NAMANYA kyai Zailani.
Saya tidak tahu pekerjaan lainnya selain saban hari mengayuh sepeda tuanya
menjajakan kitab-kitab. Sepeda itu sedemikian tuanya, sampai tidak kentara
lagi warna catnya selain warna asli besi yang di sana-sini telah mulai digerogoti
karat. Tas lusuh, selusuh sarung, baju dan kopiah hitam yang telah menguning
pinggirnya adalah trade mark-nya.
Siang yang terik, atau kadang pagi-pagi, sering beliau
bertamu ke rumah saya. Bapak saya akan dengan senang hati menerimanya, dan
segera menghentikan segala kegiatannya sebagai tukang kayu. Untuk kemudian
meminta ibu membuatkan teh manis. Kalau sedang tidak punya teh tubruk tjap Bandulan, ibu akan memetik beberapa
helai pucuk daun jeruk keprok di depan rumah untuk kemudian diduetkan dengan gula yang diseduh
air panas; jadilah ia minuman rasa (daun) jeruk.
Saat itu saya mungkin baru umur sepuluh atau sebelas tahun. Dan
setiap kali kyai Zailani datang, saya akan ikutan nimbrung sebagai pendengar. Beberapa
bahasan ‘tingkat tinggi’ kala itu tentu tidak bisa saya pahami. Tetapi biasanya,
setelah bicara tentang ilmu agama yang mendalam, beliau –mungkin tahu itu yang
saya tunggu—akan bercerita tentang hal-hal lucu. Tentang Abu Nawas, misalnya. Yang
selalu saya ingat adalah, di antara sambil bercerita itu, beliau selalu ikutan
tertawa.
Sekalipun sudah renta dengan sepeda yang tak kalah tuanya,
ada cerita yang --walau tidak masuk akal-- banyak diyakini orang. Yakni; jangan
sekali-kali di jalan menyalipnya dengan rasa congkak atau menyepelekan. Karena sengebut apapun orang
menyalipnya, di depan nanti, si penyalip itu akan menemui lagi kyai Zailani
mengayuh sepeda dengan kayuhan tenaga tuanya.
Tidak jauh dari rumahnya yang sangat sederhana, agak ke
utara sedikit, ada surau yang disitu saban hari beliau mengajar
santri-santrinya. Kalau bulan puasa begini, lazimnya surau, tempat itupun
dipakai untuk tarawih berjamaah. Tetapi, jamaah sholat tarawih kyai Zailani
adalah orang-orang khusus. Orang-orang yang
tak menghitung jam berapa nanti sholat tarawih akan berakhir. Karena sebagaimana
saat beliau naik sepeda tuanya, dalam memimpin sholat tarawih itu pun beliau
sangat pelan sekali.
Beberapa orang dengan nada guyon menyebut sholat tarawih di
surau kyai Zailani seperti sedang menumpang bis Kenongo. Sampeyan tahu, saat itu bis Kenongo bodinya sudah rapuh sedemikian
rupa. Trayeknya jarak dekat saja; Jember-Lumajang PP. Jalannya ogah-ogahan,
seperti tak memedulikan penumpang yang ingin segera tiba di tempat tujuan.
Lain halnya dengan bis Akas atau Tjipto yang kala itu merajai
jalanan. Jalannya selalu ngebut, sliat-sliut,
wuzzz, wuzz, wuzz... Dan tak sedikit orang suka cara yang begitu itu. Tak terkecuali
dalam sholat tarawih. Imam yang biasa membaca Al-Fatihah dengan cepat dalam
satu tarikan nafas, ia laksana sopir bis yang disukai penumpang. Padahal mengemudi
dengan ngebut itu risikonya juga makin besar. Tak peduli Sumber Kencono
berganti nama menjadi Sumber Selamat, kalau cara mengemudinya tetap ugal-ugalan
ya tetap saja membahayakan.
Kyai Zailani baik dalam bersepeda maupun dalam memimpin
sholat tarawih sama sekali tak terburu-buru. Yang diburu barangkali cuma satu;
selamat sampai tujuan. *****
Iya, memang layak jika anggotanya juga sepuh-sepuh, mereka yang habis taraweh tidak punya jadwal facebookan, ngeblog, tidak punya jadwal memperhatikan jadwal tayangan televisi, dan sebagainya.
BalasHapusHahaha..... Nyindir, nyindirrrrr..... :)
Hapus