Jumat, 19 Agustus 2011

Pedagang Uang

Piramida Uang
(Foto: Dok. Pribadi)
    BEBERAPA saat sebelum menulis catatan ini, saya sempat mengintip sebuah situs yang memuat nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Disitu tertera, per US Dollar setara dengan Rp 8.576 (jual) dan Rp 8.490 (beli). Sebuah angka yang relatif aman bagi dunia usaha, sepertinya. Karena, kalau tidak salah, nilai tukar segitu telah berlangsung sekian lama dengan tingkat fluktuasi yang datar-datar saja. Ini tentu sangat berbeda bila dibandingkan dengan ketika masa-masa krismon tahun 97-98 dulu. Yang pergerakan nilai tukar rupiah kita terhadap US dollar 'berakrobat' dengan nilai yang sampai menyentuh angka belasan ribu rupiah!
     Padahal dulu, (saya yang hobby mendengar radio sejak kecil) pada siaran berita RRI saya selalu mendapati angka berkisar pada nominal 2500 per US dollar.
     Nilai tukar rupiah selalu lebih rendah terhadap mata uang asing?
Oh, tidak selalu. Karena kurs rupiah terhadap rupiah pun selalu turun. Mau bukti?
     Datanglah ke penjual uang yang marak di pinggir-pingir jalan menjelang hari raya idul fitri begini. Di jalan Mayjen Sungkono Surabaya, didepan TMP saja, saya hitung ada delapan pedagang uang. Mereka berdiri berjajar berjarak per sepuluh meter. Malambai-lambaikan gebokan uang kertas baru. Didekat mereka ada tumpukan uang kertas lain yang ditata membentuk piramida diatas trotoar.
     Berdagang uang, saya kira, akan selalu untung. Karena hanya dengan modal mau antri menukarkan uang lama dengan uang baru di kantor Bank Indonesia. Tetapi,
     “Tidak begitu,”kata Atib (22), salah satu pedagang uang yang saya temui di depan makam pahlawan Mayjen Songkono, Surabaya.pagi tadi ”Dalam berdagang selalu ada untung-rugi. Karena kami mendapatkan 'dagangan' ini juga dari hasil kulakan.” tambahnya.
     Tentu saya tak percaya begitu saja. Bukankah sering diberitakan semua orang boleh menukarkan uang di kantor bank Indonesia. Asal mau antri. Dan untuk itu, masih menurut berita, orang sampai rela menginap di depan kantor cabang BI masing-masing kota agar mendapatkan uang baru dalam jumlah yang diinginkan.
     “Kalau tukar di BI, saya tak mungkin mendapatkan dalam jumlah segini,” kata Atib yang mengaku tahun ini mempunyai 'dagangan' sejumlah Rp 32 juta. ”Ada pemasok uang baru dari luar kota, bahkan luar pulau. Yang saya dapatkan ini dari Semarang dan Bali.”
     Lebih lanjut Atib mengatakan,dalam setiap seratus ribu rupiah,ia membelinya senilai Rp. 102.500 (seratus duaribu limaratus rupiah.) Pokoknya 2500 adalah bagian laba dari sang pemasok. Makanya minimal ia mencari untung lima ribu rupiah per seratus ribunya. Pecahan berapapun. Tetapi, mula-mula, ia selalu menawarkan harga plus 15 ribu per seratus ribunya. Dan setelah tawar menawar, sering disepakati harganya menjadi berselisih 10 ribu rupiah per seratus ribu rupiahnya.
     Di piramida yang disusunnya, saya mendapati pecahan uang mulai dari nominal seribu sampai sepuluh ribu rupiah. Nominal yang memang banyak dibutuhkan orang untuk 'nyangoni' kerabat di hari lebaran nanti.
 Atib mengaku, berdagang uang selalu dilakukannya setiap tahun. Untuk ini ia harus ambil 'cuti' dari pekerjaan utamanya sebagai pedagang kayu bangunan di sekitar kawasan Pasar Turi Surabaya. Menurut pengalaman Atib yang asal Sampang (Madura) ini, pembeli akan semakin ramai mendekati lebaran tiba.
     Ketika saya tanya berapa keuntungan dari berdagang uang tahun lalu, Atib tersenyum. Tetapi tentu tak sulit menghitung keuntungan seorang pedagang uang seperti Atib ini. Taruhlah dagangannya laku 30 juta dari total 32 juta  Setiap juta ia untung seratus ribu. Kali 30. Ketemu angka 3 juta!
Sebuah angka yang lumayan untuk hasil dari sekedar kerja sambilan. Mau ikutan?

Salam. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar