Jumat, 04 November 2011

Dari 'Menyok' sampai 'Serempetan'


MBARUS, nak. Ayo mbarus sini,” begitu seorang paman menyambut kedatangan saya ketika suatu sore saya bertandang kerumahnya..

Mbarus? Saya tak tahu apa artinya. Tapi melihat nadanya, itu sebagai kata mempersilakan. Tepatnya, mempersilakan saya masuk. Pinarak, menurut kosa kata saya.

Begitulah, ketika sejak tinggal di rumah mertua di desa Mayong Karangbinangun, Lamongan, dua belas tahun lalu, ada banyak kata yang harus saya cari padanan maknanya. Karena, penyebutan sesuatu sungguh beda jauh dengan bahasa yang saya pakai di Jember sana.

Contohnya; di Mayong sini, orang menyebut menyok untuk ketela pohon. Saya menamainya 'telo'. Cak Tris, teman saya yang asal Banyuwangi, menyebutnya 'sawi'. Padahal di Malang, kalau tidak salah, 'telo' berarti ubi jalar. Nah, di Lamongan, ubi jalar itu disebut 'bolet'. Dan bapak saya bilang, 'saBBrang' untuk makhluk yang sama. Tentu dengan intonasi yang sedemikian rupa karena memang diucap dalam bahasa Madura.

“Ketela pohon kok sawi. Lha kalau sayur sawi dibilang apa dong?” tanya saya suatu kali.

Sawen,” jawab cak Tris.

Beda nama satu benda tentu tidak berhenti sampai disitu. Sayur bulat besar panjang warna putih agak kuning kehijauan, ibu saya bilang itu blonceng. Istri saya mengenalnya sebagai 'kenthi' dan teman lain menyebutnya waluh putih. Baginya, blonceng adalah yang bukan itu, tetapi yang sering orang pakai sebagai bahan manisan. Buah bulat besar , dengan batang menjalar itu, saya tahu adalah 'bligo'.

Contoh lain, kalau mau direntang akanlah sangat panjang. Cak Paiman, teman saya yang asal desa Sukolilo, Prigen, Pasuruan, selalu serempetan kalau akan ke masjid atau yasinan. Serempetan motor? Oh, tentu tidak. Karena, saya juga sering begitu bila melakukan hal yang sama. Tetapi untuk hal yang sama saya mengistilahkan 'bebetan'.

Ya, sampeyan betul; bagi cak Paiman, serempetan itu adalah sebutan untuk orang yang memakai sarung.*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar