Kamis, 13 Agustus 2015

B e n d e r a

KETIKA memasuki bulan Agustus begini, dulu –seperti juga dilakukan tetangga kanan-kiri, Ayah memotong bambu sepanjang sekitar delapanpuluh centimeter. Dengan memasang berjarak per satu meter, Ayah memotong sejumlah yang dibutuhkan. Setelah potongan bambu itu tertancap di pinggir jalan (enam puluh centi yang terlihat), langkah selanjutnya adalah mewarnai bambu itu dengan merah-putih. Untuk putih Ayah menggunakan kapur/gamping dan untuk merahnya menggunakan bahan yang sama dengan hanya menambahkan pewarna/pigmen saja. Dengan bahan sesederhana itu, jangan ditanya keawetannya. Prinsipnya, bisa tidak luntur sebulan Agustus saja, sudah baguslah. Kalau mau awet dan lebih bagus, tentu bisa memakai cat bermerek yang berslogan 'mengubah yang biasa menjadi luar biasa'. Tetapi, zaman itu, memenuhi kebutuhan perut sepertinya lebih utama.

Saya tidak tahu, Ayah memasang bambu merah-putih itu sebagai kesadaran sendiri atau atas perintah Pak Lurah melalui perangkatnya. Tetapi, dengan kanan-kiri di sepanjang jalan desa kami berhiaskan bambu merah-putih begitu, ada sesuatu yang lain terasa. Rasa itu sungguh ada di dada, walau agak sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Tak melulu bambu, saat saya kecil itu, bukan hanya kendaraan besar macam bis, truk atau angkutan pedesaan (orang kampung kami menyebutnya 'taksi' untuk mobil berjenis Colt sebagai moda transportasi bertrayek pendek itu), motor dan sepeda angin pun memasang bendera kecil di setir kanannya. Dengan keadaan ekonomi yang berbeda jauh dengan sekarang, orang-orang mau membeli bendera lalu memasangnya di kendaraannya. Sekarang?

Saat berangkat kerja tadi pagi, dengan sekian banyak pedagang bendera di setiap sudut kota, tak satu pun saya temui motor atau sepeda atau kendaraan besar lain memasang bendera kecil itu pada penyangga spion kanannya. Karena demand  tidak ada, bisa jadi para penjual bendera itu tidak menyediakannya. Itu soal bisnis, sementara memasang bendera pada kendaraan bisa jadi sebagai soal nasionalis. Demi kepentingan nasionalis (dengan memesan bendera kecil untuk dipasang di kendaraan) niscaya penjual bendera akan dengan senang hati memenuhinya. Secara nominal, tak usahnya membandingkannya harga bendera kecil itu dengan sebungkus rokok, misalnya.

Perkara nasionalisme tak harus dikoarkan, yang penting diwujudkan. Masalahnya adalah, jika ada yang berkoar tidak dan mewujudkannya pun tidak itu termasuk makhluk apa. Sebagai yang ikut merasakan susahnya hidup dalam cengkeraman penjajah, dan ikut pula berjuang demi kemerdekaan, tentu para orang tua kita mempunyai alasan lain untuk mencintai negeri ini. Negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Negeri yang sampai ada yang menyebutkan sebagai cuilan sorga ini. Lha saya, sebagai generasi magak --yang jangankan mengangkat senjata, mengangkat cangkul untuk kerja bakti saja cekidang-cekiding  karena jijik membersihkan sampah di selokan padahal itu hasil buangan saya sendiri--, alasan apa yang harus dikedepankan untuk mencintai merah-putih. Sementara para petinggi negeri, yang harusnya memberi teladan, bisa jadi di dadanya ada warna lain yang lebih dominan. Bukan sang saka, tetapi warna biru, merah, kuning, hijau atau warna lain sesuai warna simbol parpol. Atau bukan; tak satu pun warna itu yang selalu berkibar di jiwanya. Namun lambaian rupiah yang senantiasa menjadi pemandu pikiran dan langkah kemana akan terarah. Juga termasuk kitakah itu?

Setelah membuat kalimat terakhir di atas barusan, saya kembali meng-klik file lagu di komputer. Saya memilih Cokelat. Entah mengapa, dari pertama muncul –saat vokalisnya masih Kikan dulu, saya langsung jatuh cinta pada lagu ciptaan Eross Candra ini;

biar saja ku tak seharum bunga mawar
tapi s'lalu ku coba 'tuk mengharumkanmu
biar saja ku tak seelok langit sore
tapi s'lalu ku coba 'tuk mengindahkanmu

merah-putih teruslah kau berkibar
di ujung tiang tertinggi
di Indonesiaku ini.... *****



Tidak ada komentar:

Posting Komentar