EDWIN, anak sulung saya, sudah kelas enam
sekarang. Kelas lima kemarin saya pindah dia dari sekolah dikampung
ke Surabaya. Syukurlah, ia bisa mengikuti pelajaran dan tidak
ketinggalan dengan teman-temannya yang sedari kelas satu sudah
dikota.
Padahal, dulu dia tidak mau
disekolahkan. Dimasukkan TK, maksudnya. Dan, lebih asyik melototi
televisi.
“Adik sekolah ya,” bujuk ibunya.
Pipi Edwin yang sudah tembem makin
tembem saja. Saya pahami itu sebagai bahasa tubuh; tandanya ia tidak mau.
“Adik, itu mas Reza dan mas Bayu juga
sudah sekolah,” istri saya tak patah semangat mencari jalan
membujuk, sambil menyebut dua teman sepermainannya. “Malu, kan,
kalau adik sendiri yang tidak sekolah. Ibu tanya sekarang, kalau
sudah besar adik ingin jadi apa?”
“Power Rangers!” semangat sekali si
Edwin menjawab.
Mata istri saya berbinar. Senang. Ada
jalan untuk mengeluarkan bujukan baru. Begini katanya, “Wah hebat
dong. Tapi adik tahu nggak, untuk bisa menjadi Power Rangers, adik
juga harus sekolah dulu. Sekolah ya, sayang?”
“Gak mau!”
“Lho, katanya mau jadi Power
Rangers?”
“Gak jadi.”
“Lho?!”
“Lho?!”
“Gak Power Rangers-Power Rangersan, gak sekolah-sekolahan.”
Mendengar itu, neneknya --mertua saya-- (sudah almarhumah sekarang) yang ganti ambil peranan. Bukan lewat bujukan. Tetapi
mendatangi pak haji Said. Minta suwuk. Dan, kuasa Allah, lantaran
air suwuk yang diminumkan, si Edwin akhirnya mau sekolah.
SEKARANG, delapan tahun setelah
kejadian itu, setiap kali saya tanya apakah masih ingin menjadi Power
Rangers, ia hanya tertawa. Tetapi, melihat ia yang senang nonton
bola, saya duga, bukan tidak mungkin ia ingin menjadi pemain bola.
Begitulah, sebuah cita-cita bisa muncul
atau terinspirasi oleh sesuatu yang sering dilihat.
Zulfi, keponakan
saya yang tinggal di sebuah pelosok desa dilereng gunung Gumitir
(perbatasan Jember-Banyuwangi), misalnya. Ketika saya tanya besok kalau
besar ingin menjadi apa, dengan semangat ia menjawab,”Menjadi sopir
'grandhong'!”.
Ya, karena saban hari melihat 'mobil/truk' hasil modifikasi bermesin diesel yang mengangkut rumput atau hasil panen kopi melintas didepan rumahnya, ia mungkin berpikir, betapa gagahnya menjadi sopirnya!
Kalau saya, sih, saat SD dulu, ketika semua murid diminta satu persatu maju kedepan untuk menyebutkan cita-citanya, selalu saja dengan lantang saya bilang, "Ingin menjadi orang yang beguna bagi nusa dan bangsa".
Entahlah, apakah itu sudah terwujud atau belum sekarang.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar