Senin, 22 Juli 2013

Mengail Takjil

SETELAH tiba siang saat dhuhur menjelang, jam dua lewat seperempat saya balik pulang lagi ke Surabaya. Untunglah cuaca bulan puasa kali ini sungguh bersahabat, tidak panas-panas amat. Dengan berangkat jam segitu itu, dengan memacu si Supra saya sewajarnya, jam empat kurang sedikit saya sudah sampai jalan Veteran Gresik. Di sebelum perempatan Nippon Paint, saya belok kiri. Asyar telah beberapa waktu berlalu, dan di masjid di jalan Veteran inilah saya menunaikannya sekalipun kurang tepat waktu.

Selesai sholat, wajah terasa segar walau tenggorokan dan bibir masih kering. Sebelum keluar dari masjid, saya edarkan pandangan ke segala arah. Ada layar di atas mimbar. Berisikan waktu jadwal sholat, anjuran untuk mematikan ponsel, waktu WIB yang berbentuk tulisan berjalan muncul bergantian. Dan, saat saya menoleh ke dinding kanan, saya dapati tanda tangan yang sepertinya saya kenal. Selembar marmer kalau bukan dari Ujungpandang ya asal Tulungagung warna putih-putih kuning dengan pahatan bertuliskan kalimat yang menerangkan masjid ini dibangun oleh Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila pada tahun 1994. Ya, sampai disini tentu Sampeyan sudah tahu yang saya maksud; tanda tangan yang saya bilang tadi adalah tanda tangan Pak Harto, presiden kala itu yang sekaligus sebagai tokoh di balik Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila.

Selepas itu, saya melanjutkan perjalanan menuju Surabaya. Perkiraan saya, sampai rumah nanti pas adzan maghrib. Hari Minggu begitu tak terlalu khawatir saya akan kemacetan. Kecuali satu, di proyek jembatan Branjangan yang tak kunjung rampung. Jembatan sebagai jalur utama Gresik-Surabaya itu saya setiap lewat melihat dikerjakan seperti tak sungguh-sungguh. Tak banyak aktifitas, setak banyak pula orang yang bekerja di sana. Yang banyak adalah para pemuda yang memanfaatkan kemacetan itu untuk mengedarkan wadah meminta uang sumbangan. Tak jelas betul uang itu dikumpulkan untuk apa. Tak ada penanda bahwa itu dilakukan demi membangun musholla, misalnya. Yang terlihat malah, tidak sedikit pemuda itu menyodorkan wadah sambil menghisap rokok. Sungguh tindakan kurang sopan di bulan ramadhan.

Kemacetan saban hari di Jembatan Branjangan sungguh lebih tak terelakkan kala lebaran nanti. Menghindari itu bisa juga sih. Tetapi rutenya sungguh melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi lewat Menganti. Lanjut mBobo muter tembus terminal Bunder.

Singkat kata, benar saja; jam lima seperempat saya sudah masuk jalan utama Surabaya. Di Bundaran Satelit, saat lampu merah, ada beberapa pemuda bersarung Atlas membentangkan sepanduk di tengah jalan. Para pemuda lainnya mendekati pengendara sambil membagi takjil. Ah, lumayan. Kalau nanti adzan berkumandang sebelum saya sampai rumah, paling tidak telah ada bekal untuk membuat puasa batal.

Saat sampai di seberang Ciputra World, tepatnya di depan Gedung Juang 45, ketika beberapa pengendara menepi, saya ikutan antre. Lumayan lagi; sebungkus nasi. Masuk jalan Adityawarman lanjut jalan Kutai nihil, tak ada pembagi takjil. Baru di jalan Diponegoro, saya kembali menerima sebungkus es mewah rasa blewah. Mewah? Ah, bukankah seteguk air saja sudah sedemikian nikmat kala berbuka?

Begitulah selama Ramadhan, di beberapa tempat takjil gratis bertebaran. Kalau mau (dan tidak malu pada diri sendiri) tentu bisa saja setiap sore berkeliling kota mencari yang demikian. Mengail takjil sambil ngabuburit, menunggu saat adzan maghrib. *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar