Senin, 07 November 2011

Setor Tunai


KANTOR capem bank ini mempunyai tiga teller. Satu khusus BG dan sejenisnya, yang dua untuk transaksi tunai. Untuk non tunai cenderung sepi, tetapi tidak demikian dengan yang tunai. Antrean mengekor lumayan panjang. Tetapi saya lihat teller 2 lebih pendek ekornya ketimbang teller 3. Kesitulah saya bergabung. Berdiri persis dibelakang lelaki seusia saya dengan sandal jepit dan jaket kumal. Ia menyandang tas yang tak kalah kumalnya.

Setelah beberapa menit, saya sudah berada di urutan ketiga. Si teller sedang melayani seorang wanita muda yang wajah dan penampilannya membikin ruang yang sudah sejuk ini menjadi makin sejuk. Ramah sekali sang teller melayaninya. Dan, dari nada bicaranya, sepertinya mereka memang sudah saling kenal. Sambil menghitung setoran tunainya yang lumayan banyak, mereka terus saja tertawa-tawa. Begitulah, wanita kalau sudah akrab, selalu saja bikin ramai.

Akhirnya selesai sudah. Beberapa bendel uang seratus ribuan dan lima puluh ribuan masuk ke laci teller. Harum parfumnya semerbak ketika wanita cantik itu beringsut keluar dari antrean dan berjalan aduhai disamping saya. Sekarang si lelaki kumal itu maju ketampil.

Tetap dengan ramah sang teller menyambut. Senyum dan salam meluncur standard front liner. Hebat betul para teller itu. Tak peduli berpenampilan bagaimana, si nasabah selalu mendapat sambutan ramah.

Lelaki kusut itu menyodorkan selembar slip transaksi. Dari warnanya saya tahu, ia akan setor tunai. Kertas itu sewarna dengan yang sedang saya pegang. Pada nominal yang saya tulis, tertera angka tiga ratus ribu rupiah. Bagi saya, itu angka yang lumayan tinggi sebagai nilai tabungan per bulan.

Saya melirik jam dinding. Menurut perkiraan, tak lebih dari sepuluh menit lagi pasti transaksi saya sudah selesai. Dan segera kembali ke tempat kerja. Karena, masih menurut dugaan saya, paling-paling lelaki kumal itu juga akan setor sekitar nominal saya.

Saya sudah merogoh saku dan mengeluarkan enam lembar uang lima puluh ribuan ketika lelaki kumal itu juga mengeluarkan isi ransel bututnya. Isinya? Bikin dompet saya  semaput!

Saya mendengus pelan. Melirik antrean di teller 3 yang masih mengular. Lirikan berikutnya, jam dinding yang menjadi sasaran. Alamat terlambat balik kantor, nih, batin saya.

Pasalnya, isi perut tas kumal itu uang berjejal-jejal. Penuh. Jauh diatas nilai uang yang saya genggam sampai keringetan ini. Dan, uang lelaki itu terdiri dari aneka nominal. Bisa dibayangkan, butuh waktu lama si teller untuk 'membereskannya'.

Tak perlu mencari tahu itu uang sendiri atau hanya disuruh majikannya, hari itu, dikantor capem bank itu, saya benar-benar membuktikan kebenaran dari sebuah pepatah. Jangan menilai buku hanya dari sampulnya.

Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar