-->
TEBAKAN sampeyan betul, judul di atas saya jiplak dari
title lagu lawas Doel Sumbang yang berduet dengan Nini Karlinna dan
sempat kondang di tahun 80an; Kalau Bulan Bisa Ngomong. Dan
ngomong-ngomong tentang lagu 80an, saya juga suka lagu-lagunya
Bill&Brod-nya Arie Wibowo yang selalu berkacamata hitam,
bertopi, dan Nyong Anggoman dengan rambut kribo yang senantiasa
sambil nyangklong keyboard itu. Sebutlah misalnya Madu dan Racun,
Angin Sorga (duet bareng Ervinna yang asli arek Suroboyo) dan
juga Singkong dan Keju.
Untuk Singkong dan Keju, liriknya ringan khas Arie Wibowo
dengan musikalitas yang selalu bernada gembira, bercerita tentang
kesenjangan. Dengarlah ini; aku suka jaipong, kau suka disco, aku
suka singkong kau suka keju...
Jelas, yang dimaksud adalah antara yang berpunya dengan yang tiada.
Antara si miskin dan si kaya (eh, kok seperti judul sebuah sinetron
ya?) Tetapi selalukah begitu? Padahal bukankah sering kita dapati
pada penjual gorengan (mungkin juga dijual oleh sahabat Efbi saya,
mas Samsul Hadi di Samarinda sana) memadukan antara keduanya. Ia
ditampilkan sebagai singkong keju. Yang ketika kita mengunyahnya
terasa meduk dan empur.
Ya, inilah maksud saya. Saya sedang tak hendak membahas lagu tahun
80an. Tetapi tentang singkong. Bisa-bisa umbi yang dalam nama latin
disebut manihot utissima ini bernama lain di daerah sampeyan.
Tak perlulah mengambil contoh jauh-jauh misalnya di Sunda bernama
sampeu, di Toli-toli menjadi kasubi atau di Sangihe
berjuluk bungkahe. Di sini-sini saja ada banyak nama lain.
Bagi istri saya yang asli LA, (atau di daerah mbak Wina Bojonegoro
yang novelis itu) ia disebut menyok. Ada pula yang
memanggilnya sebagai kaspe. Dan di Banyuwngi sana ia dibilang sawi.
Tetapi, apa arti sebuah nama, kata Shakespeare. Dan saya berharap
sampeyan setuju kita menyebut ditulisan ini dengan satu nama
saja; singkong. Tetapi ada apa dengan singkong?
Untuk perkara karbohidrat jangan remehkan singkong. Ia termasuk kaya.
(Menurut data yang pernah saya baca, dalam setiap 100 gram singkong,
34 gram yang dikandungnya adalah karbohidrat.) Walau untuk kandungan
protein ia teramat miskin. Karena berkarbohidrat yang banyak pula,
mungkin, ketika ibu saya dulu sedang hanya punya dua genggam beras
sementara anaknya segudang, dengan telaten beliau mencacah singkong
menjadi kotak-kotak kecil untuk dimasak secara duet dengan beras.
Jadilah nasi kami berhias singkong. Atau, karena komposisi
singkongnya lebih mendominasi, jadilah nasi singkong berhias beras.
Mana peduli kami tentang itu, yang penting perut kenyang.
Sebagai teman makannya, ibu memasak sayur bening bayam, yang
(lagi-lagi) dikombinasi dengan irisan singkong yang berbentuk kubus
seukuran dua kali dua centimeter. Belum cukup sampai disitu, dipiring
masih ada perkedel dan sambal goreng yang juga dari singkong. Dan
kerupuknya, bisa sampeyan tebak, pun berasal dari benda yang
sama. Padahal, untuk dijadikan kerupuk saja, masih ada yang namanya
samiler (tentang ini pernah pula saya membuat catatan pada Januari yang lalu)
Sudah?
Belum. Karena, singkong yang pertama kali masuk ke Indonesia dibawa
oleh bangsa Portugis dari tanah Brazil pada abad ke 16 ini, bisa
dibuat aneka penganan dengan banyak sekali jenis dan namanya. Mari
iseng-iseng mengulitinya satu persatu: kalau ia dijemur sampai kering
berubah nama menjadi gaplek, kalau kemudian gaplek ini dtumbuk halus
dan ditanak, ia akan menjadi nasi tiwul. Si tiwul ini kalau ditumbuk
kemudian diiris tebal dan dimakan pakai parutan kelapa dan juruh
gula merah, ia menjadi kicak. Yang namanya gatot pun berasal dari si
gaplek ini.
Singkong dimasak diberi ragi menjadi tape; tape diolah sedemikian
rupa menjadi suwar-suwir (makanan khas tanah tumpah darah saya,
Jember). Singkong direbus lalu ditumbuk dan dibubuhi gula akan
menjadi getuk. Getuk digoreng bulat-bulat menjadi bandem (berbeda
dengan jemblem yang diparut lalu digoreng dengan gula di bagian
dalamnya), diparut dikasih gula (dan dibungkus daun pisang laiknya
nagasari) ia menjadi utri.
Tentu ada yang hanya direbus, lalu diiris tipis-tipis, dijemur, kalau
sudah kering digoreng menjadi disebut gliti. Lebih tidak rumit dari
itu, singkong mentah diiris tipis lalu digoreng menjadi kripik.
Seperti halnya singkong yang punya nama lain di daerah sampeyan,
ia pun tidak menutup kemungkinan dijadikan panganan yang belum masuk
dalam catatan saya diatas. Untuk itu, kalau sampeyan tidak
keberatan, silakan menambahinya disini. Dan lebih afdol lagi, agar
saya turut bisa merasakannya, silakan sampeyan mengirimi
makanan yang dimaksud kealamat saya. Serius ini.
Saya tunggu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar