Senin, 01 Juli 2013

Blusukan ke Pasar ngGedongan

SEMALAM saya blusukan ke Pasar Wadungasri (ngGedongan). Banyaknya pengunjung, membuat area parkir motor yang tak seberapa luas menjadi penuh sesak. Karena tempat parkir di depan penuh, oleh petugas parkir, saya diarahkan untuk memarkir Supra tunggangan saya di lorong sisi timur pasar. Dari situ, untuk menuju para penjual pakaian di lantai dua, saya naik lewat tangga sempit nan kotor.

Di lantai dua, jalan antara stand penjual begitu sempitnya. Ditambah stok dagangan yang sudah menggunung, membuat tempat itu terasa sesak. Selain penjual aneka pakaian, alas kaki sampai kosmetik, di sela dominasi pajangan dagangan berbahan kain, saya juga temukan seorang penjual kopi disitu. Melihat kompor yang menyala di bawah meja mungil itu, membuat saya ngeri. Bagaimana jadinya kalau kompor itu meleduk? Tentu apinya akan cepat menyambar barang-barang mudah terbakar di kiri-kanannya. Lebih ngerinya lagi, kalau hal itu terjadi (tetapi semoga saja tidak akan pernah terjadi. Amin....) para pengunjung tentu akan sulit berlari menyelamatkan diri melewati jalan sempit, juga tangga yang tak kalah sempit.

Setelah sejenak singgah di stand-stand untuk sekadar melihat-lihat, selanjutnya saya menyempatkan diri mengobrol dengan salah satu penjual pakaian yang di saku belakang celananya saya lihat terselip sapu tangan dengan bahan seperti kain handuk yang tentu difungsikan sebagai pengelap keringat. Ya, dengan suasana sesesak itu, hanya orang yang punya kelainan yang tidak bermandi peluh.

“Sudah mulai ramai, Mas?” saya bertanya.

“Alhamdulillah, Pak,” jawab lelaki yang nada bicaranya sangat Jawa sekali itu.

“Aslinya mana?” itu pertanyaan yang bagi saya amat sakti untuk membuka pembicaraan selanjutnya akan menjadi lebih akrab lagi.

“Saya dari dekat sini saja, kok,” saya duga itu jawaban guyon. Buktinya, “Saya asli Sragen, Pak,” lanjutnya membenarkan dugaan saya. Ah, pantesan nada bicaranya mengingatkan saya akan logat Kyai Ma'ruf Islamuddin yang ceramahnya sering saya dengar di radio El-Victor.

Sambil bicara-bicara dengan saya itu, tangannya cekatan sekali menata dagangan aneka pakainan; untuk anak-anak dan dewasa, laki-laki atau untuk busana perempuan. Semua ada. Dari daster sampai model yang busana ketat.

“Sudah nyetok untuk persiapan lebaran ya?” saya bertanya.

“Iya, Pak,” jawab pemuda yang apesnya semalam itu saya lupa bertanya siapa namanya. Usianya saya taksir baru sekitar tiga puluh limaan. “Seminggu sebelum puasa begini, alhamdulilah sudah mulai ramai. Saya sudah hapal siklusnya. Nanti kalau puasa dapat seminggu mulai sepi; banyak orang lagi giat-giatnya sholat tarawih. Baru ketika lima belas hari sebelum lebaran, penjualan akan makin ramai lagi. Sementara jamaah sholat tarawih di masjid-masjid makin berkurang, dan lebih giat berjamaah di pasar-pasar untuk membeli pakaian...” candanya.

Senyum saya menanggapi ucapannya barusan, adalah bentuk setuju akan statement-nya yang memang kenyataannya demikian.*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar