SETELAH tiba siang saat dhuhur
menjelang, jam dua lewat seperempat saya balik pulang lagi ke Surabaya.
Untunglah cuaca bulan puasa kali ini sungguh bersahabat, tidak
panas-panas amat. Dengan berangkat jam segitu itu, dengan memacu si
Supra saya sewajarnya, jam empat kurang sedikit saya sudah sampai
jalan Veteran Gresik. Di sebelum perempatan Nippon Paint, saya belok
kiri. Asyar telah beberapa waktu berlalu, dan di masjid di jalan
Veteran inilah saya menunaikannya sekalipun kurang tepat waktu.
Selesai sholat, wajah terasa segar
walau tenggorokan dan bibir masih kering. Sebelum keluar dari masjid,
saya edarkan pandangan ke segala arah. Ada layar di atas mimbar.
Berisikan waktu jadwal sholat, anjuran untuk mematikan ponsel, waktu
WIB yang berbentuk tulisan berjalan muncul bergantian. Dan, saat
saya menoleh ke dinding kanan, saya dapati tanda tangan yang
sepertinya saya kenal. Selembar marmer kalau bukan dari Ujungpandang ya asal Tulungagung warna putih-putih
kuning dengan pahatan bertuliskan kalimat yang menerangkan masjid ini
dibangun oleh Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila pada tahun 1994. Ya,
sampai disini tentu Sampeyan sudah tahu yang saya maksud; tanda
tangan yang saya bilang tadi adalah tanda tangan Pak Harto, presiden
kala itu yang sekaligus sebagai tokoh di balik Yayasan Amalbakti
Muslim Pancasila.
Selepas itu, saya melanjutkan
perjalanan menuju Surabaya. Perkiraan saya, sampai rumah nanti pas
adzan maghrib. Hari Minggu begitu tak terlalu khawatir saya akan
kemacetan. Kecuali satu, di proyek jembatan Branjangan yang tak
kunjung rampung. Jembatan sebagai jalur utama Gresik-Surabaya itu
saya setiap lewat melihat dikerjakan seperti tak sungguh-sungguh. Tak
banyak aktifitas, setak banyak pula orang yang bekerja di sana. Yang banyak
adalah para pemuda yang memanfaatkan kemacetan itu untuk mengedarkan
wadah meminta uang sumbangan. Tak jelas betul uang itu dikumpulkan
untuk apa. Tak ada penanda bahwa itu dilakukan demi membangun
musholla, misalnya. Yang terlihat malah, tidak sedikit pemuda itu
menyodorkan wadah sambil menghisap rokok. Sungguh tindakan kurang
sopan di bulan ramadhan.
Kemacetan saban hari di Jembatan
Branjangan sungguh lebih tak terelakkan kala lebaran nanti.
Menghindari itu bisa juga sih. Tetapi rutenya sungguh melambung jauh
terbang tinggi bersama mimpi lewat Menganti. Lanjut mBobo muter
tembus terminal Bunder.
Singkat kata, benar saja; jam lima
seperempat saya sudah masuk jalan utama Surabaya. Di Bundaran
Satelit, saat lampu merah, ada beberapa pemuda bersarung Atlas
membentangkan sepanduk di tengah jalan. Para pemuda lainnya mendekati
pengendara sambil membagi takjil. Ah, lumayan. Kalau nanti adzan
berkumandang sebelum saya sampai rumah, paling tidak telah ada bekal
untuk membuat puasa batal.
Saat sampai di seberang Ciputra World,
tepatnya di depan Gedung Juang 45, ketika beberapa pengendara menepi,
saya ikutan antre. Lumayan lagi; sebungkus nasi. Masuk jalan
Adityawarman lanjut jalan Kutai nihil, tak ada pembagi takjil. Baru
di jalan Diponegoro, saya kembali menerima sebungkus es mewah rasa
blewah. Mewah? Ah, bukankah seteguk air saja sudah sedemikian nikmat
kala berbuka?
Begitulah selama Ramadhan, di beberapa
tempat takjil gratis bertebaran. Kalau mau (dan tidak malu pada diri
sendiri) tentu bisa saja setiap sore berkeliling kota mencari yang
demikian. Mengail takjil sambil ngabuburit, menunggu saat adzan
maghrib. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar