Senin, 11 Juni 2012

Kopi, Korden dan Celana Dalam

BILA lantai keramik di coridor, kitchen atau laundry area yang tiba-tiba terangkat dan menggunung terlepas dari semennya, hal pertama yang saya duga adalah; dulu ketika akan memasangnya para tukang (yang bersistem borongan) tidak merendam dulu keramiknya. Itu pertama. Kedua, usia pasangan keramik lantai itu yang memang sudah belasan tahun.

Hal itu pulalah yang turut saya tanyakan ketika suatu kali saya diminta mendampingi seorang teman menginterview para pelamar kerja untuk posisi sebagai building maintenance di sebuah mall baru di kota ini. Tetapi, karena syarat yang diutamakan adalah yang fresh graduate, para pelamar itu sering tidak ngeh dengan pertanyaan saya. Kecuali seorang. Dari data yang ada, ia termasuk dalam fresh graduate. Dan dari penampilannya, kulit yang seperti punya saya, dari telapak tangan yang lumayan kasar saya rasa ketika berjabat tangan, sungguh ia saya curigai sebagai yang sebangsa setukang serabutan seperti saya.

Benarlah adanya. Karena dia expert, semua pertanyaan saya tentang dinding, paving stone, kaca, polycarbonate, sealant, cat dan semua bidang sipil di mall itu ia lahap habis. Termasuk tentang keramik yang menggelembung tanpa sebab pasti. Bahkan, untuk keramik ini saya malah mendapat ilmu tambahan. Begini katanya, “Untuk melepas keramik yang sudah terpasang di lantai dengan tidak pecah pun saya bisa.”

Tentu saja saya penasaran. “Bagaimana caranya?” tanya saya.

Dengan PD dia menjelaskan urutan yang harus dilakukan. Pertama-tama, meng-gerinda bagian nat keramik. Itu diperlukan agar cairan kopi bisa masuk ke bawah pasangan keramik. “Kopi?” saya heran. “Sembarang kopi atau hanya merek tertentu?!”

Dengan mantap ia mejawab semua bubuk kopi bisa dipakai. Tetapi, sampai sekarang, tiga tahun setelah interview itu, belum pernah saya terapkan ilmunya. Saya, dalam bekerja, memakai cara yang wajar-wajar saja. Terlebih, para costumer yang harus saya layani adalah para orang kaya. Kalaulah mereka akan mengganti lantai rumahnya, tak akan peduli sekalipun lantai lamanya kami pecahi semua. Karena barang itu tidak ia perlukan lagi.

Yang justru menjadi soal, agaknya, tabiat orang kaya yang kadang (tidak semua, sih) menyesakkan dada. Misalnya, suatu ketika saya harus mengganti roda korden. Sebagai orang kaya, jangan ditanya bagaimana keadaan rumahnya. Semua serba luks, pokoknya. Di lantai kamar tidurnya, terhampar kulit beruang yang bulu putihnya begitu lebat dan halus. Kordennya pun tebal dan tentu saja mahal. Karena tebal itu pula rodanya cepat rusak karena keberatan menanggung beban.

Mengganti roda korden sebetulnya adalah pekerjaan ringan. Tetapi, dengan kesadaran bahwa barang tebal nan bagus itu harganya mahal, menjadi beratlah beban mental saya.

Korden dan vitrage-nya saya turunkan. Baru kemudian saya lepas ruda lama untuk diganti roda baru sesuai lubang pengaitnya. Tetapi, demi agar nanti kalau ada roda yang rusak tidak perlu menurunkan keseluruhan bagian korden yang berat itu, saya kasihlah empat roda tambahan sebagai cadangan. Ketika terpasang, dan mendapati ada empat roda serep itu, si empunya rumah bertanya, “Untuk apa dikasih lebih?”

“Begini, pak Agar nanti kalau ada satu atau dua roda yang rusak, kita tidak perlu membongkar keselurahannya.” jawab saya.

“Sekarang aku mau tanya,” si tuan ini memang nada bicaranya sering 'sengak'. “Kamu pakai celana dalam berapa?”

“Satu, Pak” jawab saya, jujur.

Kok kamu tidak pakai empat,” semburnya. “Agar kalau yang satu kotor tidak perlu ganti baru.”

Sungguh, saya tidak tahu darimana ia dapat logika ngawur yang dipakainya itu. Tetapi, sebagai 'pelayan', saya turuti saja maunya. Saya lepas lagi empat biji roda serep tadi. Dan beralih ke kamar sebelah masih dengan pekerjaan yang sama. Dan sesuai kemauannya, sekalipun rodanya masih sisa, saya pasang saja sesuai gantungan yang ada.

Setelah mengemasi peralatan kerja, saya serahkan sisa roda kepada si tuan.

“Sisa berapa?” tanyanya.

“Delapan, pak.”

“Kok gak dipasang sekalian, agar nanti kalau ada yang rusak tidak perlu membongkar total dan tinggal mencantolkan saja,” enteng sekali dia berkata.

Tentu saja hati saya dongkol mendengarnya. Tapi saya bisa apa, coba? Dalam hati, saya dengan gemas bertanya,” Bapak pakai celana dalam berapa?” *****

1 komentar:

  1. Benaran tu mas membongkar keramik dgn kopi?.. Pakai bubuk kopi atau cairan kopinya?.. Rencana mw buktiinnya ni mas biar ada bahan buat postingan saya di www.perumahan-asri.blogspot.com

    BalasHapus