Rabu, 29 April 2020

Pageblug

"DI RUMAH SAJA?!", tanya itu lalu disusul derai tawa. Seperti biasa kalau Kang Kardi tertawa. Lepas. Tak peduli giginya bogang. "Kita ini orang kecil, nDang. Kalau di rumah saja, lalu anak-istri dikasih makan apa?".

Begitulah, tiga hari lalu. Saat ketemu Kang Kardi. Di dekat pertigaan, di depan sebuah minimarket, tempat mangkal Kang Kardi jualan, sekira jam sembilan malam. Saat Rindang keluar, nyari makan anget-anget. Istrinya kangen bakso Bogang, begitu 'merk dagang' yang ditulis Kang Kardi pada rombong baksonya. Biasanya, sebagai sesama pedagang, Rindang dan Kang Kardi tak pernah saling beli. Bertukar saja. Antara nasi goreng dan bakso.

Tiga hari sudah Rindang tidak berjualan. Di rumah saja. Seperti anjuran pemerintah. Seperti yang dilakoni orang-orang. Agar tidak dimakan pageblug. Makanya, ia menurut saja saat istrinya memintanya untuk sementara tidak berjualan dulu.

"Aku takut sampeyan nanti kenapa-kenapa", begitu alasan istrinya.

"Iya juga sih", Rindang menimpali. "Tapi, tanggal satu nanti, waktunya kita membayar kontrakan. Lalu bagaimana?"


Istrinya diam.

Rindang memandang istrinya. Yang belum memberinya keturunan. Dari lima tahun pernikahan mereka. Usaha telah banyak dilakukan. Terapi ini, terapi itu. Juga, diam-diam ke 'orang pintar'. Hasilnya?

Rindang mendesah. Dua bulan yang lalu, tengah malam --sepulang jualan, ia dapati istrinya sesenggukan. Matanya sembab. Entah telah berapa lama ia menangis. Rindang menunggu. Sampai istrinya bercerita dengan sendirinya. Ia memang bukan suami pemaksa. Terlebih ketika ingat pesan ibu mertuanya. Beberapa hari sebelum meninggal. Yang menitipkan Siti, istrinya ini, anak semata wayangnya itu, agar dikasihi selalu. Karena ayahnya telah lebih dulu tiada. Saat Siti SMP, kelas dua.

Mana ada suami yang tidak mengasihi istrinya, hati Rindang menggumam kala itu. Ada-ada saja.

"Aku tadi ke dokter", istrinya akhirnya memulai bercerita.

"Kamu sakit apa?"

Istrinya menggeleng, "Tidak. Aku tidak apa-apa".

"Lalu"

"Aku ke dokter kandungan," Siti menunduk. Ada sesal yang sedang berupaya ia sembunyikan. "Maaf, aku menyisihkan sedikit demi sedikit uang belanja dari sampeyan. Dan aku menyesal sekarang. Karena akhirnya aku tahu".

"Tentang?"

"Kata dokter, karena penyakit yang kuidap, aku tidak akan pernah bisa memberi sampeyan momongan".

Rindang diam. Istrinya sesenggukan lagi.

***
Malam ini Rindang berjualan lagi. Tidak seperti Kang Kardi, Rindang berjualan dengan berkeliling. Keluar-masuk gang. Empat hari di rumah saja rasanya cukup sudah. Tabungannya sudah tidak cukup. Apalagi Pak Man, yang punya kontrakan ini, tadi pagi sudah bilang, "Jangan lupa, tanggal satu waktunya bayar kontrakan".

Begitulah memang. Kadang orang tidak mau tahu saat pageblug begini semua serba sulit. Makanya, Rindang membenarkan juga kata-kata Kang Kardi. Bahwa, bagi orang seperti dirinya, bisa mati kelaparan kalau tetap tinggal di rumah dan tidak keluar untuk berjualan.

Kadang Rindang ingin seperti Kang Kardi. Yang tidak pernah terlihat susah. Semua dilakoni dengan gembira. Itu pula mungkin yang membuat Kang Kardi tetap telihat tidak tua-tua. Selalu tampak begitu. Padahal usianya sudah hampir kepala tujuh. Rindang, usianya seperempat abad lebih muda.

Sore setelah maghrib tadi, saat Rindang akan berangkat berjualan, istrinya mengeluh badannya agak meriang. Padahal masakan untuk jualan sudah jadi. Segunung nasi, mie dan ayam. "Berangkatlah, aku gak apa-apa kok. Nanti aku minta dikerokin Mbok Tun. Paling aku cuma masuk angin."

"Iya, nanti aku kerokin", sahut Mbok Tun, tetangga satu kontrakan yang kamarnya bersebelahan.

Benar kata Kang Kardi. Hari-hari ini jualan sepi. Mungkin imbas anjuran agar orang di rumah saja. Sampai hampir jam sepuluh, belum dua puluh porsi nasi atau mie goreng berhasil terjual. Kalau dihitung-hitung, belum impas dari modalnya.

Rindang mendorong gerobaknya. Memukul wajan dengan sendok. Memanggil pembeli. Tetap sepi. Sesepi jalanan yang biasanya tak sesepi ini. Kata Kang Kardi, ini dimulai sejak diterapkan larangan orang berkendara sejak jam sembilan malam sampai subuh.

Atau orang-orang memang pada takut beli makanan jadi. Takut terpapar. Padahal Rindang selalu bermasker, selalu menjaga kebersihan. Atau memang orang-orang, para pekerja pabrik yang sedang dirumahkan gara-gara pageblug ini, pada mengurangi uang jajan. Dan memilih masak sendiri. Untuk berhemat.

Rindang berhenti di mulut gang. Membuka kotak tempat ia menaruh uang hasil penjualan. Menghitungnya, lalu mendesah. Melihat dagangannya yang belum laku barang separuh. Ia merasa kurang perhitungan. Seharusnya, setelah sekian hari tidak berjualan, ia tidak langsung membuat dagangan sebanyak ini. Tapi bukankah memang begini ini nasib berjualan; kadang laku, kadang sepi.

Rindang melempar pandang.  Ke jalan yang sepi. Hanya satu dua kendaraan yang lewat. Kalau bukan mobil polisi yang sedang patroli, ya mobil ambulans yang sepintas terlihat sopir dan orang di sebelahnya mengenakan baju putih rapat. Melaju dengan kecepatan setan. Dengan suara sirine menyayat malam.

Rindang mendengar orang-orang di pasar tadi bercerita. Bahwa pageblug ini seakan membuat segalanya menjadi terbalik. Misalnya, saling bersalaman menjadi hal yang kurang baik. Atau, sekarang ini, bukan orang sakit yang mencari rumah sakit, tapi pihak rumah sakit yang berburu mencari orang sakit. Agar si sakit itu segera dibawa untuk diisolasi dan diobati, agar tidak menulari orang-orang sekitarnya.

Dari jauh, terlihat mobil ambulans mendekat. Berhenti di mulut gang. Satu orang, yang duduk di dekat sopir, turun. Rindang berdiri. Bukan menyambut pembeli. Tapi, "Maaf, Pak. Gang 11 nomor 13 itu tepatnya dimana ya, Pak?"

"Masuk, lurus ke barat. Setelah jembatan, belok kiri. Rumah ke tiga. Itu nomor 13. Memangnya ada apa, Pak?", Rindang akhirnya bertanya.

"Kami mendapat laporan dari Pak RT. Ada warga yang pingsan. Makanya sesuai protokol, segera akan kami bawa ke rumah sakit".

Setelah berterima kasih, lelaki berbaju putih rapat --dari kepala sampai ujung kaki itu-- masuk mobil, lalu mobil ambulans menuju arah yang ditunjukkan Rindang.

Saat mobil ambulans itu menjauh darinya, Rindang baru sadar kalau alamat yang ditanyakan itu adalah alamat rumah kontrakannya. Kontan Rindang mendorong gerobaknya dengan buru-buru menyusul mobil ambulans itu.

Jangan-jangan.... ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar