Senin, 07 November 2011

Gelitik Money Politic


SESERU-SERUNYA Pileg ( tentu sampeyan paham ini bukan nama penyakit, hehe...), pilbub, pilgub, pilpres dan pil-pil yang lain, bagi saya, tidak bisa mengalahkan keseruan pemilihan kepala desa. Ini karena dalam pemilihan kades, ada perang yang lebih tegang. Hubugan emosional yang lebih kental adalah penyebabnya.

Bandingkan, coba, dengan caleg, cabub, cagub dan ca-ca yang lain yang tiba-tiba pasang benyak poster didesa-desa, lalu kemudian sok akrab dengan orang kampung. Sebuah jalinan hubungan yang instan untuk sebuah tujuan yang tidak kalah instan.

Sebagai cakades, pilkades lebih dari itu.
Tiap hari kita sudah tahu solahnya. Tahu tabiatnya. Tahu track record-nya. Jadi, untuk menjadi kades, masa kampanye yang sesungguhnya adalah sepanjang masa. Bukan ujug-ujug. Tidak instan.

Tetapi untuk urusan 'peluru' (baca: money politic) dalam pemilihan kades juga bisa sebagai penentu kemenangan. Oh, rupanya gelitik money politic sudah sedemikian hebatnya di negeri ini. Siapa yang mencohtohkan, tentu sampeyan sudah pada tahu.

Siapa bilang pileg gak pakai itu? Siapa bilang pilpres tidak begitu? Siapa bilang cagub, cabub tidak melakukannya? Ha?

Pilkades sekarang memang sudah sedemikian maju. Tidak memakai gambar buah atau palawija untuk lambang para calonnya. Sudah pakai poster. Dan, barangkali, juga pakai konsultan politik yang sengaja dibayar untuk me-manage segala pola kampanye demi sebuah kemenangan.

Suatu hari saya kedatangan tamu. Ia adalah seorang tim sukses dari satu diantara dua calon yang maju pada pilkades didesa saya. Walau ia pandai membumbui ucapan mukadimahnya pada pertamuan itu, saya sudah bisa menebak tujuannya. Ia ingin saya bisa menggiring seluruh keluarga saya untuk mencoblos calon yang 'dipegangnya'. Lumayan kan, ditambah adik ipar dan mertua dan istri saya, kami mempunyai empat suara. Dalam pemilihan secara langsung begitu, sesuara pun begitu berharga. Dan bisa jadi menjadi penentu sebuah kemenangan

Tetapi untuk bisa sesuara, tentu harus tahu sama tahu. Harus tidak gratis. Oh, ini bukan pakem saya. Tetapi sang tim sukses itu yang punya pandangan begitu. Maka, malam itu sesuara ia hargai 25 ribu. Kali empat, berarti seratus ribu telah berpindah ke tangan kami.

Sekian hari kemudian, datang lagi tim sukses dari calon yang satunya. Sama, ia juga pinter banget memoles 'jualannya'. Yang dibilang, si calon masih ada hubungan famili dari nenek mertua saya, dan mecam-macamlah. Pokoknya yang baik-baiklah yang dibilang. Namanya juga kampanye. Dan ujung-ujungnya, ini dia; uang. Lumayan, selisih sepuluh ribu lebih besar ketimbang calon yang satunya.

Tetapi keputusan ada ditangan kami. Paling tidak ditangan saya.
Karena saya bukan orang asli desa ini, tentu secara emosional hubungannya tidak begitu kental. Lain halnya bagi istri, adik dan mertua saya. Sungguh, walau telah kena money politic, saya tetap harus menentukan pilihan secara rasioanal..


Tibalah saatnya pemilihan. Sejak malam, suhu politik makin mendidih. Ada yang rela tidak tidur semalaman agar bisa melihat 'pulung' cemlorot jatuh ke atas rumah calon yang mana. Karena, beberapa orang percaya, cahaya yang jatuh keatas rumah itu bisa sebagai petunjuk si calon akal jadi. Walau begitu, sebagai penentu tentu jumlah suara yang diperoleh.

Setelah nama saya dipanggil, dengan mantap saya menuju bilik suara. Dua calon terlihat duduk gagah ditengah pendopo balai desa. Saya memandang keduanya dengan tatapan hormat. Tetapi harus saya tentukan memilih siapa. Yang ngasih 25 ribu atau yang 35 ribu?

Didalam bilik suara, saya tentukan nasib keduanya. Jus, juuusss. Beres. Kertas suara saya lipat lagi. Saya masukkan kotak suara. Lega sudah rasanya. Tinggal menunggu penghitangan suara selepas jam satu siang nanti.

“Bapak tadi milih siapa?” si Edwin, anak sulung saya, bertanya.

Karena ia masih kecil, masih belum cukup umur untuk saya kasih tahu. “Rahasia,” kata saya.

Tetapi, sesampainya dirumah, dan ditanya istri, saya lebih berani terbuka. Padahal seharusnya pilihan adalah tetap rahasia.

“Sekalipun ngasihnya cuma 25 ribu, ia secara famili masih lebih dekat kita, lo,” istri saya berkata.

Tangkapan saya, tadi ia nyoblos yang itu. Dugaan berikutnya, adik ipar dan emak mertua saya sepertinya setali tiga uang.

“Kasihan,” gumam saya.

“Jadi sampeyan nyoblos yang ngasih 35 ribu?!” istri saya penasaran.

“Tidak.” jawab saya.

Istri saya lega mendengarnya.

“Biar adil, Aku coblos dua-duanya.” lanjut saya*****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar