Minggu, 03 Juli 2011

Khitanan Keponakan

NYARIS duapuluh tahun lebih saya tidak menginjakkan kaki di kampung kakak saya di kaki gunung Kumitir. Di perbatasan Jember-Banyuwangi sana. Sebuah kampung, yang membayangkannya saja seakan sudah merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Dan hari itu,disebabkan oleh selembar kabar, saya harus 'terbang' kesana lagi.
Ya, kakak sulung saya punya hajat; mengkhitankan anak sulungnya.


Perjalanan panjang dari Surabaya sampai ujung Jember paling timur, harus saya lalui. Tidak ada kisah menarik yang laik tulis hampir sepanjang jalan. Kecuali setibanya saya di terminal Tawangalun Jember.
Perut yang berkoar-koar karena lapar, harus saya siksa lagi karena saya melihat semua kedai yang menjual makanan di terminal kurang terjaga kebersihannya. (ini dulu, semoga sekarang sudah lebih baik). Setelah sekedar cuci muka dan buang air di toilet terminal, melanjutkan perjalan ke Pal Kuning; nama ancar-ancar turun saya dari bus nanti, yang sekaligus sebagai main gate menuju kampung kakak saya.

“Pal Kuning?” tanya saya pada sopir yang sudah siap di kokpit bus AKDP Jember-Banyuwangi.

“Iya,” jawaban itu mendorong saya naik bus yang tampil tanpa AC ini.

Lupa sudah saya akan waktu tempuh Tawangalun-Pal Kuning. Perkiraan kasar saya,pasti kurang dari sejam. Tapi lebih dari tigapuluh menit. Atau entahlah. Tetapi saya sangat ingat, lagu yang diputar dalam bus ini suara Sumiyati, penyanyi lagu-lagu kendang-kempul Banyuwangi yang sudah sekian belas tahun tak lagi pernah mampir ke telinga saya.

Lumayanlah, tidak terlalu jenuh sambil menunggu bus penuh. Menunggu berangkat. Tetapi, saya sudah lebih dulu memberangkatkan ingatan saya ke kampung kakak saya itu. Saat pertama kali dulu menginjakkan kaki disitu. Sidomulyo, nama kampung yang sepi itu. Yang masuk dalam wilayah kecamatan Silo. Yang dinginnya minta ampun. Yang kedalamnan sumurnya luar biasa, yang butuh biaya besar untuk membuatnya. Makanya tak setiap orang punya sumur. Kampung yang asrinya lamiah sekali, berhias pohon pinus, bertanah pasir halus.

Bus akhirnya berangkat juga, walau penumpang dalam perutnya tak seberapa. Lazim sudah, besarnya populasi pengguna motor menggerus jumlah penumpang angkutan umum yang sering tampil seadanya. Juga tingkat keselamatan yang sekadarnya.

Lepas dari wilayah kota, yang pembangunannya pesat melesat tak meleset dari dugaan saya, meninggalkan Pakusari. Menusuk pedesaan yang sejuk. Meliuk-liuk. Hawa dingin mulai menyapa. Rakus saya menghirup udaranya, memanjakan mata menatap kehijauan aneka tanaman dikiri-kanan jalan. Sejuk, asri, hijau....

Saya sengaja mengambil duduk dibelakang pak sopir. Agar bisa segera mengenali Pal Kuning. Dan bisa bilang, ”Kiri,” sebagai aba-aba kepada si sopir.

“Masih jauh,mas,” suara pak sopir itu pertanda beliau tahu maksud saya.

Saya melihat plang toko. Oh, sudah masuk Silo. Berarti Pal Kuning sudah dekat. Benar saja, tanpa saya aba-aba pak sopir menurunkan saya kesebuah tempat. Dan mencari kesegala arah, mata saya gagal menemukan tanda atau tulisan Pal Kuning. Ah, jangan-jangan,ini sudah sebagai nama abadi. Seperti nama sebuah pertigaan yang acap kali sebagai tempat orang naik-turun bus di timur pasar Kencong sana; Toko Ijo.Walau nantinya toko itu sudah tidak ada, tetap saja orang menyebut namanya.

Sebagai pintu gerbang Pal Kuning, jangan bayangkan terdapat gapura disitu. Kanan kiri hanya hutan pohon pinus.

Duduk di jok belakang tukang ojek, tak terasa adrenalin terpompa juga. Jalan makadam berhias bebatuan, naik turun, meliuk itu penyebabnya. Dan motor tua tanpa busana (hanya rangka, mesin dan dua roda) tanpa aksesoris menempel ditubuhnya, tampil lincah ditangan pengojek tanpa helm ini. Sekalipun sudah sangat lama tidak kesini, mencari rumah orang di kampung memang ada mudahnya. Karena nyaris semua orang saling kenal. Tidak seperti dikota. Lebih-lebih kakak saya ini sedang punya hajat. Pastilah ada terop (tenda) dan segala perlengkapannya.

Benar saja. Menjelang asyar saya tiba. Turun dari motor menenteng tas berisi baju ganti dan sedikit buah tangan untuk keponakan. Tetapi....

Kedatangan saya disambut oleh suara tangis histeris. Yang volumenya nyaris mengalahkan suara sound system yang sedang bendentum. Ada sedikit kepanikan tercipta. Ternyata itu tangis keponakan saya yang akan dikhitan. Kakak saya sibuk mendiamkan tangisnya. Saya juga. Tetapi semakin saya mendekat, semakin menjadi-jadi tangisnya.

Oh, adakah saya 'ketempelan' makhluk halus penunggu Pal Kuning, yang membuat keponakan saya ketakutan?

Mau tak mau saya harus keluar dari kamar keponakan saya itu. Sebagai tamu, kedatangan saya agak terabaikan. Saya maklum saja. Kakak saya sedang sibuk menenangkan anaknya. Saya duduk diruang tamu, sambil menikmati hidangan walau belum disilakan. Tak apa-apa, toh ini rumah kakak saya. Saya sudah sangat tidak tega membiarkan lambung saya menggelepar-gelepar.

Ditengah saya menikmati hidangan itu, suara tangis dikamar berhenti sudah. Malah berganti suara tawa. Tawa beersama-sama. Seperti koor.

Kakak saya keluar kamar masih ada tawa yang menempel dibibirnya, ”Ada-ada saja...” gumamnya.
“Kenapa?” tanya saya.
“Dia nyangka kamu tukang sunat yang akan mengkhitannya,” jawab kakak saya.
Oh.****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar