“KERJA di pabrik mana?” haji
Rosyid, atau yang di kampung akrab disapa Abah Sate, yang asal Madura itu
bertanya lagi saat saya bilang lebaran ini saya harus masuk kerja.
“Seperti di pabrik Kedawung ya,
mesinnya kan tidak boleh sampai mati. Jadi harus ada yang masuk
sekalipun hari raya,” Cak Kozin, yang kebagian tugas sebagai
petugas keamanan kampung selama ditinggal mudik penghuninya,
menimpali.
Begitulah. Tetapi saya tidak lantas
menyebutkan apa sebenarnya pekerjaan saya. Kalaulah saya diuber oleh
pertanyaan yang lebih menjurus, saya juga telah menyiapkan
jawabannya; saya bekerja di perusahaan jasa. Jasa apa? Nah, jasa apa
yang tugasnya antara lain membetulkan kunci, menambal plafon yang
berlubang karena kondensasi pipa AC dan sebagainya. Wis-lah. Sampeyan
jangan ikutan detail-detail nanyanya.
Karena harus segera berangkat kerja,
seturun shalat Ied saya langsung berkunjung ke tetangga. Tak terlalu
banyak sih. Karena sebagian besar tetangga sedang mudik
merayakan lebaran di kampung halaman. Jadi ketahuan sekarang,
ternyata orang asli Surabaya di sekitar rumah saya ini tidak
seberapa. Sebagai kampung yang berdekatan dengan kawasan industri,
sebagian besar penghuninya adalah para pendatang. Dan sekarang, yang
sebagian besar itu sedang pulang kampuang.
Setelah unjung-unjung ke
tetangga, saya berangkat kerja. Jalanan, karena hari raya, tentu tak
seperti biasanya. Jalan A. Yani yang biasanya tiada hari tanpa
kepadatan, pagi itu cenderung lengang-ngang. Di dekat Royal Plaza yang
biasanya ruwet sampai menjelang rel KA di dekat RSI, juga lancar
jaya. Tetapi ada juga terbersit perasaan khawatir. Hal ini sebenarnya
sebagai ketakutan akan mengalami kejadian seperti yang saya alami
sekian lebaran yang lalu. Yakni ketika ban motor saya bocor. Tukang
tambal ban yang biasanya antara satu dan lainnya berjarak tak
seberapa jauh, saat lebaran mereka jarang yang buka praktik. Banyak
di antara mereka yang ikutan mudik. Kalau sampai mengalami ban kempis, bisa-bisa menuntun kendaran mencari tukang tambal ban sampai napas kembang-kempis.
Saling mengunjungi seturun sholat ied,
itu sudah biasa. Tetapi bagaimana kalau sudah berlebaran (dalam arti;
saling kunjung-mengunjungi untuk bermaafan) di malam takbiran? Hal
yang bagi saya termasuk asing ini pertama kali saya alami sekitar 14
tahun yang lalu. Saat dimana pertama kali saya berlebaran di kampung
halaman istri.
“Tidak ikut aku,” kata saya saat
itu. “Ini masih takbiran, belum lebaran, belum afdol untuk
saling bermaaf-maafan,” saya beralasan.
“Ya, sudah. Kalau Sampeyan
unjung-unjung-nya besok, berarti sendirian,” istri saya lalu
berangkat unjung-unjung ke sanak-kerabat.
Benarlah adanya; paginya, seturun
sholad ied, suasananya tidak seperti di kampung asal saya di Jember
sana. Di kampung istri saya, di sebuah desa yang masuk wilayah
kecamatan Karangbinangun, LA, itu tidak umum orang beranjangsana di
waktu siang di hari raya. Karena bersilaturrahim saling
maaf-memaafkan telah dituntaskan di malam takbiran, paginya –bagi
saya-- suasana tidak seperti sedang lebaran. Terbilang sepi, nyaris semua
orang duduk manis menonton televisi sambil ngemil makan jajan di rumah masing-masing.
Karena tidak ingin mengulangi
unjung-unjung bermaafan seorang diri, kalau pas lagi
berkesempatan berlebaran di kampung istri dan sedang tidak jatahnya
incharge masuk kerja, saya ikutan bersilaturrahim di malam
takbiran. Namun untuk orang-orang terdekat di rumah; mertua,
kakek-nenek dan anak-anak serta istri, saya tetap lebih sreg melakukan acara
maaf-maafan di pagi hari, beberapa saat setelah turun dari shalat
ied.*****
pengalaman baru dan unik, Mas
BalasHapus