepada ibunya kalau ia Senin itu kebagian tugas sebagai
pengibar benbera saat upacara. Itu sudah beberapa kali Rimba
melakukannya. Tetapi, kali ini bersama tiga temannya, (satu perempuan
sebagai pembawa bendera sebelum dikibarkan) berjalan tegap menuju
tiang bendera dari pinggir lapangan, pada langkah ke tujuhbelas,
alas sepatunya mulai mengelupas. Sebagai petugas yang dipilih wali
kelas, ia pantang berhenti. Itu upacara, dan berhenti melangkah
sebelum tugas terlaksana sempurna adalah bukan tindakan ksatria.
Pada
delapan langkah sebelum tiang bendera, semua alas sepatu telah
terlepas sempurna. Rimba mendengar ada tujuh atau delapan temannya
yang tertawa sekalipun tertahan. Itu tawa yang mengejek, Rimba
menyimpulkan.
Mengikatkan
pada tali, menarik pelan sesuai durasi lagu Indonesia Raya bagi Rimba
sungguh terasa lama. Peluhnya luruh di wajahnya saat tengadah
memandang sang merah putih yang terus menuju puncak tiang bendera.
Itu bukan melulu peluh oleh panas matahari dan panas telapak kaki
kanan yang tak lagi beralas. Peluh itu juga oleh rasa malu di hadapan
semua peserta upacara.
Selesai
upacara, wali kelasnya menghampiri dan menepuk-nepuk pundaknya. Namun
kalaulah itu dimaksudkan sebagai tepukan hiburan, ia gagal memainkan
perannya. Rimba tetap bersedih oleh sepatu yang makin terasa sialan
saja.
Seingatnya,
ia sudah tiga kali meminta dibelikan sepatu pengganti. Walau tak baru
tak apa-apa, asal masih bagus keadaanya. Bukan yang telah sobek di
ujung dan tipis dan nyaris lepas alasnya.
Istri
Rindang tidak pernah meminta uang belanja, terlebih ia selalu menduga
uang Rindang senantiasa tidak berasal dari kerja baik-baik. Baginya,
uang yang tidak baik, akan menjadikan apa pun tidak baik karenanya.
Ia tidak terima Rimba dibiayai oleh hal yang demikian. Ya makannya,
ya sekolahnya.
“Sri,”
kata Rindang kepada istrinya suatu kali, “aku telah kemana-mana
mencari kerja. Ke rumah pak Kartin untuk agar aku diperbolehkan
bekerja di penggilingan padi miliknya, tidak menerima tenaga baru,
katanya. Bukannya diterima, malah aku dikatai yang macam-macam.
Seperti orang terbaik sedunia saja Pak Kartin itu. Padahal orang
sekampung kita ini kan tahu, walau susah dibuktikan, bukankah Pak
Kartin itu sudah kondang sebagai orang yang memelihara tuyul. Saban
hari ratusan bahkan ribuan tuyulnya itu mengambil tabungan
orang-orang sekampung. Dan usaha penggilingan padinya itu, hanyalah
sebagai penyamaran saja.”
Sri,
istri Rindang yang usianya lebih muda sepuluh tahun darinya tetapi
terlihat lebih tua limabelas tahun dari usia sebenarnya itu diam. Dan
diam, kadang adalah senjata yang sulit ditebak arahnya. Arah diam itu
dimaknai Rindang agar ia bekerja tidak ikut orang lain, harus usaha
sendiri. Jualan apalah, begitu.
“Tapi
itu kan perlu modal, Sri,” jawab Rindang terhadap (yang sebenarnya)
pikirannya sendiri. Sementara, lanjutnya dalam hati, engkau tidak
mengijinkan aku berusaha dengan bermodal uang yang asalnya tidak
baik. Aku njur
harus
piye,
Sri?
“Atau
begini saja”, Rindang menemukan cahaya. Pakai uang atau perhiasan
yang disimpannya pada ruang bambu petung
itu sebagai modal awal, untuk kemudian bila usahanya berhasil, ia
kumpulkan uang haram sejumlah itu untuk dibuang entah kemana. Iya to,
apa mesti uang tidak baik itu disumbangkan kepada panti asuhan, itu
kan sama halnya menyuapi mulut-mulut yang tidak berdosa itu dengan
bangkai busuk...
Ketika
pagi itu ia lihat istrinya telah pergi ke pasar untuk menjual tikar
yang selesai dianyam tadi malam entah sampai jam berapa, dan si Rimba
telah juga pergi ke sekolah hanya bersandal jepit saja dengan tanpa
lebih dulu sarapan, Rindang mengambil gergaji untuk memotong tiang
palsu di kamarnya yang berisi uang dan perhiasan.
Dibawanya
ke dapur bumbung itu. Ia potong dua ruas yang diinginkan; sisi atas
tempat uang, sisi bawah tempat ia menaruh emas berbentuk
kalung-gelang yang lupa sudah berapa jumlah gramnya. Rindang pikir,
lebih dari cukuplah ia kalau dijadikan modal usaha. Buka toko
kelontong di depan rumah agar punggung istrinya tidak bungkuk dini
gara-gara terlalu lama menganyam tikar. Dan ia sendiri ingin menjadi
blantik,
jual-beli kambing atau sapi.
Rindang
mengayun kapak untuk membelah bumbung tabungannya. Dengan sekali
ayunan pada ujung ruas, bambu yang telah kering sempurnya itu
setengah terbelah. Dan pada ayunan kedua, terbelah sempurnalah ia.
Rindang
terbelalak. Matanya berkunang-kunang. Bayangan ratusan lembar uang
seratus ribuan dan berjuntai-juntai kalung-gelang yang bertahun-tahun
disembunyikan di dalam bumbung buyar. Bumbungnya kosong. Tiada bekas
gerogotan rayap, tidak ada bekas sama sekali.
Gigi
Rindang gemeratak, tangan kanannya menggenggam erat pegangan kapak.
Dadanya penuh sesak oleh amarah. Dengan membawa kapak, ia melangkah
pasti meninggalkan rumah. Ia ingin membuat perhitungan dengan Pak
Kartin. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar