Jumat, 12 Juli 2013

Kyai Zailani



NAMANYA kyai Zailani. Saya tidak tahu pekerjaan lainnya selain saban hari mengayuh sepeda tuanya menjajakan kitab-kitab. Sepeda itu sedemikian tuanya, sampai tidak kentara lagi warna catnya selain warna asli besi yang di sana-sini telah mulai digerogoti karat. Tas lusuh, selusuh sarung, baju dan kopiah hitam yang telah menguning pinggirnya adalah trade mark-nya.

Siang yang terik, atau kadang pagi-pagi, sering beliau bertamu ke rumah saya. Bapak saya akan dengan senang hati menerimanya, dan segera menghentikan segala kegiatannya sebagai tukang kayu. Untuk kemudian meminta ibu membuatkan teh manis. Kalau sedang tidak punya teh tubruk tjap Bandulan, ibu akan memetik beberapa helai pucuk daun jeruk keprok di depan rumah untuk kemudian diduetkan dengan gula yang diseduh air panas; jadilah ia minuman rasa (daun) jeruk.

Saat itu saya mungkin baru umur sepuluh atau sebelas tahun. Dan setiap kali kyai Zailani datang, saya akan ikutan nimbrung sebagai pendengar. Beberapa bahasan ‘tingkat tinggi’ kala itu tentu tidak bisa saya pahami. Tetapi biasanya, setelah bicara tentang ilmu agama yang mendalam, beliau –mungkin tahu itu yang saya tunggu—akan bercerita tentang hal-hal lucu. Tentang Abu Nawas, misalnya. Yang selalu saya ingat adalah, di antara sambil bercerita itu, beliau selalu ikutan tertawa.

Sekalipun sudah renta dengan sepeda yang tak kalah tuanya, ada cerita yang --walau tidak masuk akal-- banyak diyakini orang. Yakni; jangan sekali-kali di jalan menyalipnya dengan rasa congkak atau menyepelekan. Karena sengebut apapun orang menyalipnya, di depan nanti, si penyalip itu akan menemui lagi kyai Zailani mengayuh sepeda dengan kayuhan tenaga tuanya.


Tidak jauh dari rumahnya yang sangat sederhana, agak ke utara sedikit, ada surau yang disitu saban hari beliau mengajar santri-santrinya. Kalau bulan puasa begini, lazimnya surau, tempat itupun dipakai untuk tarawih berjamaah. Tetapi, jamaah sholat tarawih kyai Zailani adalah orang-orang khusus. Orang-orang  yang tak menghitung jam berapa nanti sholat tarawih akan berakhir. Karena sebagaimana saat beliau naik sepeda tuanya, dalam memimpin sholat tarawih itu pun beliau sangat pelan sekali.

Beberapa orang dengan nada guyon menyebut sholat tarawih di surau kyai Zailani seperti sedang menumpang bis Kenongo. Sampeyan tahu, saat itu bis Kenongo bodinya sudah rapuh sedemikian rupa. Trayeknya jarak dekat saja; Jember-Lumajang PP. Jalannya ogah-ogahan, seperti tak memedulikan penumpang yang ingin segera tiba di tempat tujuan.

Lain halnya dengan bis Akas atau Tjipto yang kala itu merajai jalanan. Jalannya selalu ngebut, sliat-sliut, wuzzz, wuzz, wuzz... Dan tak sedikit orang suka cara yang begitu itu. Tak terkecuali dalam sholat tarawih. Imam yang biasa membaca Al-Fatihah dengan cepat dalam satu tarikan nafas, ia laksana sopir bis yang disukai penumpang. Padahal mengemudi dengan ngebut itu risikonya juga makin besar. Tak peduli Sumber Kencono berganti nama menjadi Sumber Selamat, kalau cara mengemudinya tetap ugal-ugalan ya tetap saja membahayakan.

Kyai Zailani baik dalam bersepeda maupun dalam memimpin sholat tarawih sama sekali tak terburu-buru. Yang diburu barangkali cuma satu; selamat sampai tujuan. *****

2 komentar:

  1. Iya, memang layak jika anggotanya juga sepuh-sepuh, mereka yang habis taraweh tidak punya jadwal facebookan, ngeblog, tidak punya jadwal memperhatikan jadwal tayangan televisi, dan sebagainya.

    BalasHapus