Selasa, 23 Agustus 2011

Desas-desus

MASIH muda,dan sepertinya kurang meyakinkan,”bisik seorang teman menanggapi ustad yang duduk di deretan depan.Sebelum acara buka bersama beberapa waktu lalu.

Saya diam.Rupanya teman saya tadi sedang menilai buku dengan hanya melihat sampulnya saja.Tetapi,ketika tiba waktunya si ustad muda itu memberikan tausiyah,si teman mulai ikutan menyimak.Dan,barangkali malah menikmati ‘buku’ itu dan mulai melupakan 'sampulnya'.

Dalam ceramah yang tak lebih dari tigapuluh menit itu,ada banyak yang disampaikan sebenarnya.Lengkap dengan bumbu joke-joke segar.Tetapi saya hanya akan menuliskan satu poin saja.Yaitu bahwa;setiap doa manusia senantiasa dikabulkan Tuhan.Senantiasa.Dan niscaya.Tetapi kita sering keliru menafsirkan.Dan cenderung menyalahkan Tuhan yang dengan sembrono kita tuduh tidak selalu mengabulkan segala keinginan kita.

”Kita harus membedakan antara kebutuhan dan keinginan,”tutur sang ustad muda yang menjabat pimpinan suatu lembaga sosial yang sangat profesional di Surabaya.”Ingat.Tuhan selalu mencukupi segala kebutuhan kita.Tetapi tidak selalu menuruti keinginan kita.Karena dengan kemahatahuan-Nya,Tuhan tidak ingin kita justru menjadi ‘celaka’ bila segala keinginan kita dipenuhiNya.Percayalah,Tuhan selalu ingin kita ini menjadi makhluk yang baik.Bukan sebaliknya.”

Tentang ‘keinginan’ ini,saya ingat ketika pada sekitar Mei 2005 terjadi sejarah penjualan saham dengan nilai sangat besar di Indonesia.Dalam sekali transaksi nominal yang muncul adalah 18,6 triliun.Sebuah rekor.Nilai penjualan yang bagus itu disebabkan karena perusahaan yang ‘dijual’ juga sedang dalam kondisi sangat bagus.Sekaligus memiliki produk-produk bagus yang menguasai pasaran.

Sebagai perusahaan besar tentulah ia memiliki banyak karyawan.Ribuan bahkan.Dan masalah timbul baru tiga tahun kemudian.Bermula dari desas-desus.Yang berhembus mengusung berita bahwa pemilik lama meninggalkan sejumlah uang untuk dibagikan kepada karyawan yang sekarang tergabung dan bekerja dinakhodai bos baru.

Pada Juni 2008 digelarlah demo besar-besaran.Aktifitas perusahann lumpuh total.Bisa dibayangkan betapa meruginya perusahaan,karena lebih dari seminggu ribuan karyawan mogok kerja dan menuntut uang jasa dari pemilik lama yang ‘konon’ dititipkan ke pemilik baru untuk dibagikan kepada semua karyawan.Angkanya memang sungguh mengiurkan.Karena,masih menurut desas-desus itu,nilai yang menjadi 'hak' karyawan paling tidak mendapatkan 25 juta rupiah per orang!

Pihak managenen menolak adanya uang itu.Dan selalu mengatakan tidak benar berita itu.Tetapi.kita tahu,sebenar apapun informasi yang disampaikan,ia akan mengalami distorsi bila dicelupkan kepada orang yang sedang tenggelam dalam genangan desas-desus.Celakanya lagi,orang-orang ini selalu memengaruhi temannya yang mencoba menggunakan logika ‘sehat’.Mereka selalu mengajak untuk bersama-sama berenang dalam kubangan desas-desus.Dan bahkan sampai menggunakan cara diluar akal sehat;bertanya kepada ‘orang pintar’.Sehembus desas-desus itu menjadi makin seru manakala sang paranormal mengatakan,dari hasil penerawangannya,memang benar uang itu ada!

Pendek cerita,setelah melalu proses yang alot,akhirnya perusahaan memberikan semacam ultimatum:Kembali masuk kerja,atau dianggap mangkir!

Begitulah,sebagian besar memilih kembali bekerja dan mulai melupakan desas-desus itu.Pihak ini mulai sadar untuk kembali bekerja demi mencukupi segala kebutuhannya,dan mengesampingkan ‘keinginan’ yang memang –mungkin—belum saatnya dinikmati.Tetapi sebagian lagi masih ngotot menempuh jalur hukum menuntut ‘uang jasa’ yang ternyata dikemudian hari memang tak terbukti keberadaannya.

Sebagai penutup tulisan ini,saya jadi ingat awal-awal ketika lahirnya tvOne selepas ia bernama Lativi.Sebagai televisi baru yang berformat berita,ada slogan yang ditampilkan sebagai penegas perbedaannya dengan televisi berita lain yang lebih dulu hadir.Dengan suara yang serak-serak ‘seksi’,sambil mengacungkan satu jari,bang Karni Ilyas,sang pemred berujar;”Banyak kabar beredar,hanya satu yang benar...”

Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar