Rabu, 16 November 2011

Hari Baik dalam 'Klenik' (1)


UNTUK banyak urusan, masih saja ada yang percaya pada klenik. Ada saya jumpai, seorang pengusaha sukses, berwawasan modern, tetapi ketika menggelar acara ditempat terbuka, ia masih kurang PD bila tidak menggunakan pawang hujan. Itu dianut orang kota yang notabene pola pikirnya sangat maju. Apalagi bagi bapak saya didesa sana. Maka, klenik never die...

Untuk urusan memotong pohon bambu sebagai bahan bangunan rumah saja, orang didesa saya harus memilih hari baik. Karena, menurut mereka, bila memotong bambu disembarang hari tanpa perhitungan yang matang, sungguh bambu itu akan cepat rusak. Agak sukar diterima akal, tetapi begitulah kepercayaannya.

Saya, sekalipun tak pinter-pinter amat, tetapi sekaligus tidak ndeso-ndeso amat, sangatlah tidak mengerti perhitumgan Pon-Kliwon dan hari-hari baik lainnya. Tetapi, ketika menikah dulu, saya juga dicarikan hari baik. Alhamdulillah, sampai sekarang, rumah tangga saya tak pernah diliput dan digossipkan di infotainment. Hehehe, lha memang bukan selebritas!

Ketika Edwin minta kamar sendiri sementara rumah saya selama ini masih 'setengah badan' (baca: cuma mampu membangun bagian belakang saja), maka --karena si kamar masih 'tidur'-- saya harus membangunkan dulu. Konsepnya minimalis sekali. Sesuai kapasitas dompet saya yang memang selalu minimalis.

“Tanya mbah Kung dulu. Hari baik untuk bangun kamar itu kapan,” istri saya ber-klenik-ria.

Ketika mudik lebaran kemarin, mbah Kung memberi ancer-ancer. Bulan apa saja, yang penting kalau ketemu Kamis Pahing, Jumat Pon, Sabtu Wage dan Minggu Kliwon itu baik semua.

Baiklah. Ternyata hari-hari itu di bulan Syawal tukangnya masih menggarap tempat lain. Sementara di bulan Sela, pak tukang pantangan memulai membangun rumah. Maka, pilihan disepakati pada bulan Besar. Kamis Pahingnya bertepatan dengan tanggal 10 Nopember. Bertepatan dengan hari Pahlawan. Wah, benar-benar hari baik ini.

“Hari baik itu kalau pas punya uang. Sekalipun Kamis Pahing atau Minggu Kliwon tetapi kalau tidak ada duit, ya tidak bagus memulai bangun rumah,” celetuk kakak saya ketika itu.

Ya, uang.
Untuk keperluan belanja material dihari pertama pembangunan kamar Edwin, pagi-pagi sekali saya ambil sejumlah uang di ATM bank Permata di JS Plasa (dulu Sinar Jemursari). Saya berencana menarik tiga juta rupiah. Dan karena mesin ATM hanya membatasi 1,5 juta dalam sekali pengambilan, saya bagi menjadi dua kloter. Kloter pertama sukses mendarat dengan selamat ditangan saya. Giliran 1,5 juta kedua, setelah bunyi laiknya uang akan muncul dan tangan saya siap didarati kloter kedua, tiba-tiba mulut ATM tertutup rapat. Malah menjulurkan struk transaksi yang sudah kepotong. Nah lho!

Ini dia. Saya agak panik. Uang satu setengah juta, men...
Sementara untuk menghubungi call centre yang menempel dimesin ATM, saya juga ragu. Jangan-jangan itu hasil tempelan tangan nakal seperti sering (dulu) diberitakan televisi. Tetapi, ya harus ada yang saya hubungi saat itu juga. Karena untuk ke kantor bank bersangkutan di jam setengah enam pagi begitu, mana ada yang buka!

Padahal ini hari pilihan. Tetapi kenapa justru saya mengalami hal tidak baik malah dihari baik?

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar