Sabtu, 05 November 2011

C e l u r i t


KANG, boleh aku minta waktu sampeyan sebentar saja,” pinta mas Bendo.

Walah, ketempelan setan darimana kamu kok menjadi sedemikian sopan kepadaku?” sembur kang Karib.

“Aku akan membaca puisi, kang,” mas Bendo menjelaskan.

“Puisi?” tanya itu dilempar kang Karib disertai tawa berderai.

“Orang mau baca puisi kok diketawai, sampeyan ini piye to, kang?”

Mak cep. Kang Karib berhenti tertawa. Ia melihat ada kesungguhan disorot mata mas Bendo. Ia menjadi tidak tega mnelantarkan sebentuk kejujuran yang dijulurkan raut wajah sahabatnya ini.

“Maaf, nDo,” kata kang Karib kemudian. “Kamu akan baca puisi tentang apa?”

Masih dengan raut wajah dan sorot mata yang sama, mas Bendo menjawab, “Celurit.”

“Celurit?!”

Mas Bendo mengangguk. “Ini tentang benda tajam, kang. Jangan main-main tentang celurit. Bisa kualat.”

Wih, edan tenan. Sore yang redup oleh mendung, mendadak bergairah oleh ucapan mas Bendo barusan. Celurit bisa bikin kualat?

“Itu, si Bripto Eko Ristanto buktinya. Ia terlalu berani main-main dengan celurit. Akibatnya, ia malah dijerat pasal 338 KUHP.”

Wih. Ketempelan roh halus darimana ini, kok si Bendo ngomong pakai bawa-bawa pasal KUHP segala, batin kang Karib.

“Kita haruis berani berteriak, kang,” sambung mas Bendo kemudian. “Kita harus berani berteriak akan segala yang tidak benar. Ini demi HAM. Ini demi keadilan dan kemanusiaan.”

Sampai kalimat itu, kang Karib paham. Mas Bendo sedang mengoceh tentang kematian ustad Solikin, guru ngaji asal desa Sepande, Candi, Sidoarjo. Yang mula-mula terlibat laka-lantas; menyerempet Briptu Widianto pada Jumat dini ahri lalu (28 Oktober 2011). Karena kalut, sang ustad malah tidak berhenti. Dan dikejar oleh teman-teman Briptu Widianto. Mereka adalah Briptu Eko, Aiptu Agus, Bripka Dominggus, Briptu Iwan, dan Briptu Siswanto.

Dalam pengejaran itu terjadilah penembakan itu. Selain melakukan tembakan peringatan keatas dan ke arah mobil ustad Solikin, juga si Briptu Eko mengarahkan pistolnya ke arah tubuh sang ustad. Akibatnya fatal. Si ustad meninggal.

“Coba, gak ada yang teriak-teriak, dan keterangan Briptu Eko bahwa ustad Solikin melawan pakai celurit ditelan mentah-mentah, pasti kasus ini tenggelam ditelan bumi kan, kang?”

“Jaman sudah beda ya, nDo.” sahut kang Karib.

“Betul, kang. Beda dengan jaman ketika kasus si Udin. Wartawan yang dibunuh di Bantul beberapa tahun lalu,” jawab mas Bendo.

“Tentang celurit yang bikin kualat itu bagaimana?” kang Karib mengingatkan.

Lha itu. Mana ada ustad pergi antar-jemput buruh pabrik bawa senjata tajam begitu. Padahal si Solikin itu, selain ustad, merangkap jabatan hanya sebagi penjual tempe. Walau pertamanya, pihak Polres Sidoarjo mengatakan Solikin melawan pakai celurit, belakangan terbukti itu hanya akal-akalan si Briptu Eko saja. Dan, celurit itu terbukti malah punya Briptu Eko sendiri.”

“Letak kualatnya dimana, nDo?”

“Kalau pertamanya ia hanya dijerat pakai pasal 339 tentang kelalaian yang mengakibatkan meninggalnya ustad Solikin, gara-gara kebohongannya terungkap, ia kecemplung ke pasal 338 tentang pembunuhan. Bukankah itu kualat, kang?”

“Kita tunggu saja proses hukum selanjutnya, nDo.”

“Tidak hanya menunggu, kang. Kita harus pelototi. Harus digelar transparan dan seadil-adilnya.” masih dengan menggebu mas Bendo menimpali.

“Iya, begitu maksudku. Tetapi, ngomong terus, kapan kamu baca puisinya?”

“Iya. Sampai lupa,” mas Bendo nyengir. Lalu berdehem-dehem melemaskan tenggorokannya.

'Serius amat. Memangnya kamu mau baca puisinya siapa?” tanya kang Karib.

“D. Zamawi Imron.”

Oh, itu penyair yang berjuluk si Celurit Emas. Kang Karib menduga, mas Bendo akan membaca puisi berjudul sama; Celurit Emas. Tetapi,

Meditasi Celurit, karya D. Zamawi Imron...” suara mas Bendo merobek selembar sore yang dingin.

Kang Karib diam ketika mas Bendo mulai khusuk membaca puisi. Kang Karib keliru, ternyata mas Bendo tidak membaca Celurit Emas, tetapi Meditasi Celurit.



Memang pahit, guru. Rasa pohonan itu
Buah benih-benih yang dulu kutanam sambil berlayar
Pada ubun-ubun gelombang

Lewat isyarat senja
yang bercermin pada telaga
Kubur hanya tempat
Bukan kiblat

Guru!
Gigir celurit harus kupanjat
Agar kucicipi puncak pahitmu

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar