Kamis, 26 Mei 2011
Mbah Kung (Fu)
RAMBUTNYA sudah berseragam putih.Tak sehelaipun yang mbalela ngeyel pakai hitam.Kompak.Sekompak giginya yang mulai undur diri satu per satu.Walau begitu,ingatannya tak kendur mundur."Tahun selikur,"begitu beliau mengingat kelahirannya.Tak terlulis di akte,mungkin.Tapi saya memercainya saja.Sepercaya saya atas segala cerita di masa mudanya dulu.
Tentang keahliannya berpencak silat.Tentang peperangannya di masa Belanda sampai bergabung sebagai tentara sukarela (begitu selalu disebutnya) di jaman Jepang.Beliau,yang sekalipun sudah sepuh,tak bersemangat rapuh.Ada saja yang harus menjadi kesibukannya.Apapun itu.
Anak-anakku dan anak-anak kakak-adikku memanggilnya mbah Kung.
Suaranya khas.Logatnya khas.Bahkan bunyi sendal jepitnya ketika berjalan,juga khas.Sangat hapal betul telinga ini mengenalnya.Semengenal kami atas suara dehemnya.
"Jangan tidur dulu,tunggu brekat datang,"pesannya selalu setiap berangkat kondangan.
Kami,anak-anaknya,taat setaat-taatnya.Karena,kapan lagi bisa makan enak kalau gak ada kondangan begini.Nasi gurih,sesuwir daging ayam.Sejumput mihun,sepotong tahu atau tempe.Duh,sungguh itu sebagai hidangan agung,disaat saban hari bernasi jagung.
Itulah mengapa rasa memang tidak pernah bohong.Maksudnya,sekalipun suatu pagi ibu menyulut kayu di tungku agar dapur terlihat berasap,agar sama seperti dapur-dapur para tetangga,tetaplah perut ini berkonser keroncong.Karena ibu sedang berbohong.Lebih tepatnya lagi,ibu sedang bersandiwara.
Sudahlah,itu masa lalu.Lalu sekali.Tapi selalu saja,kalau sampeyan perhatikan,saya sering menuliskan cerita lalu.Sekarang ingin saya sudahi.Stop.Sekarang saya hendak menulis tentang simbah Kakungnya anak-anakku.
Mbah Kung selalu suka memakai baju batik lengan panjang bersaku tiga.Dua dibawah (kanan-kiri) satu lagi di dada.Isinya;saku atas adalah kamar 'pak-lopak';Tempat tembakau lengkap dengan semua pemain pendukungnya.Ada cengkeh cap Keris atau cap Dokar,ada kertas rokok cap Pagupon.Satu lagi alat berbahan bakar bensin;korek api.Rokok khas itu,orang kampung kami menyebutnya tingwe.Tentu itu bukan bahasa Mandarin.Ia hanyalah berarti ngelinting dhewe.
Untuk saku bawah,isinya juga amat penting bagi mbah Kung.Satu minyak angin,satunya lagi obat tetes mata.Dan perjalanan kemanapun,kalau ketiga perbekalan itu tak komplit kalau satu saja yang tak terbawa.
Sepulang dari menengok saya di Surabaya,saya punya tugas mulia.Mengantar mbah Kung pulang kampung.Karena,tak mungkinlah saya tegakan serenta itu balik ke Jember seorang diri.
Dari Rungkut,saya bawa mbah Kung ke terminal Joyoboyo.Dan ketika saya berkonsentrasi mengumpulkan segenap indra ke dompet saya (karena Joyoboyo saya yakini sebagai sarang pencopet),mbah Kung justru telah menangkap tangan copet yang nyelonong merogoh saku atas.
"Jangan begitu kamu,"kata mbah Kung dengan logat Madura yang kental."Seenaknya sendiri merogoh saku orang.Gak sopan tahu!"
Ya,mbah Kung hanya menilai dari segi kesopanan saja.Karena,toh si copet telah salah sasaran.Ia tentu tidak tahu,saku atas hanyalah tempat penginapan perlengkapan rokok tingwe mbah Kung.
Ah,suatu hari mungkin saya perlu belajar kecepatan tangan mbah Kung yang terbukti bisa mengalahkan kecepatan tangan si copet.
Atau itu hanya sekedar beruntung saja.Karena dilain waktu mbah Kung pernah tidak untung.Itu menyangkut isi dua saku bawah baju batik kesayangannya.
Mbah Kung tetaplah suka kemana-mana.Walau sepuh,beliau sangat semangat menyertai salah satu cucunya yang menikah di Kedewan Bojonegoro sana.Jember-Bojonegoro tentu bukanlah jarak tempuh yang pendek.Apalagi untuk usia mbah Kung yang sudah sembilah puluh.Byuh!
Asal ketiga bekal itu lengkap,tak perlu ada yang dikhawatirkan tentang mbah Kung.Ada 'pak-lopak',ada minyak angin,ada obat tetes mata.Sip.Perjalan melambung dari Jawa Timur,ngincipi Cepu Jateng lalu menusuk masuk ke Jawa Timur lagi.Uh,Kedewan.
Setelah menembus hutan di tengah malam,rombongan merapat tepat tengah malam.Sebuah kedatangan besan yang kurang sopan.Tapi tamu adalah raja.Perut perih telah terbayar oleh hidangan di tengah malam sekaligus dikampung tengah hutan.
Penat lutut diperjalanan,saya selonjorkan.Kantuk menusuk.Serombongan sibuk menuju tempat melampiaskan kantuk.Mbah Kung sibuk merogoh saku bawah.Perih mata karena terterpa angin dari jendela bus mini non AC ini,membuat mbah Kung ingin menetesinya dengan obat mata yang beliau bawa.Dan...,"Aduh panas,panas.Perihhh..."erang mbah Kung mengagetkan semua yang nyaris terbang ke alam mimpi.
Rupanya mbah Kung keliru menetesi matanya dengan minyak angin.Ah,jangan-jangan jurus Kung fu tangan mbah kung hanya untuk pencopet,bukan untuk obat mata.
Semalan kami mengkhawatirkan mata mbah Kung.Karena semalaman mbah Kung sambat perih.Pagi menjelang,kata mbah Kung,perih sudah berkurang.Agak siang sudah tersa lebih padang.Kemudian,"Iya,lebih padang sekarang.Mata tersa segar.Minyak angin ternyata bisa bikin mata jadi terang."kata mbah Kung.
Dari nada bicaranya saya tahu itu tidak guyon.Itu sungguh-sungguh.Tapi kami sungguh tidak ingin mencobanya.Tidak pula mengijinkan mbah Kung menetesi matanya dengan minyak angin lagi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar