Sabtu, 13 Juni 2015

Unas: Ujian Nasib

MASJIDIL HARAM tiada pernah sepi. Jam berapapun saya menengoknya,
selalu ada orang (tak sedikit jumlahnya) yang asyik dengan ibadahnya. Shalat,
tawaf dan lainnya. Lain waktu, saya menengok Masjid Nabawi. Lagi-lagi
saya dapati tiapa pernah sepi. Orang sholat dan mengaji tiada henti.

Ohya, saya memang belum kesampaian secara nyata bertandang ke tanah
suci dan masjid Nabawi. Tetapi saban hari, 24 jam tiada henti (kalau
mau) saya bisa melihat segala yang terjadi di sana secara real time.
Satelit dengan gratis mengirim gambar itu dari Madinah dan Makkah
langsung ke rumah saya di sudut kelurahan bernama Kalirungkut.

Tak melulu mendapati orang sembahyang atau mengaji, di tempat suci
barangkali ada saja yang datang dengan niat yang tak seratus persen suci.
Oh, saya terlalu subyektif, barangkali. Tetapi beberapa kali saya mendapati
kenyataan bahwa ada saja orang yang berebut mendekat ke Kakbah;
tangan kiri mengelus dinding Baitullah, kemudian tangan kanan mengeluarkan
ponsel demi mengabadikan momen itu secara swalayan dalam sebuah tindakan selfie.

Begitulah, abad informasi --dengan media sosial sebagai keturunannya--
, telah memudahkan orang untuk memamerkan segalanya. Baik memang itu
penting, atau hal-hal yang remeh-temeh belaka.

Ketika orang membutuhkan tempat untuk diakui eksistensinya, medsos
memberinya sarana untuk bernarsis-ria. Malah ada gejala meninggalkan
kebiasan berdoa sebelum makan menjadi; mengunggah foto menu sebelum
makan. Demi apa coba? Seberapa pentingkah yang hendak kita makan
diketahui orang sedunia (maya)?

Pun demikian dengan sekian banyak orang (tua) siswa yang kemarin dengan
bangga mengunggah foto nilai Unas? Untuk apa kalau bukan hanya demi gaya.

Unas hanya secuil upil kehidupan. Dunia belum kiamat saat nilai Unasmu
jelek, nDuk. Dan pintu surga tidak bisa dibuka hanya oleh nilai Unasmu yang
bagus, Le.

Dalam banyak hal, kadang terasa yang lebih menentukan adalah nasib.
Walau, kata orang bijak, orang dengan kesungguhan, yang berusaha lebih keras,
yang lebih berhak memperoleh nasib baik. Dan sebaik-baiknya orang, tentu yang
dimana pun terdampar, ia senantiasa tidak menjadi manusia, kecuali
menjadi insan yang 'migunani' bagi sekitar. Di saat seperti itu,
dalam kehidupan sekian puluh tahun lagi itu, niscaya orang tidak ada
yang menanyai berapa nilai Unasmu dulu. *****



Tidak ada komentar:

Posting Komentar