Sabtu, 28 Januari 2012

Dukun Edan dan Maling tak Tahu Diri


INI cerita lama. Tentang maling. Baiklah saya mulai saja. Begini; suatu hari. Malam itu sekitar jam dua. Saya yang tidur dirumah teman, dimalam sedini itu bermaksud pulang untuk makan sahur. Ya, ingat saya. Saat itu memang lagi bulan puasa. Sesampainya disebuah gang, saya menoleh keselatan; saya lihat ada tiga orang berjalan agak tergesa. Karena langkah itu tak bersuara, saya kira mereka bertelanjang kaki saja. Sarung yang dililitkan kebadan dan kepala hanya menyisakan celah kecil dibagian mata, mengingatkan akan pengalaman masa kecil ketika main ninja-ninjaan di musholla.


“Mau kemana?” tanya salah seorang dari mereka. Detik itu praktis saya dilingkari mereka. Dengan bonus dua mata saya disorot lampu senter yang sengaja hanya bersinar kuning seperti baterainya hampir habis. 


“Mau sahur," jawab saya.

Seorang yang menginterogasi saya itu memamerkan yang sedang dipegangnya. Dari bentuk dan kilapnya saya tahu, itu sebilah celurit. Tetapi sorot lampu senter itu membuat mata saya akhirnya blolo'en juga. Saat itulah sang interogator pamit dan meninggalkan pesan, “sudah, kalau mau sahur ya sahur sana. Dan jangan bilang siapa-siapa kalau kamu ketemu kami."

Lalu mak-krosak, plas. Seperti setan mereka menghilang ditelan rimbun tanaman kunyit.. Meninggalkan saya dengan mata yang berkunang-kunang, hanya terbayang warna merah kekuningan. Pencuri memang tak tahu diri, bulan puasa begitu masih saja beroperasi.

*****

Masih tentang maling. Dan, seperti biasa, tentu saya lupa kapan pastinya peristiwa ini terjadi, (yang jelas sudah lama, lama sekali. Ada kalau duapuluh lima tahun lalu), sepulang saya dari jamaah sholat maghrib di mushollanya pak Gudel (jangan tertawa, memang begitu ia dipanggil. Sekalipun nama yang sebenarnya adalah Sudirman. Satu lagi, beliau pula yang menyematkan nama wadanan untuk saya; Bendo. Hanya gara-gara ketika tengah malam saya dan beberapa teman luru buah bendo yang rasanya bila disangrai segurih kacang). Eh, sampai mana tadi? Ohya, sepulang dari jamaah sholat di musholla tetangga itu, saya mendapati rumah Woko dikerubuti banyak orang.

“Tivinya dicolong orang,” seseorang menjawab ketika saya tanya.

Saya lihat si Woko memamerkan wajah panik. Bukan opamer sih, memang panik bertulan. Sebuah tivi empat belas inchi adalah harta yang terbilang lumayan berharga ketika itu. Karena hanya sedikit orang kampung kami yang memiliki. Hanya orang-orang tertentu saja. Sementara orang lain, termasuk saya ini, hanya nunut saja menontonnya.

Orang menyisir sekitar pekarangan Woko. Asumsinya, si tivi itu masihlah belum dibawa jauh. Pasti masih disembunyikan disela-sela tanaman kunyit yang berdaun setinggi lutut. Ini bisa dipahami, saya kira. Karena ini masih sore sekali. Maghrib masih baru saja. Kemungkinan kronologisnya begini; si maling pura-pura bertamu, tetapi ketika uluk salam tidak ada yang menjawab, masuklah ia keruang tamu. Dan tivi itu lalu diembat.

Mencari disekitar rumah tak juga ketemu, beberapa orang berinisiatif meminta petunjuk ke 'orang pintar.' Dan kalau utusan yang sudah menemui orang pintar itu pulangnya disambut semua orang yang segera ingin tahu, tentu saja saya maklum. Tetapi tentu kemakluman saya menjadi batal ketika simbah dukun, menurut utusan itu, bilang, “Barangnya masih belum jauh. Pencurinya juga belum jauh. Malah barusan pencurinya ikut pura-pura mencari. Ciri pencurinya pakai sarung dan kopiah.'

Dukun edan! Karena, satu-satunya orang yang disebut bersarung dan berkopiah itu hanya saya sendiri.*****



Tidak ada komentar:

Posting Komentar