Rabu, 25 Desember 2013

Puisi untuk Bidadari



saat-saat kutulis bagian tenmgah buku ini
di ujung kakinya
saat-saat tidak bisa menyelesaikan buku ini...
karena ia memberiku tidur panjang yang cantik
mati indah...
tapi meninggalkan ngilu dalam dan panjang
sehingga buku ini tidak pernah selesai


     BEGITU sebaris puisi yang tertera di back drop kecil di bawah tenda kerucut mungil di sudut kanan depan rumah dr Ananto Sidohutomo. Back drop  itu kental dengan warna merah. Dengan tulisan besar yang lebih menonjol sebagai tajuk dari gelaran gawe ini; Puisi untuk Bidadari.
    
Yahya Cholil Staquf, Lan Fang dan Gus Mus
dalam sebuah acara Kopdar Terong Gosong di Rembang.
Saya duduk manis di deretan kursi kedua di antara sekian banyak sahabat Lan Fang –begitu mereka menyebut diri—yang tidak satu pun mengenal saya. Tak apalah. Toh saya telah ‘kenal’ mereka. Pertama tentu saja shohibul bait, yang sore tadi juga menyampaikan semacam prakata panitia. Juga, tentu saja, mbak Wina Bojonegoro, yang tampil kenes sebagai MC.

     Ya, saya bukanlah siapa-siapa. Tetapi, paling tidak, saya hadir ke sini karena sebuah nama; Lan Fang. Kenalkah saya dengan perempuan hebat kelahiran Banjarmasin 3 Maret 1970 itu? Tidak. Dan, ternyata, yang senasib dengan saya tidak sedikit. Tetapi, walau tidak  mengenal secara fisik orangnya, bukan berarti saya –atau kami--  tidak mengenal karyanya, tulisan-tulisannya, buku-bukunya.



Foto: Koleksi Sahabat Lan Fang
     POTRET perempuan cantik berbusana adat Thionghoa itu melirik dengan tatapan mata indah. Sepertinya lirikan itu tepat ke arah duduk saya. Saya GR sejenak. Sejenak saja. Karena jenak berikutnya saya tahu mata indah dalam potret Lan Fang itu -- yang entah difoto kapan --  sedang menatap siapa saja. Misalnya ibu Konjen Amerika Serikat, Kristen F. Bauer, yang duduk di teras depan rumah markas Bidadari  ini.  Atau pak Dukut Imam Widodo dan pak Akhudiat yang ada di belakang ibu Konjen.

     Sementara di depan panggung, sederet dengan saya, ada perwakilan dari penerbit Gramedia Pustaka Utama di kanan saya. Dan di kiri, sekitar enam kursi dari saya, ada begawan sastra; bapak Suparto Brata.

     Belum genap dua Minggu cece Lan Fang berpulang. Ada sudah membuncah kerinduan akan sosok yang meninggal tepat saat hari Natal ini.

rindu kami padamu , Lan Fang
rindu pohon randu
dihinggapi burung perindu

 Begitu Akhuiat mengungkapkan lewat puisi.

     Sementara, “Lan Fang ini aneh. Dia hapal betul semua tokoh dalam novel-novel saya. Padahal saya sendiri saja sudah lupa,” demikian kata Dukut Imam Widodo (penulis buku-buku tentang Suroboyo. Diantaranya berjudul Surabaya Tempo Doeloe dan Monggo Dipun Badog!).

  
Lan Fang bersama Komunitas Pecinta Sastra Pesantren Tebu Ireng
(Kopi Sareng) Jombang.
Foto: diambil dari akun FB mendiang Lan Fang.
  Seharian ini, cuaca Surabaya sangat mesra. Panas tidak, mendung gelap pun tidak. Membuat makin sore, makin gayeng  saja acara mengalir. Semengalir orang-orang yang hadir. Sampai-sampai, untuk tempat duduk para sahabat Lan Fang yang terus datang, persis  pada jam 16.19 WIB, digelar tikar dan karpet hijau tepat semeter dari panggung. Sungguh, ini acara sederhana dengan ruh yang tidak sederhana. Sehingga hidangan mi pangsit kelas jalanan pun menjadi menu yang terasa luar biasa mak nyus-nya.


    
Lan Fang bersama sahabatnya, pemilik Titos Dupolo yang  'merangkap jabatan'
sebagai sastrawan, M. Faizi.
Foto diabadikan oleh Ovie A. Win.
Saya amati satu per satu wajah yang hadir. Dan, sepertinya, saya gagal mendapati sebiji saja yang berbalut sedih. Semua senang. Semua gembira. Ini dia; mengenang seorang sahabat yang berpulang tetapi tidak berduka blas.

     Tentu saja saya keliru. Karena, bisa jadi, kesedihan itu telah berlalu. Kini yang terjadi adalah, sekalipun di sana Lan Fang tidak menjadi bidadari, ia telah berteman para bidadari. Dalam titik ini, sebuah akhir hayat telah menjadi sebentuk  'kematian yang melahirkan'. Kebersamaan, rasa saling empati, dan cinta kasih.

     Dengan begitu, apakah Lan Fang yang keturunan Thionghoa, Budha, mengajar (sastra) di pesantren, dan juga berteman dengan siapa saja ( dari tukang tambal ban, biksu, ulama, pendeta, sampai politikus, dll) sedang dalam perjalanan menuju sorga?

     Bukan tidak mungkin. Dalam baris terakhir puisinya yang berjudul  Janji Puisi, Lan Fang bilang;

    ternyata sorga itu dekat
    dan sederhana... *****


NB: tulisan ini sudah pernah saya posting pada dua minggu setelah Lan Fang berpulang. Saya muat lagi sekarang, sebagai kenangan dua tahun Bidadari itu pergi meninggalkan kita.





2 komentar:

  1. Lan Fang, kamu di mana sekarang? Ada foto saya di post ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kemarin saya tanya dr. Ananto (tuan rumah acara Puisi untuk Bidadari kala itu), ternyata tak ada acara mengenang Lan Fang lagi di rumahnya.

      Karena saya tak tahu acara itu digelar di mana, jadinya saya unggah lagi posting lama saya itu.

      Hapus