KETIKA
memasuki bulan Agustus begini, dulu –seperti juga dilakukan
tetangga kanan-kiri, Ayah memotong bambu sepanjang sekitar
delapanpuluh centimeter. Dengan memasang berjarak per satu meter, Ayah
memotong sejumlah yang dibutuhkan. Setelah potongan bambu itu
tertancap di pinggir jalan (enam puluh centi yang terlihat), langkah
selanjutnya adalah mewarnai bambu itu dengan merah-putih. Untuk putih
Ayah menggunakan kapur/gamping dan untuk merahnya menggunakan bahan
yang sama dengan hanya menambahkan pewarna/pigmen saja. Dengan bahan
sesederhana itu, jangan ditanya keawetannya. Prinsipnya, bisa tidak
luntur sebulan Agustus saja, sudah baguslah. Kalau mau awet dan lebih
bagus, tentu bisa memakai cat bermerek yang berslogan 'mengubah yang
biasa menjadi luar biasa'. Tetapi, zaman itu, memenuhi kebutuhan
perut sepertinya lebih utama.
Saya
tidak tahu, Ayah memasang bambu merah-putih itu sebagai kesadaran
sendiri atau atas perintah Pak Lurah melalui perangkatnya. Tetapi,
dengan kanan-kiri di sepanjang jalan desa kami berhiaskan bambu
merah-putih begitu, ada sesuatu yang lain terasa. Rasa itu sungguh
ada di dada, walau agak sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Tak
melulu bambu, saat saya kecil itu, bukan hanya kendaraan besar macam
bis, truk atau angkutan pedesaan (orang kampung kami menyebutnya
'taksi' untuk mobil berjenis Colt sebagai moda transportasi bertrayek
pendek itu), motor dan sepeda angin pun memasang bendera kecil di
setir kanannya. Dengan keadaan ekonomi yang berbeda jauh dengan
sekarang, orang-orang mau membeli bendera lalu memasangnya di
kendaraannya. Sekarang?
Saat
berangkat kerja tadi pagi, dengan sekian banyak pedagang bendera di
setiap sudut kota, tak satu pun saya temui motor atau sepeda atau
kendaraan besar lain memasang bendera kecil itu pada penyangga spion
kanannya. Karena demand
tidak ada, bisa jadi para penjual bendera itu tidak menyediakannya.
Itu soal bisnis, sementara memasang bendera pada kendaraan bisa jadi
sebagai soal nasionalis. Demi kepentingan nasionalis (dengan memesan
bendera kecil untuk dipasang di kendaraan) niscaya penjual bendera
akan dengan senang hati memenuhinya. Secara nominal, tak usahnya
membandingkannya harga bendera kecil itu dengan sebungkus rokok,
misalnya.
Perkara
nasionalisme tak harus dikoarkan, yang penting diwujudkan. Masalahnya
adalah, jika ada yang berkoar tidak dan mewujudkannya pun tidak itu
termasuk makhluk apa. Sebagai yang ikut merasakan susahnya hidup
dalam cengkeraman penjajah, dan ikut pula berjuang demi kemerdekaan,
tentu para orang tua kita mempunyai alasan lain untuk mencintai
negeri ini. Negeri yang katanya gemah
ripah loh jinawi
ini. Negeri yang sampai ada yang menyebutkan sebagai cuilan sorga
ini. Lha
saya, sebagai generasi magak
--yang jangankan mengangkat senjata, mengangkat cangkul untuk kerja bakti saja cekidang-cekiding karena jijik membersihkan sampah di selokan padahal itu hasil buangan saya sendiri--, alasan apa yang harus dikedepankan untuk
mencintai merah-putih. Sementara para petinggi negeri, yang harusnya
memberi teladan, bisa jadi di dadanya ada warna lain yang lebih
dominan. Bukan sang saka, tetapi warna biru, merah, kuning, hijau
atau warna lain sesuai warna simbol parpol. Atau bukan; tak satu pun
warna itu yang selalu berkibar di jiwanya. Namun lambaian rupiah yang
senantiasa menjadi pemandu pikiran dan langkah kemana akan terarah. Juga termasuk
kitakah itu?
Setelah
membuat kalimat terakhir di atas barusan, saya kembali meng-klik file
lagu di komputer. Saya memilih Cokelat.
Entah mengapa, dari pertama muncul –saat vokalisnya masih Kikan dulu,
saya langsung jatuh cinta pada lagu ciptaan Eross Candra ini;
biar
saja ku tak seharum bunga mawar
tapi
s'lalu ku coba 'tuk mengharumkanmu
biar
saja ku tak seelok langit sore
tapi
s'lalu ku coba 'tuk mengindahkanmu
merah-putih teruslah kau berkibar
di ujung tiang tertinggi
di Indonesiaku ini.... *****
merah-putih teruslah kau berkibar
di ujung tiang tertinggi
di Indonesiaku ini.... *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar