“MANA bisa bersih kalau
pembersihnya tidak bersih.”
“Setuju, Kang,” sahut Mas Bendo.
“Kita membutuhkan orang-orang bersih. Di manapun. Di segala
tingkatan. Sepertinya sudah sedemikina parah kebobrokan negeri kita
ini. Apapun bisa dikorupsi. Bahkan, konon ini ya, pengadaan kitab
suci dikorup juga.”
Kang Karib deleg-deleg mendengar
ocehan Mas Bendo.
“Orang-orang bersih yang berani, di
negeri kita ini selalu terancam kehidupannya. Sampeyan tentu
masih ingat Munir. Ia, siapa yang tidak kenal keberaniannya?
Dihabisi, diracun arsenik. .” mas Bendo bicaranya makin nglambyar
rupanya.
Kang Karib mesem, tersenyum.
“Sampeyan ini, kok malah
mesam-mesem,” tanya Mas Bendo. “Jadi, apakah sampeyan
masih punya keyakinan negeri kita ini akan bersih dari orang-orang
kotor?”
“Kamu itu, nDo, nDo... Bicaramu itu
kemelipen. Terlalu tinggi,” sahut Kang Karib.
“Melip gimana to? Ini
kan fakta. Ini nyata. Ini real, Kang...”
“Maksudku, aku sedang tidak tertarik
untuk bicara tentang yang kamu bicarakan tadi.”
“Jadi, maksud sampeyan bilang
'mana bisa bersih kalau pembersihnya tidak bersih' tadi itu apa dong,
Kang?”
“Aku hanya ingin membahas tentang
handuk kumalmu itu,” Kang Karib menunjuk sehelai handuk warna
cokelat yang ia tahu dulunya berwarna merah, yang sedang dijemur di
samping rumah mas Bendo.
Mas Bendo nyengir; agak isin.
Mas Bendo nyengir; agak isin.
“Berapa kali kamu mandi dalam
sehari?” Kang Karib bertanya.
“Minimal sekali.”
“Minimal sekali.”
“Berapa kali dalam empat bulan
handukmu itu kamu cuci?”
“Juga sekali.”
“Nah, itu maksudku...” *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar